Polemik mengenai gagal bayar Pemerintah Kabupaten Kuningan terus mencuat di jagat media massa dan media sosial warga Kuningan. Fenomena gagal bayar proyek tahun 2020 ditaksir mencapai Rp. 94 miliar tentu akan berdampak terhadap kinerja pemda dan keberlangsungan program kerja Kab.Kuningan.
Belum lagi soal nunggaknya dana sertifikasi guru selama dua bulan yang angkanya menembus Rp.40 miliar lebih, ditambah utang pembayaran TPP pegawai ASN dan iuran BPJS. Hal ini jelas akan berdampak langsung terhadap kesejahteraan hidup orang banyak. Rententan gagal bayar ini bisa menjadi indikasi bahwa kerja-kerja eksekutif sedang tidak baik-baik saja.
Respon masyarakat cukup beragam. Politisi, aktivis LSM, akademisi turut andil menyampaikan pendapat dan menawarkan solusi-solusi penyelesaiaan masalah gagal bayar ini. Tidak ketinggalan, mahasiswa sebagai agent of change, agent of social control menyuarakan pendapatnya. Gebrakan berani dilakukan Aliansi Mahasiswa Punya Ruang (AMPR) mendatangi gedung wakil rakyat untuk menuntut hak-hak rakyat Terdapat tujuh tuntutan yang mereka suarakan, meskipun dua diantaranya harus dicoret.
Dear mahasiswa yang ikut aksi, “dicoret bukan berarti gagal, anggap saja itu revisian layaknya dosen merevisi tugasmu. Ingat! direvisi bukan berarti berhenti, lanjutkan bab berikutnya!”
Sebenarnya nggak usah jauh-jauh mahasiswa bicara tentang kebijakan publik, apalagi memberikan solusi teknis soal gagal bayar. Toh, sebenarnya untuk urusan kebijakan apalagi yang berkaitan dengan anggaran, mereka seharusnya lebih paham tentang hal itu. Proses dari mulai akar masalah, cara penanganannya, dan intrik- intrik kepentingan di dalamnya tentu sudah lebih dari paham. Tetapi satu hal yang nampaknya pimpinan daerah dan wakil rakyat harus belajar dari mahasiswa yaitu tentang memaknai gagal.
Bagaimana tidak, di kehidupan kampus mahasiswa kerap kali berjumpa dengan yang namanya gagal. Misal, gagal memilih jurusan, saat memasuki fase perkuliahan sering dijumpai mahasiswa yang menghindar dari mata kuliah yang dianggap mereka sulit. Contoh mahasiswa jurusan ekonomi syariah, begitu ketemu matkul ekonometrika-statistikadengan teori dan itung-itungan yang jelimet, sebagian ada yang sering pamit tidak ikut kelas. Sebagian dari mereka cenderung menghindar dari matkul-matkul yang dianggap killer.
Mahasiswa jenis ini biasanya akan sampai pada satu titik, dimana mereka akan berkata.
“Aku kayaknya salah ngambil jurusan deh, ini bukan passionku”. Di saat itu pula mereka merasa gagal. Alih-alih belajar dengan sungguh-sungguh mereka sibuk mencari-cari alasan, rebahan, dan scroll instagram mantan. Hadeuh.
Selanjutnya, soal gagal dalam urusan hubungan percintaan. Mahasiswa tidak jarang terlibat hubungan asmara dengan sesama mahasiswa yang sekampus atau beda kampus. Proses awalnya pun beragam, ada yang naksir dengan katingnya pas masa orientasi mahasiswa, cinlok dengan teman sekelas karena sering ngerjain tugas bareng, terpikat kewibawaan ketua BEMnya, bahkan ada juga yang gara-gara shalat berjamaah diimami ketua LDK terus merasa cocok jadi imam keluarga.
Tidak sedikit juga mahasiswa yang terlibat hubungan asmara ini berakhir dengan kata “pisah”. Alasan mengakhiri pun cukup beragam diantaranya yaitu, sudah tidak ada kecocokan, bosan, sudah tidak satu visi, ingin fokus skripsi, kepincut teman KKN, ditinggal nikah, sampai ada juga yang ditinggal tanpa alasan.
Belum lagi perihal gagal lulus tepat waktu padahal itu janji-janji saat ditanya ortu (orang tua), “aa kapan lulus ?”
“Insya allah diwaktu yang tepat, Bu”, padahal udah di semester 14. Setelah itu bukanya rajin mengerjakan skripsi, malah sibuk bahas MU (Manchester United).
Dear, mahasiswa fans MU, sesungguhnya ada kesamaan antara kamu dengan MU,. Kalau kamu gagal wisuda, MU gagal juara. :D.
Begitulah kisah mereka, mahasiswa sebetulnya punya catatan-catatan mengenai kegagalan. Maka, ketika sebagian orang meremehkan mahasiswa dengan tuntutan aksi tentang pemda gagal bayar, sungguh itu sebuah kekeliruan yang amat sangat.
Beberapa kisah diatas tentu tidak bisa ditiru mentah-mentah oleh birokrat dan wakil rakyat. Masa iya akibat peraturan pusat berubah, APBD tersendat, Target PAD tidak terealisasi, beban kerja yang tidak sesuai tupoksi, miskomunikasi antar instansi, terus merasa gagal. Terus bilang “Saya kayaknya salah ambil instansi deh, ini bukan (passion) jabatan sesuai keahlian saya”.
Tentu hal-hal demikian tidak akan terjadi, mengingat pengangkatan sekelas pimpinan/kepala di instansi pemerintah daerah tentu sudah melalui mekanisme ketat berdasarkan kompetensi dan keahlianya.
Meskipun demikian, ada baiknya belajar dari mahasiswa tentang memaknai kegagalan. Jadi wahai birokrat dan wakil rakyat, janganlah mengabaikan suara mahasiswa, bukan soal mahasiswa itu belum lulus dan dianggap tidak kompeten. Sama sekali bukan. Untuk segala urusan gagal bayar yang diciptakan oleh pemda, sesungguhnya mahasiswa hendak berpesan segala yang gagal itu pasti ada salahnya dan pasti ada dampaknya.
Sekali lagi, mahasiswa tidak sembarang soal ini karena merekalah pelaku kegagalan itu sendiri.
Oleh : Fudzi Hanafi (Mantan Mahasiswa Kuningan yang Kuliah di Jogja)