KUNINGAN (MASS) – Memasuki paruh kedua tahun 2025, masyarakat Kabupaten Kuningan kembali dihadapkan pada kabar yang patut menjadi perhatian serius: realisasi pendapatan dan belanja daerah masih jauh dari target. Data yang disampaikan oleh Bupati dalam Rapat Paripurna pada 8 Juli 2025 menyebutkan bahwa pendapatan daerah baru terealisasi sebesar 36,76% dan belanja daerah 32%. Dua indikator utama keberhasilan pembangunan daerah ini berada di titik yang mengkhawatirkan.
Padahal, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, situasi ini bukan lagi hal baru. Realisasi lambat di semester pertama dan harapan akselerasi di semester kedua telah menjadi pola rutin yang sebenarnya justru menyimpan risiko besar terhadap efektivitas pembangunan dan pelayanan publik.
Belanja Modal Lemah, PAD Lesu: Masalah Struktural?
Mari kita mulai dari belanja daerah. Dari total Rp 2,9 triliun anggaran belanja, baru Rp 951 miliar (32%) yang terealisasi. Yang paling mencolok adalah belanja modal yang baru tercapai 8,13%. Sektor ini seharusnya menjadi penggerak pembangunan infrastruktur dan ekonomi lokal, namun justru stagnan. Alasannya, sebagian besar proyek masih dalam proses, bahkan ada yang tertunda karena pembiayaan dari PAD belum bisa dicairkan.
Sayangnya, kondisi PAD sendiri pun tak lebih menggembirakan. Dari target Rp 481 miliar, baru Rp 187 miliar (38,95%) yang tercapai. Retribusi daerah, yang mestinya menjadi sumber potensial dari layanan publik, hanya terealisasi 8,30%. Angka ini tidak sekadar menunjukkan lemahnya pungutan, tapi juga berpotensi mencerminkan lemahnya pengelolaan aset daerah atau minimnya inovasi dalam menggali sumber PAD.
Realisasi Bantuan Sosial Tinggi, Tapi Infrastruktur Tertinggal
Satu sisi yang menarik adalah tingginya realisasi belanja bantuan sosial, mencapai 49,17%. Ini menunjukkan sensitivitas terhadap kebutuhan sosial masyarakat. Namun tanpa ditopang belanja modal dan pembangunan infrastruktur, belanja bansos hanya akan menjadi solusi jangka pendek, bukan pembangunan berkelanjutan.
Jika pola ini berlanjut, akan terjadi ketimpangan: masyarakat dibantu secara langsung, tetapi sistem pendukung kesejahteraan—jalan, irigasi, fasilitas umum—justru tertunda atau gagal dibangun.
Optimisme Perlu Dibarengi Aksi Nyata
Optimisme Bupati yang menyatakan akan ada akselerasi di semester kedua memang bisa dimaklumi, apalagi berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya. Namun harapan tak boleh menjadi alasan untuk tidak melakukan evaluasi serius. Jika semester kedua kembali mengandalkan “gas pol” di penghujung tahun, maka efisiensi dan kualitas pelaksanaan program dikhawatirkan tidak maksimal. Potensi gagal bayar pun kembali menghantui jika perencanaan dan cashflow tidak dibenahi sedini mungkin.
Jika setiap tahun kita hanya mengandalkan akselerasi di semester kedua tanpa pembenahan fundamental, maka stagnasi akan menjadi budaya, dan pembangunan hanya akan jadi ilusi.
Situasi saat ini seharusnya menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan di Kuningan. Target memang penting, tetapi keberhasilan sesungguhnya ada pada keberanian untuk berubah dan membenahi sistem dari akarnya. Jika tidak, kita akan terus mengulang siklus yang sama: lambat di awal, ngebut di akhir, dan hasil yang tak pernah benar-benar maksimal.
Penulis : Latif Pratama, Aktivis IMM
