KUNINGAN (MASS) – Viral kembali di media sosial bahwa kelas di BPJS akan dihapus. Wacana ini sudah bergulir dari awal tahun 2022, dan akhirnya akan diberlakukan per 1 Juli mendatang. Nantinya, tidak ada kelas 1, 2, atau 3, tetapi semuanya diganti dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurut Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan berkenaan iurannya, disesuaikan dengan gaji yang didapat. Artinya, jika pendapatannya tinggi, maka membayar lebih besar, begitupula sebaliknya. Prinsip yang diberlakukan yaitu gotong royong sosial sesuai UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Dari sisi fasilitas, pemerintah memastikan akan sama pelayanannya, tergantung kebutuhan medis. Yang membedakan hanya pembayarannya saja. Sebab kembali pada prinsip awal, saling membantu antar sesama rakyat Indonesia. Namun, bagi rakyat miskin yang tak mampu membayar, bisa mengajukan penerima bantuan iuran (PBI).
Aturan ini harus dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia, karena memang diwajibkan memiliki kartu BPJS. Dimana kartu BPJS akan digunakan sebagai syarat beberapa pelayanan publik. Jika tidak memiliki, maka akan dipersulit pelayanannya.
Faktanya, tak semua individu memiliki kartu BPJS, dikarenakan memang tak sanggup membayarnya, atau karena pelayanan lambat di fasilitas kesehatan. Adapun yang sanggup membayar, terkadang tidak menggunakan BPJS, agar pelayanan maksimal ketika berobat. Artinya, dengan dua kebijakan yang baru ini tentu akan memberatkan rakyat.
Adanya penghapusan kelas BPJS sebenarnya bukanlah solusi dalam menyelesaikan permasalahan seputar BPJS. Mulai dari anggaran BPJS yang defisit, iuran yang terlalu mahal, dan sebagainya. Tetap saja, bagi rakyat miskin yang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja sudah sulit, apalagi untuk membayar iuran BPJS.
Beginilah aturan kesehatan di negeri ini, selalu berubah-ubah, tetapi ujungnya melepas tanggung jawab dalam melayani kesehatan terhadap rakyat. Memang benar, biaya kesehatan itu mahal, mulai dari mendiagnosa penyakit, obat-obatan, alat kesehatan, laboratorium, dan sebagainya. Sehingga, akan sulit jika hanya mengandalkan iuran BPJS yang tak seberapa.
Akhirnya, rakyat miskin tak boleh sakit dalam realitasnya. Pasti tidak mampu untuk membayar pelayanannya. Tentu sangat tumpang tindih. Padahal setiap individu berhak mendapatkan pelayanan maksimal dari segi kesehatan.
Seyogianya, pemerintah memastikan kebijakan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Terutama dalam hal kesehatan, karena ini bagian dari kebutuhan mendasar yang dibutuhkan rakyat. Sebaiknya pemerintah menggratiskan pelayanan kesehatan, tidak memandang kaya atau miskin. Karena memang tanggung jawab penguasa untuk melayani rakyatnya tanpa memandang untung atau rugi.
Sudah jelas bahwa biaya kesehatan memang mahal, sebab terkait penelitian penyakit, industri obat, alat kesehatan, laboratorium, dan sebagainya. Biaya ini kian terasa berat karena banyak terkuasai korporasi yang bermotif meraih untung besar. Akibatnya, layanan kesehatan pun menjadi mahal. Istilah “orang miskin dilarang sakit” tampaknya jelas dalam realitas.
Ironisnya, penguasa turut mencari keuntungan dalam bisnis kesehatan. Pemerintah secara bertahap melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan layanan kesehatan bagi rakyat. Berawal dari pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pada BPJS, selanjutnya iuran BPJS pelan-pelan naik, dan kini muncul kebijakan penghapusan kelas yang tampaknya juga bisa berujung kenaikan iuran.
Terlihat jelas bahwa penguasa menggunakan paradigma kapitalisme dalam urusan kesehatan, yaitu paradigma mencari untung, bukan untuk memberi layanan terbaik.
Hal ini sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam Islam, kesehatan adalah hak rakyat dan merupakan kewajiban negara untuk memfasilitasinya.
Negara sebagai penguasa akan menyediakan layanan kesehatan untuk mewujudkan jaminan terhadap urusan rakyat, bukan untuk mencari untung. Visinya adalah mewujudkan layanan terbaik untuk rakyat, bukan besaran dana yang masuk ke kas negara. Bahkan, dalam Islam tidak ada kas satu dinar pun yang dipungut dari sektor kesehatan, karena penyelenggaraannya gratis.
Rasulullah saw. mencontohkan penggratisan layanan kesehatan bagi rakyatnya. Contohnya, Rasulullah saw. selaku kepala negara pernah mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis dan menjadikannya dokter umum bagi seluruh masyarakat secara gratis.
Contoh lain, pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam (pembantu beliau) secara gratis. Dimana anggarannya diambil dari Baitulmal untuk mengatasi wabah penyakit di Syam.
Nampak secara jelas, bahwa Islam tidak pernah terjadi komersialisasi kesehatan yang berakibat mahalnya layanan kesehatan. Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota. Bahkan, ada rumah sakit keliling yang mendatangi tempat-tempat terpencil, juga para dokter yang mengobati tahanan.
Namun, bagi individu yang kaya boleh turut membiayai pelayanan kesehatan melalui mekanisme wakaf. Misalnya, Saifuddin Qalawun, seorang penguasa pada zaman Abbasiyah yang mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan Rumah Sakit Al-Manshuri Al-Kabir di Kairo, Mesir. Itulah indahnya pelayan kesehatan dalam Islam, rakyat sejahtera dan tak terbebani. Wallahu’alam bishshawab.
Penulis : Citra Salsabila
(Pegiat Literasi)