KUNINGAN (MASS) – Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli, saya merasa sangat prihatin dengan masalah pelecehan seksual yang terus terjadi di lingkungan institusi di Kabupaten Kuningan. Survei dari Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dalam berbagai institusi.
Pelecehan ini bisa berupa komentar tidak pantas, catcalling, hingga sentuhan fisik yang tidak diinginkan, baik secara langsung maupun melalui chat. Sayangnya, bercanda dengan nuansa sensual kadang dinormalisasi, menjadikan perempuan sebagai objek dan memperburuk situasi ini. Semua ini jelas merusak kesehatan mental korban dan menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.
Kondisi di Kabupaten Kuningan saat ini sangat memprihatinkan, karena kasus pelecehan seksual semakin meningkat dan telah mencapai status darurat. Salah satu contoh terbaru dari masalah ini adalah kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam kegiatan Bimtek yang diadakan oleh KPU.
Seorang oknum petugas Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) diduga melakukan perbuatan cabul terhadap rekan kerjanya dengan modus “meminjam sisir.” Kasus ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual tidak mengenal tempat dan bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya profesional dan aman. Hal ini semakin menekankan perlunya langkah konkret untuk mencegah dan menangani kasus serupa di masa depan.
Satu hal yang sangat mengganggu adalah tingginya jumlah kasus pelecehan yang tidak dilaporkan di Kuningan. Banyak korban merasa tertekan untuk bungkam karena takut tindakan mereka akan memengaruhi karier atau reputasi di lingkungan institusi. Hal ini menciptakan siklus berbahaya di mana korban merasa tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan. Ketidakpastian dalam penanganan kasus-kasus ini sering kali membuat mereka merasa putus asa.
Meskipun ada undang-undang yang mengatur, seperti UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, implementasinya di Kabupaten Kuningan masih rendah. Banyak institusi belum memiliki kebijakan yang jelas tentang penanganan kasus pelecehan seksual dan sering kali menganggap masalah ini sepele. Ini menyebabkan korban bingung dan tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkan dukungan.
Lebih menyedihkan lagi, komposisi Komisi VIII DPR RI yang didominasi oleh laki-laki menambah tantangan dalam membahas isu pelecehan seksual secara efektif, termasuk di daerah seperti Kuningan. Kurangnya representasi perempuan dalam pengambilan keputusan sangat menghambat diskusi tentang isu sensitif ini, yang memerlukan perspektif beragam dan pemahaman mendalam tentang pengalaman korban.
Untuk itu, institusi di Kuningan perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang aman, terutama bagi perempuan. Langkah proaktif harus diambil, seperti memberikan ancaman tegas bagi pelaku pelecehan dan menyediakan saluran pelaporan yang jelas. Dengan demikian, karyawan akan merasa lebih percaya diri untuk melapor jika mereka menjadi korban.
Pemerintah daerah juga perlu tegas dalam menegakkan hukum yang ada, memberikan sanksi jelas bagi pelaku, dan melindungi korban. Tindakan ini bukan hanya melindungi individu, tetapi juga mengirimkan sinyal bahwa pelecehan seksual tidak akan ditoleransi.
Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membangun budaya institusi yang saling menghormati dan mendukung. Dengan meningkatkan kesadaran dan memperkuat kebijakan anti-pelecehan, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang, tanpa memandang gender atau jabatan. Mari kita wujudkan institusi di Kabupaten Kuningan menjadi institusi yang aman dari pelecehan seksual.
Mari kita bersatu untuk melawan ketidakadilan ini dan memberikan dukungan kepada mereka yang berani berbicara. Dengan berjuang untuk perubahan ini, kita tidak hanya melindungi individu tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan setara. Sudah saatnya kita berbicara tentang pelecehan seksual dalam institusi sebagai masalah kita bersama dan mengambil tindakan nyata untuk mengatasinya!
Oleh: Dahana Fitriani