KUNINGAN (MASS) – Suhu dingin dan tiupan angin yang cukup kencang dirasakan warga Kuningan belakangan ini. Ada dugaan spekulatif bahwa fenomena tersebut berkait dengan kejadian Aphelion dimana matahari pada 6 Juli 2018 akan berada pada jarak terjauhnya dari bumi.
“Akan tetapi dari diskusi dengan BMKG menyebutkan bahwa Aphelion kali ini sebenarnya bukanlah jarak terjauh bumi-matahari yang pernah dialami, tetapi justru lebih pendek 2129 km dari rerata Aphelion yang terjadi tiap tahun. Ini berimplikasi pada panjang durasi hari tahun ini yang hanya 363.64 hari,” jelas Kepala BPBD Kuningan, Agus Mauludin, Jumat (13/7/2018).
Aphelion tak berkaitan dengan kejadian suhu dingin permukaan bumi yang tengah fenomenal di beberapa tempat di Pulau Jawa. Sebagai bukti, Aphelion tahun lalu terjadi pada 4 Juli 2017, namun suhu minimum terendah di Bandung justru terjadi pada 26 Juli 2017 yaitu 16.6°C yang tercatat di Stasiun Geofisika BMKG Bandung.
“Fenomena suhu dingin malam hari dan Es Salju di lereng pegunungan Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin,” jelas Agus menirukan hasil diskusi dengan BMKG.
Pada musim kemarau, imbuhnya, permukaan bumi lebih kering. Kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.
Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan.
“Pada kondisi kemarau saat ini di Jawa, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0°C, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan,” papar dia.
Pada malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat.
Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua.
Agus mengatakan, di negara negara yang mengalami empat musim, embun beku pada malam hari tersebut biasa terjadi pada musim dingin.
Musim kemarau di Pulau Jawa tahun ini diprediksikan normal, mencapai puncaknya pada bulan Juli agustus ini dengan membawa udara dingin dan kering angin monsun Australia.
“Fenomena gelombang atmosfer MJO yang pada pekan lalu sempat menurunkan hujan di tengah Kemarau di Jawa dan Sumatera, kini telah berpindah pusat udara basahnya di Indonesia bagian tengah dan timur, terutama sebelah utara garis ekuator, lebih lebih dengan adanya tarikan massa udara ke pusat Badai Maria di Samudera Pasifik Barat timur Filiphina,” beber Agus.
Khusus untuk Kabupaten Kuningan yang memang merupakan dataran tinggi di Jawa Barat, tambahnya, situasi ini akan sangat terasa dan kemungkinan udara akan terasa lebih dingin pada menjelang atau saat puncak musim kemarau di bulan Agustus.
“Kami mengimbau kepada masyarakat untuk tetap berhati-hati pada saat musim kemarau ini, lebih arif dalam penggunaan air terutama air bersih (air konsumsi). Tetap berhati-hati dalam beraktivitas karena sangat mungkin angin akan bertiup kencang terutama saat sore menjelang malam dan udara akan terasa sangat dingin,” seru dia. (deden/rl)