KUNINGAN (MASS) – Penggunaan istilah “gagal bayar” oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kuningan sudah sepatutnya mendapat apresiasi. Hal itu menandakan adanya sebuah usaha untuk meminimalisasi budaya penghalusan bahasa (eufemisme) yang biasa dilakukan para pejabat ketika mengomentari pekerjaan rekan sejawat.
Ketika isu gagal bayar mulai menjadi perbincangan publik, DPRD Kabupaten Kuningan pun langsung bergerak cepat mengambil tindakan: mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Akan tetapi, usulan yang ditujukan buat menyigi perihal gagal bayar nyatanya tak berjalan mulus. Barangkali karena ada silang pendapat di dalam tubuh DPRD sendiri. Sebab, sudah beberapa minggu sejak diwacanakan, Pansus yang digadang-gadang itu masih menjadi desas-desus. Untungnya, pada Rabu, 15 Februari kemarin, Pansus yang masih menjadi desas-desus itu sudah diketuk palu. Sudah sah. Dengan demikian, masalah gagal bayar mendekati tuntas (?).
Selaku orang yang tinggal di perbatasan kabupaten ini, awalnya saya merasa senang dengan mencuatnya isu gagal bayar dan pembentukan Pansus itu. Namun, selaku orang yang masih bisa berpikir waras dan tak punya kepentingan ke sebelah “sana” atau sebelah “sini”, entah kenapa saya berkesimpulan bahwa fenomena gagal bayar serta segala hal yang dihasilkannya, malah mengarah pada keadaan yang lebih buruk dari gagal bayar itu sendiri.
Aku Ber-Pansus maka Aku Ada
Mengusulkan pembentukan Pansus guna menanggapi suatu “hal” memang menjadi hak dari DPRD. Dan pada Rabu, 15 Februari 2023, Pansus yang dibikin untuk menyoal gagal bayar sendiri sudah disahkan. Namun, kalau boleh berpendapat, adanya Pansus gagal bayar ini merupakan suatu yang, mohon maaf, aneh bukan kepalang.
Mengapa? Kita tahu (dan sepakat) bahwa akar dari huru-hara gagal bayar ini adalah ketidakbecusan dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2022. APBD yang berlaku, seperti diatur dalam UU Keuangan Negara tahun 2003, harus diajukan oleh pemerintah daerah dan kemudian disetujui oleh DPRD. Dengan kata lain, pengelola APBD terbagi menjadi dua entitas: pemerintah daerah sebagai eksekutor, DPRD selaku legislator.
DPRD sendiri mempunyai tugas tambahan dalam hal ihwal APBD ini. Lembaga yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat itu pun bertanggung jawab untuk mengawasi kegiatan eksekutif, misalnya, dalam merealisasikan APBD. Hal itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, secara langsung ataupun tidak, sedikit-banyaknya DPRD pun urut berkontribusi dalam terjadinya gagal bayar.
Bapak/Ibu Dewan Yang Terhormat boleh saja berkilah bahwa fenomena gagal bayar ini disebabkan karena adanya perbedaan antara apa yang dibahas dengan apa yang terealisasikan. Anda-Anda sekalian juga bisa beralasan bahwa pihak eksekutif tidak utuh menyampaikan rencana anggaran yang diajukan di dalam rapat pembahasan. Namun, saya berharap alasan-alasan yang demikian tidak pernah sekalipun akan atau bahkan pernah kalian utarakan. Pasalnya, hal itu menandakan sebuah kepayahan dalam berpikir kritis dan analitis, serta menunjukkan belum adanya sistem pengawasan yang “benar” dari DPRD Kabupaten Kuningan dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Bupati Acep Purnama.
Maka dari itu, kendati sah secara konstitusional, usulan membentuk/pembentukan Pansus ini merupakan suatu yang teramat aneh buat saya. Terkesan mengalamatkan kesalahan pada satu pihak, padahal di satu sisi turut berkontribusi dalam menciptakan “kesalahan” tersebut: adanya ketidakmampuan dalam mengkritisi perencanaan dan mengawasi pelaksanaan anggaran. Atau jangan-jangan, Pansus-Pansusan yang sudah disahkan ini ditujukan “biar kelihatan ada kerjaan” saja? Astagfirullah, tolong maafkan saya yang suka skeptis ini, Pak/Bu.
Gagal Bayar = Kemiskinan Ekstrem?
Pada mulanya adalah sebuah tulisan. Ketika membacanya, yang bisa saya lakukan hanyalah mengucap istigfar sebanyak mungkin. Apa musababnya? Pertama, saya tak ingin kalut karena emosi. Kedua, kalaupun kadung terbawa emosi, saya berharap Yang Maha Esa akan memberi ampunan kepada saya karena sudah nyebut sebanyak-banyaknya.
Adapun tulisan yang maksud itu berjudul “Pantas Saja Kuningan Miskin Extreme, Ternyata Gara-Gara Gagal Bayar”, karyanya Dadang Abdullah. Tulisan tersebut sudah tentu berbicara soal gagal bayar dan kemiskinan yang ada di Kabupaten Kuningan. Si Penulis, dengan bermodal data BPS, mengaitkan fenomena gagal bayar dengan tingginya angka kemiskinan di kabupaten ini.
Sebagaimana kita ketahui, gagal bayar adalah sebuah term yang merujuk pada ketidakmampuan pemerintah daerah untuk membayar biaya operasional dalam suatu tahun anggaran atau waktu tertentu. Dalam kasus gagal bayar di Kabupaten Kuningan, ada 19 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang belum dibayar kegiatan operasionalya. Mulai dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) sampai dengan Inspektorat, per hari ini ada sejumlah duit yang belum cair atas pekerjaan yang telah diselesaikannya.
Artinya, dampak ekonomi dari adanya gagal bayar hanya akan mampir ke pundak orang-orang yang hidup di dalam dan menghidupi 19 OPD. Bukan kepada orang-orang miskin seperti yang dinarasikan oleh si Penulis dalam tulisan yang (katanya) berupa opini itu.
Dan memang benar bila gagal bayar pun akan berdampak terhadap beberapa lapisan masyarakat tertentu, misalnya, kepada para rekanan. Akan tetapi, apakah orang-orang yang disebut rekanan itu merupakan orang-orang yang memiliki pendapatan di bawah Rp 2.324.274 per bulannya, yang di mana menurut BPS, orang-orang dengan angka penghasilan sebesar itu merupakan orang-orang yang tergolong sebagai orang miskin? Saya tak tahu betul, tentunya. Tetapi agak sulit mencari pembenaran atas pertanyaan yang saya buat sendiri itu.
Terlebih, ketika berbicara mengenai kemiskinan, jangan pernah sekali pun ada usaha untuk “menyederhanakan”. Kemiskinan itu merupakan permasalahan yang ruwet. Di sana, di dalam kemiskinan, ada rendahnya akses edukasi dan kesehatan, ada permasalahan sosiokultural, ada pola asuh yang kurang mengena, dan semacamnya, dan sebagainya.
Bacalah Social Problems: Continuity and Change terbitan Libraries Publishing-nya Universitas Minnesota. Jika membaca buku tersebut tiba-tiba malas karena melihat jumlah halamannya, baca saja komik karya Toby Morris yang berjudul “The Pencilword: On a Plate” itu. Kalau masih saja enggan, tontonlah The Children of Sanchez, sebuah film yang diadaptasi dari bukunya Oscar Lewis. Beberapa rekomendasi yang saya sebutkan tak lain adalah untuk menunjukkan bahwa kemiskinan itu merupakan suatu yang ruwet: bukan sekadar soal takdir dan kemalasan belaka, apalagi karena adanya gagal bayar.
Oleh sebab itu, menarasikan gagal bayar seolah-seolah berkontribusi terhadap meningkatnya angka kemiskinan merupakan suatu hal yang cukup mencederai nalar. Pendapat yang demikian tak bedanya dengan tulisan-tulisan yang menyoal zodiak: sekadar cocokologi—dengan tujuan untuk memuaskan kehendak hati. Jika diibaratkan sebuah bangunan, opini yang ada di dalam tulisan tersebut tak lebih dari sebuah rumah yang gampang dicari titik runtuhnya.***
Penulis : Amoreyza Etniko (Pegiat Literasi)
Uba jubaedi
16 Februari 2023 at 23:12
Tulisan mantap berselera … !!!
Robi Kosasih
17 Februari 2023 at 16:55
Gagal bayar Pemkab Kuningan Th anggaran 2022 meruoakan kekurang cermatan pengelola anggaran pada Eksekutif , pihak legislatif umumnya hanya menyetujui perencanaan besarnya pendapatan dan penggunaan anggaran yang diusulkan eksekuif beserta kegiatan/proyeknya. DPRD mengawasi agar kegiatan /proyek dilaksanakan dapat mencapai tujuan/sasaran yang telah disepakati.Apabila pohak legislatif benar tidak turut serta dalam pelaksanaan kegiatan/proyek, pembentukan Pansus Gagal bayar sangat penting setidaknya sebagai upaya peningkatan pengawasan dan evaluasi serta bisa tergali apa penyebab sebenarnya terjadinya gagal bayar. Terlebih lagi tidak semua rincian kegiatan proyek diketahui DPRD ,bisa terjadi ada rincian kegiatan proyek yang tidak sesuai tujuan sasaran yang telah disepakati.Atau mungkin ada kehiatan proyek yang di selipkan pihak eksekutif. Akan lebih efektif bila bersinergi dengan pemeriksa independen resmi yaitu BPK. Bisa saja terkait dengan problem kemiskinan terutama menyangkut pelaksanaan proyek oleh rekanan yang tentu saja harus membayar upah pekerja fisik proyek yang umumnya orang berpenghasilan pas pas an.
Anjing
18 Februari 2023 at 07:39
😁😁😁Dono Kasino indro