KUNINGAN (Mass) – Memulai semester genap tahun akademik 2016/2017 Senin (20/2/2017), STIKKU (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan) menyelenggarakan kuliah pakar. Pesertanya para mahasiswa program studi kebidanan tingkat 1 dan 2 sebanyak 160 orang dan para dosen tetap prodi kebidanan.
Kuliah Pakar yang mengambil tempat di ruang seminar STIKKU itu, menghadirkan 2 narasumber yaitu Dr Hj Soeryani Soepardan MM dan Ketua PC IBI Kabupaten Kuningan Widyani AMdKeb SKM SSos. Tema yang diangkatnya “Upaya Pencegahan Neglicence dan Medical Error dalam Pelayanan Kebidanan”.
Ketua STIKKU Asep Sufyan Ramadhy dalam sambutannya menjelaskan, sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dan budaya akademik yang telah lama dikembangkan STIKKU, maka setiap awal semester harus diawali dengan Kuliah Umum atau Kuliah Pakar.
“Untuk kuliah umum bisa disampaikan materi-materi yang bersifat generik (interdisipliner atau bahkan multidisipliner), sedangkan untuk kuliah pakar maka materi yang disampaikan harus bersifat spesifik yang sesuai dengan capaian pembelajaran (learning outcome) yang telah ditetapkan program studi,” terangnya.
Pada semester ini kebetulan isu yang diangkat adalah berkaitan dengan keselamatan pasien (patient safety), khususnya dalam upaya pencegahan kelalaian (neglicence) dan kesalahan/kekeliruan (error) yang sangat mungkin terjadi saat seorang bidan melakukan pelayanan kebidanan. Melalui kuliah pakar ini, mahasiswa kebidanan STIKKU diharapkan mampu memiliki kesadaran hukum dan lebih menghayati lagi kode etik bidan Indonesia.
“Apabila seorang bidan senantiasai melakukan tindakan profesionalnya berdasarkan kode etik yang berlaku di profesinya termasuk melaksanakan berbagai standar pelayanan kebidanan yang telah ditetapkan, maka peluang bidan untuk berhadapan dengan masalah-masalah hukum itu sangat kecil kemungkinannya. Pelanggaran hukum biasanya diawali dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang kemudian berdampak pada perilaku profesionalnya,” papar Asep.
Dr Soeryani Soepardan dalam pemaparannya menjelaskan pentingnya seorang bidan menguasai kompetensinya serta mampu menjalankan kewenangannya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam UU dan peraturan lainnya yang mengatur tentang praktik kebidanan. Penguasaan standar kompetensi ditunjukkan dengan diperolehnya Sertifikat Kompetensi setelah lulus dari institusi penyelenggaran pendidikan kebidanan berdasarkan hasil Uji Kompetensi Bidan Indonesia (UKBI).
“Disamping ijazah yang dikeluarkan institusi pendidikan, seorang bidan juga harus mengantongi Sertifikat Kompetensi sebagai syarat untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR). Jika seorang bidan sudah memiliki STR, artinya dia sudah diberikan kewenangan berdasarkan UU dan peraturan yang berlaku untuk memberikan pelayanan kebidanan di seluruh wilayah di Indonesia,” beber Soeryani.
Namun, lanjutnya, tentu saja seorang bidan tidak boleh merasa cukup dengan kompetensi yang dimilikinya sampai jenjang Diploma III. Seyogyanya bidan diharapkan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Diploma IV, Profesi Bidan, S2, bahkan S3 Terapan. Di luar jalur pendidikan formal, bidan juga diharuskan mengikuti pendidikan bidan berkelanjutan yang dilaksanakan secara rutin oleh organisasi profesi khususnya dalam rangka memutakhirkan pengetahuan dan keterampilan yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kebidanan itu sendiri.
Selain kompeten, tambahnya, bidan juga sangat perlu memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap persoalan hukum. Bagaimana pun juga di tengah masyarakat yang semakin kritis, maka seorang bidan harus mampu menjadi performa pribadinya agar dalam memberikan pelayanan kebidanan sesuai dengan standar pelayanan, SOP dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Walaupun bidan belum memiliki UU tersendiri seperti perawat dokter dan apoteker, namun PP IBI saat ini sedang berjuang agar RUU Kebidanan bisa segera dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Saat ini bidan masih berlindung dibalik UU Tenaga Kesehatan yakni UU Nomor 36 Tahun 2014, Permenkes 1464 Tahun 2010, Kepmenkes No. 369/2007 dll,” ungkapnya. (deden)