KUNINGAN (MASS) – Beberapa bulan kebelakang PDAU menjadi perbincangan hangat baik di media sosial maupun di media cetak, persoalan yang terjadi berakibat pada “pemecatan” Direktur PDAU beberapa waktu yang lalu dan sekarang di jabat oleh Kabag Ekonomi Setda Kab. Kuingan yang di tunjuk oleh KPM (Bupati Kuningan). Persoalan yang kerap terjadi adalah mempersoalkan terkait subangsih PDAU untuk menambah Pendapatan Asli Daera, sejak didirikan pada tahun 2008 memang PDAU nyaris “tidak pernah” memberikan kontri busi pada PAD. Hal ini bukan sesuatu yang “aneh”, kenapa demikian karena pada saat pendirian memilih Perumda bukan Perseroan Daerah. Ketika ada perubahan nomenklatur Perusahaan Daerah berdasarkan pada PP 54 tahun 2017 tentang BUMD, dimana pada BAB III Bagian Kesatu Pasal 4 ayat (3) Pemerintah Daerah diberikan pilihan bentuk Perusahaan yaitu Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah pun demikian tetap memilih PERUMDA sebagai bentuk Hukum PDAU.
Pilihan bentuk menjadi penting jika keberadaan BUMD diharapkan menjadi salah satu pendongkrak Pendapatan Asli Daerah di suatu wilayah/kabupaten/Kota. Sehingga kajian tentang prosfek perkembangan BUMD menjadi penting. Ini berdasarkan pada pasal 8 PP 54 Tahun 2017 tentang BUMD yang berbunyi “ Pendirian perusahaan umum Daerah diprioritaskan dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik.” Jika kita telaah bunyi pasal ini, maka yang paling cocok adalah PDAM dimana fungsi dari PDAM itu menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa Air yang memang itu dibutuhkan untuk seluruh warga dan BPR yang memberikan keterjangkauan layanan dibidang Keuangan.
Jika kita lihat keberadaan PDAU hari ini yang core businessnya di bidang jasa pariwisata maka perubahan kemarin menjadi PERUMDA menjadi kurang tepat, dimana ekpektasi kita sebagai Kabupaten Pariwisata yang dapat menghasilkan PAD Besar dari BUMD menjadi seperti sekarang yang terjadi pada PDAU (terjadi permasalahan internal) terlebih lagi berdasarkan Perda No. 11 Tahun 2019 tentang PDAU, Pasal 11 ayat (1) Modal dasar Perumda sebesar Rp 17.035.000.000,00 (tujuh belas milyar tiga puluh lima juta rupiah). Ayat (2) Modal Disetor Perumda sampai dengan Tahun 2018 sebesar Rp. 9.496.801.470,00 (sembilan milyar empat ratus sembilan puluh enam juta delapan ratus satu ribu empat ratus tujuh puluh rupiah). Berarti tidak ada penambahan modal selama 4 tahun ini. Sehingga kalau dibahasa sundakan “sudah uyuhan” bisa bertahan sampai saat ini.
PDAU dengan bentuk PERUMDA yang berdasar pada pasal 8 PP 54 Tahun 2017 mungkin lebih tepat menyelenggarakan core business seperti penyediaan Pupuk, bibit, bahan baku olahan UMKM dan lain-lain sampai dengan pemasaran hasil yang berhubungan dengan potensi Daerah, sehingga Fungsi dari pasal 8 PP 57 dapat dilaksanakan, namun jika memang ekpektasinya adalah peningkatan PAD maka saya secara pribadi menyarankan merubah bentuk PDAU dari Perusahaan Umum Daerah menjadi Perusahaan Perseroaan Daerah yang akan lebih jelas core business dan tujuan didirikannya Perusahaan, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan PT. JASWITA Jabar.
Kenapa hal ini penting dikaji selama satu tahun kedepan sebelum nanti diselenggarakannya pemilihan ulang Direksi PDAU, ada kelebihan dan kekurangan jika tujuannya adalah pelayanan maka PDAM dan BPR telah tepat namun jika pilihannya adalah Business jasa Pariwisata maka PDAU layak bertransforamsi menjadi Perusahaan Perseroan Daerah dengan catatan ada konsistensi dalam hal permodalan yang ditetapkan pada Tahun 2008 lalu.***
Dani Nuryadin, Kuningan Foundation
Wakil Bendahara MW KAHMI JABAR
Wakil Sekretaris Himpunan Pengusaha KAHMI Jawa Barat