KUNINGAN (MASS) – Berbicara perempuan, seperti mengupas peran pengganti dalam sinetron. Selalu tidak memuaskan, karena peran utama selalu lebih menarik perhatian. Isu gender, sebetulnya bukan masalah perempuan semata, tetapi juga menjadi masalah kemanusiaan. Dimana laki-laki pun ingin diperlakukan secara sama, tidak didiskriminasi, dan ingin dihargai. Karena semua sepakat, menjadi orang kedua itu tidak menyenangkan, selalu menjadi alternatif dan tidak pernah diutamakan. Mendapatkan sisa pilihan orang lain, sehingga tidak pernah mendapatkan yang terbaik. Termasuk jika saat ini orang beramai-ramai membicarakan keterlibatan perempuan dalam dunia politik, maka perempuan pun jangan mau dijadikan yang kedua, yang hanya sebagai pelengkap quota dengan alasan “memenuhi persyaratan.”
Pemilu kali ini adalah kesempatan perempuan untuk maju, ikut menceburkan diri di dalamnya hingga basah kuyup, menikmati sensasi derasnya arus dalam berpolitik. Sehingga istilah “second class’ tidak lagi menjadi ‘gelar’ bagi perempuan dalam ranah ini. Baik dengan ataupun tanpa kebijakan yang mengaturnya, perempuan sudah saatnya ambil bagian sebagai penentu kebijakan, minimal untuk memperjuangkan kaum perempuan lainnya. Bukankah yang tau permasalahan perempuan adalah perempuan sendiri? Hingga pada sisi pelik yang tak dapat diungkap secara vulgar, hanya perempuan yang mampu dan tau bagaimana ia ingin diperlakukan.
Kabar baiknya adalah kebijakan pemerintah dalam upaya mendorong perempuan untuk ambil bagian dalam dunia politik sudah dimuat dalam berbagai kebijakan, seperti pada UU No 17 tahun 2017 tentang Pemilu dimana kelengkapan administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota memuat peluang dan ruang bagi perempuan. Diatur pada ketentuan tersebut bahwa resiko bagi peserta pemilu anggota DPR yang tidak memuat 30 % keterwakilan perempuan di dalamnya, maka persyaratanya akan dikembalikan untuk diperbaiki. Keberpihakan lainya adalah dengan keluarnya peraturan yang menerapkan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-krangnya satu orang perempuan, seperti ketentuan yang terdapat dalam pasal 246 ayat (2) pada UU yang sama. Ya…, walaupun sampai saat ini, upaya itu belum cukup berhasil, buktinya, proporsi keterwakilan perempuan yang duduk di parlemen di negara ASEAN saja, posisi Indonesia, masih menduduki peringkat keenam, dengan persentase kurang dari 20% (sumber dari Inter-Parliamentary Union (IPU)), namun demikian, pemerintah sepatutnya mendapatkan apresiasi atas upayanya ini.
Hanya saja pernahkah kita berpiikir bahwa kebijakan di atas selain menguntungkan bagi kaum perempuan, juga dapat menjadi boomerang yang menakutkan? Apalagi sekadar untuk melengkapi administrasi. Sekadar untuk memenuhi legitimasi politik yang menguntungkan kaum patriarkat. Dianggap memaksakan diri ketika perempuan tidak mampu, dan sebagai bentuk pilih kasih pemerintah ketika dianggap mumpuni. Saya mencoba melihat sisi lain lepas dari apa yang dilihat orang sebagai kerugian dan keuntungan atas peraturan perundangan ini. Sehingga stigma buruk terhadap perempuan dapat beralih. Bukan lagi sebagai subordinat, yang menjadi cibiran, tetapi mampu menjadi alasan kenapa orang harus memilihnya sebagai seseorang yang mampu mewakili aspirasinya.
Benar, kenapa perempuan patut dipertimbangkan dalam kancah dunia politik adalah karena seorang perempuan memiliki sifat feminin. Sisi unik yang tidak pernah diberdayakan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan karena stereotif lemah dalam diri perempuan yang terlalu mendominasi. Bukankah sudah saatnya kita menyelesaikan masalah secara elegan. Tidak sebagaimana kentalnya dunia maskulin yang mengatasi segala sesuatu yang identik dengan kekuatan, keserakahan, kekerasan, atau bahkan saling sikut dan potong kompas sebagai bentuk menghalalkan segala cara dalam merebut kekuasaan. Ironisnya lagi, semua dilakukan tanpa rasa berdosa dan malu. Padahal menuntaskan masalah dengan penuh kasih dan sayang, saling menghargai penuh kesabaran serta mengutamakan kedamaian dan ketentraman masih bisa ditempuh? (hal yang sekaligus mengingatkan kita akan implementasi penerapan nilai luhur warisan budaya bangsa)
Kasus kecilnya, kondisi ini saya bayangkan pada perdebatan di parlemen. Tentu akan berjalan lebih santun, lebih tenang, lebih lembut dan menyejukan jika perempuan berperan dengan kapasitasnya. Sehingga setiap putusan yang dihasilkan bukan atas dasar ambisi yang menghitung untung dan rugi, tetapi lebih humanis, penuh cinta kasih dan ketulusan. Sifat perempuan inilah yang dapat menjadi alternatif kenapa perempuan dapat dianggap lebih mampu menyelesaikan masalah secara lebih sempurna karena mampu mengubah keadaan menjadi lebih ramah, sebagai warna baru dalam dunia perpolitikan kita.
Jadi, peran perempuan tidak sekedar untuk menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini digaungkan. Lebih dari itu!!! Perempuan harus pula dapat mewakili pemilihnya dari semua kalangan (yang plural dan punya keinginan yang berbeda). Termasuk juga bagaimana perempuan dapat menyampaikan aspirasi partai politiknya (yang memiliki visi dan misi beragam). Tentunya, tiga posisi ini menuntut bagaimana perempuan harus memiliki kemampuan yang mumpuni. Kualitas dan kredibilitas yang baik dan mampu bersaing. Memiliki tanggungjawab yang lebih dari sekedar sebagai perempuan tetapi sebagai manusia. Karena modal inilah yang akan menghentikan perdebatan sejauh mana peran perempuan dibutuhkan dalam dunia politik. Toh semuanya sudah terjawab: Perempuan mampu memberikan iklim politik yang positif sehingga dapat mengubah hingar bingarnya suasana politik yang ada.
Nah, apakah sekarang kaum perempuan masih ragu untuk tampil dan berperan dalam panggung politik? Sementara manfaatnya sangat besar untuk mengubah bangsa dan negara agar lebih bermartabat. Marilah para perempuan yang akan bersaing di parlemen untuk mengubah cara pandang terhadap kemampuan perempuan, dan mari niatkan diri bergerak aktif dan berpartisipasi untuk menuju bangsa yang lebih beradab.***
Penulis: Meli Pemilia, S.S., (PPK Kecamatan Darma dan Dewan Pengawas LPPL Kuningan)
