KUNINGAN (MASS) – Salah satu implikasi dari dinamika yang terjadi di Gedung Dewan, pasti akan merembet ke gedung putih. Ini sesuatu yang lumrah dan wajar karena memang baik Siliwangi 88 atau Ancaran sama-sama dikendalikan oleh figur Politik.
“Persoalannya, apakah dinamika ini akan mengarah kepada jalan yang konstruktif atau destruktif bagi pembangunan daerah. Itulah yang harus jadi pemikiran lembaga-lembaga yang sedang “bertarung” tersebut,” ujar Boy Sandi Kartanegara, direktur Merah Putih Institute.
Kalau arahnya destruktif, sambungnya, yang akan rugi masyarakat secara umum. Dikatakan, pandemi masih jauh dari kata usai, tambah lagi persoalan-persoalan seperti ini.
“Mau sampai kapan rakyat hanya disuruh jadi penonton dari sebuah pertunjukan yang kurang enak disaksikan?,” kata Boy dengan nada tanya.
Kemudian menyangkut pertemuan antara wabup dengan fraksi-fraksi yang “ditinggalkan”, menurut dia, sesuatu yang wajar pula. Sekali lagi mereka adalah figure-figur politik yang sedang saling berinteraksi. Syukur-syukur jika kehadiran wabup arahnya kepada ajakan untuk tetap mengawal proses pembangunan daerah bersama-sama.
“Ini kan baik dan tak perlu dicurigai berlebihan. Soal Pilkada toh masih cukup ada waktu, yang utama adalah bagaimana semua stakeholder bahu membahu mengawal visi misi daerah seperti yang direncanakan,” ucapnya.
Diluar itu, pihaknya sangat yakin bahwa dinamika di DPRD pasti diketahui Siliwangi 88 sejak awal prosesnya. Baginya, ini sesuatu yang kurang pas juga. Demokrasi sudah membagi 3 kekuasaan yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif agar proses berbangsa dan bernegara ini bisa berjalan baik.
“Seharusnya biarkan pilar-pilar itu tegak berdiri secara mandiri tanpa ada upaya intervensi apalagi intimidasi,” seru pria berambut gondrong itu.
Kalau semua dinamika diserahkan kepada kekuasaan eksekutif, imbuh dia, ini berpotensi menciptakan sistem kekuasaan eksekutif yang dictator. Eksekutif dianggap mampu mengontrol dan mengawasi semuanya sehingga tak ada lagi lembaga lain yang diperlukan untuk bekerja.
“Jangan sampai kita terjerumus dalam orde bahlul, maka tugas NGO dan Pers menjadi amat penting untuk memastikan bahwa kekuasaan yang digenggam itu digunakan sebagaimana mestinya. Fir’aun dulu tersesat begitu karena tak ada yang mengontrolnya sebagai raja,” pungkas Boy. (deden)