KUNINGAN (MASS) – Agus Kusman adalah salah satu murid saya yang sekarang sedang mendapatkan anugerah dari Allah dengan dinyatakan lulus untuk Program Doktor Pengkajian Islam di UIN Syahida Jakarta
Pastinya Agus saat ini jauh berbeda dengan Agus ketika pertama kali datang ke pondok kami, Pondok Pesantren Al-Mutawally, tahun 2010 silam.
Agus dulu tidak hanya “papa” secara ekonomi karena ayahnya hanyalah pekerja kuli (ligung) yang mengantarkan hasil panen dari sawah ke jalan dengan ongkos yang sangat rendah. Sebuah gambaran kehidupan yang sulit di kalangan keluarga kaum buruh tani di negeri ini. Jangankan untuk melihat anak-anak mereka sekolah setinggi-tingginya, untuk makan sehari-hari saja sudah berat. Pendidikan Tinggi bagi anak-anak mereka seperti jauhnya langit di atas sana. Tak terbayangkan, bahkan mungkin mimpi pun tidak pernah.
Agus juga “papa” secara akademis khususnya ilmu agama. Ia pernah bercerita bahwa sebelum masuk Pondok dan masuk Madrasah Aliyah (MA) Al-Mutawally, ia tidak pernah sholat, bahkan tidak tahu sama sekali bacaan sholat, padahal semua orang tahu bahwa sholat adalah tiang agama. Lebih jauh Agus menyatakan bahwa ia baru mulai bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar tapi dengan jujur ia katakan belum tentu benar adalah ketika mondok di Al-Mutawally.
3 tahun berlalu (2010-2013) Agus mondok dan tidak banyak prestasi yang bisa dihadirkan oleh seorang “muallaf” kecuali munculnya kesadaran tentang siapa dia dan harus apa yang ia lakukan sebagai seorang santri yang “dibantu” dan bagaimana ia memanifestasikannya dalam perilakunya sehari-hari. Salah satu manifestasinya adalah pengabdian dan loyalitasnya tanpa syarat kepada ibu pengasuh sekaligus ibunda saya tercinta, almarhumah wa almaghfirlaha Hj. Shopiyah. Tidak heran jika saking sayangnya ibu saya padanya sampai menitipkan amanah agar saya bisa membawanya untuk kuliah. Suatu tugas yang sangat berat sebenarnya kalau boleh dikatakan kala itu.
Setelah lulus MA, yang ada adalah keraguan pada diri Agus apakah mau melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi atau tidak. Di tengah kegalauan itu, saya minta dia untuk mencoba daftar ke IAIN Syekh Nurjati Cirebon dengan harapan bisa dapat Beasiswa Bidik Misi. Tahap demi tahap ia lalui dengan baik, hingga suatu ketika muncul ujian baru dalam bentuk ngaji kitab kuning. Sebagai orang yang baru saja mengenal ajaran Islam dan baru mencoba belajar kitab kuning dasar, pastinya hasilnya sudah ditebak apalagi kitab diujikan sama sekali tidak pernah ia kenal. Gagal sudah usahanya kali ini.
Tidak ingin melihatnya sedih, saya raih dia dan saya katakan sudah tidak apa-apa, tahun depan bisa coba lagi. Untuk saat ini, Agus diminta sama ibu pengasuh ngurus dapur pondok saja. Tak dinyana ia terima dengan senang hati dan tak ada kesedihan sama sekali di raut wajahnya. Tapi jujur saya tidak tahu isi hati yang sebenarnya.
Mulailah Agus benar-benar masuk ke dunia perdapuran dan siapapun tahu dapur itu identik dengan beragam wangi kalau tidak boleh disebut bau. Terlebih dengan semakin banyaknya pekerjaan dapur yang harus ia selesaikan, semakin sempit pula waktu yang dimiliki sekadar untuk berhias bahkan mandipun tidak sempat ia lakukan 2 kali sehari. Akibatnya badan Agus semakin “wangi” setiap kali lewat tapi ia tetap percaya diri. Tidak heran jika muncul candaan di pondok tentang “penguasa dapur” ini dengan nama baru bukan Agus Kusman tapi Agus Kuman. Sekali lagi ia tidak tersinggung, malah senyum-senyum saja.
Satu tahun berlalu, rupanya pengalaman dunia “dapur” menjadi berkah baginya karena ia dinyatakan lulus meskipun dengan beasiswa santri berprestasi dan bukan Bidik Misi seperti yang ia harapkan. Tapi saya sampaikan tunjukkan saja prestasimu Gus dan jika bisa kalahkan mereka yang mendapat Bidik Misi.
Setelah berjalan beberapa semester benar saja, jiwa dan semangatnya yang telah ia peroleh di kawah candradimuka dapur berhasil menghantarkannya untuk menerima beasiswa Bidik Misi. Dengan raihan ini, ia semakin semangat untuk menyelesaikan studi S1-nya di jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) tepat waktu. Hasilnya ia berhasil tepat waktu bahkan dengan predikat cum laude.
Inilah persembahan pertama Agus kepada orang tuanya yang untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya melihat wisuda sarjana, bahkan melihat Perguruan Tinggi karena selama Agus kuliah, orang tuanya hampir atau bahkan mungkin tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah Perguruan Tinggi.
Pesta Wisuda usai. Hal pertama yang saya tanyakan adalah “Agus mau kemana?” Saya sampaikan bahwa tugas saya menghantarkannya menjadi seorang sarjana dari keluarga buruh tani sebagaimana amanah ibu pengasuh sudah selesai. Tak diduga jawabannya justru “saya mau lanjut ke S2 A” dan dia berjanji akan berjuang untuk meraih beasiswa.
Benar saja beberapa saat kemudian saya menerima kabar bahwa Agus dinyatakan lulus S2 di UIN Syahida Jakarta dengan mendapat beasiswa LPDP. Luar biasa. Sekali lagi jiwa dan semangat selama pengabdian di dapur dan loyalitasnya pada ibu pengasuh telah menjadikannya seorang yang tangguh sekaligus optimis. Tepat 2 tahun ia selesaikan S2-nya dengan tesis yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Kiyai dan Gerakan Sosial: Kiyai Hasan Maolani Lengkong”
Setelah selesai S2 nampaknya kepercayaan dirinya semakin menonjol dan itu juga diakui oleh berbagai kalangan. Di kalangan alumni Pondok Pesantren Al-Mutawally, ia dipercaya sebagai Ketua Umum Keluarga Alumni Pondok Pesantren Al-Mutawally (KAPPA). Ia juga dipercaya sebagai Direktur Kuningan Institute, sebuah lembaga think tank di Kuningan, dan beberapa posisi strategis lainnya baik di kepemudaan maupun di Kemasyarakatan. Tidak heran jika pada tahun 2021 ia diberi anugerah oleh Bupati Kuningan sebagai pemuda berprestasi. Sungguh tak terbayang Agus yang dulu kucel, kampungan dan papa dalam hampir segala aspeknya kini menjadi pemuda yang sangat dihormati.
Puncaknya, siang hari ini saya dapat kiriman berita bahwa ia dinyatakan lulus program Doktor di UIN Syahida Jakarta. Ini benar-benar luar biasa. Sebagai guru, tidak ada kebahagiaan kecuali melihat muridnya sukses.
Ucapan selamat adalah kata yang pertama kali disampaikan. Berikutnya tentunya do’a akan kesuksesan studinya di level tertinggi ini.
SELAMAT BERTAMASYA DI DUNIA AKADEMIK YANG TERTINGGI INI MURIDKU YANG TERCINTA, SEMOGA ALLAH SWT MEMBERIKAN KEMUDAHAN DAN KELANCARAN, SEHINGGA ENGKAU KELAK AKAN SEMAKIN MEMBERIKAN MANFAAT KEPADA SESAMA.
Kisah ini mengajarkan sesuatu yang dulu menjadi tagline seorang Barack Obama, “Nothing is impossible”. Yes We Can.
Keberhasilan Agus meyakinkan kami bahwa Pondok Kami, Pondok Pesantren Terpadu Kulliyyatul Mu’allimin Al-Mutawally, on the track yaitu melahirkan kader-kader umat yang brilian yang akan turut serta membangun peradaban agung Islam tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia global yang berbasis pada nilai dan prinsip rahmatan lil ‘alamin.
Penulis : Prof. KH. Didin Nurul Rosidin, M.A., PhD adalah
Direktur Kulliyyatul Mu’allimin Al Mutawally Bojong Cilimus Kuningan. Prof. KH. Didin adalah dzurriat dari dua ulama besar di Kuningan yaitu KH. Mutawally dan KH. Hasan Maolani