CIBEUREUM (MASS) – Sangat prihatin. Peradaban Desa Kawungsari Kecamatan Cibeureum bakal hilang. Masjid, mushola, sekolah, rumah dan berbagai bangunan bersejarah di desa itu akan terkubur setelah Waduk Cileuweung dioperasikan nanti.
Desa ini berpenduduk 400 KK. Mayoritas mengandalkan nafkahnya dari bercocok tanam. Saat ini mereka diliputi rasa cemas. Betapa tidak, tanah air mereka akan “dibumihanguskan”. Dengan kata lain, akan dikubur untuk sebuah Waduk Cileuweung.
Ironisnya, disaat warga gundah oleh rencana “penguburan” ditambah bencana yang baru beberapa bulan lalu menimpa, nasib mereka seolah tidak dipikirkan pemerintah. Pembebasan lahan dan bangunan belum dilakukan. Mereka juga merasa belum jelas mau dipindahkan kemana.
“Masjid, mushola, sekolah dan bangunan lain di desa ini akan tenggelam. Pokoknya peradaban Desa Kawungsari akan hilang. Penduduk di sini ada 400 KK,” ungkap Asep Kuswara, warga Rt 07/02 desa setempat.
Pria yang akrab disapa Markus ini mengatakan, sebetulnya warga Kawungsari sudah menerima konsekuensi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Ia bersama masyarakat tidak mau disebut penghambat pembangunan. Namun dalam perjalanan, nasib warga terkesan tidak diperhatikan.
“Padahal semua mendukung pembangunan pemerintah. Tapi tolong dong perhatikan hak mereka. Bagaimana pembebasan lahan dan bangunannya. Lalu mau kemana kita diungsikan,” tandas Asep yang dipercaya menjabat ketua Gema Bhakti (Gerakan Masyarakat Pembangunan Kuningan Timur) itu.
Seluruh warga Desa Kawungsari meminta agar siapapun yang berkuasa, memberikan pengayoman kepada rakyatnya. Jangankan 400 KK, nasib 1 jiwa pun sudah jadi kewajiban pemerintah untuk memikirkan. Dengan begitu rakyat akan percaya bahwa hakikat keberadaan pemerintah terasakan.
Hal ini seperti diutarakan Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Kawungsari, Kusmawan. Dikatakan, setelah warga menerima konsekuensi pembangunan yang dicanangkan, maka pembangunan tersebut jangan sampai menyengsarakan warganya.
“Bagaimana pembebasan tanahnya, bagaimana relokasinya, itu kami mohon realisasikan. Jangan cuma janji-janji saja. Apalagi kemarin kami baru dilanda bencana banjir, kami trauma bertubi-tubi,” keluhnya.
Kejanggalan Proses Pembangunan Waduk
Pada saat pemerintah menggulirkan program Waduk Cileuweung 6 tahun silam, semestinya terskejul dengan rapi dengan protap yang jelas. Terlebih proyek Waduk Cileuweung merupakan program berskala nasional yang kerap disebut mega proyek.
Jika tertata rapi, diyakini tidak akan menimbulkan gejolak dimasyarakat. Masalah tidak akan terjadi di bawah. Tidak akan ditemukan kasus warga pemilik lahan 100 meter persegi misalnya, berkurang jadi 80 meter persegi.
Atau ada kasus warga yang awalnya punya SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) malah tanahnya jadi hilang. Sebaliknya ditemukan, adanya warga yang sebelumnya tidak punya SPPT, tiba-tiba mengantongi dan mencairkan.
Pada saat Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke lokasi Waduk Cileuweung Jumat (25/5/2018), malam harinya beredar isu bahwa waduk tersebut akan sekaligus diresmikan. Kalau diresmikan, berarti waduk tersebut terjelma.
“Kalau betul diresmikan, berarti pemerintah membangun diatas tanah siapa? Ijab pelepasan tanah dan bangunannya kan belum ada,” kata Didin Syafarudin, aktivis Gema Bhakti.
Dia tidak habis pikir dengan langkah pembebasan lahan yang dilakukan selama ini. Warga Desa Tanjungkerta Kecamatan Karangkancana yang hanya terkena imbas dari pembangunan waduk, justru sudah disediakan tempat relokasi. Sementara Desa Kawungsari yang jelas-jelas akan ditenggelamkan, belum ada kejelasan.
Begitu juga warga 2 RT di Desa Randusari yang jelas terkena bising suara dan getaran dari senderan waduk, lahan mereka tidak dibebaskan. Yang menurutnya lebih aneh lagi, 3 rumah yang lokasinya cukup jauh dari proyek justru sudah ada pembayaran pembebasan lahan.
“Mestinya dalam sebuah perencanaan pembangunan itu, yang mutlak dan lebih didahulukan yaitu pembebasan tanah. Jadi gimana ya, terlalu kasar saya kira kalau dibilang itu kesewenang-wenangan,” ketusnya.
Langkah perjuangan nasib, sudah dilakukan rakyat Kawungsari sejak lama. Bahkan upaya itu dimulai dari bawah sampai ke level atas. Namun hingga saat ini perjuangan mereka mentok. Mungkin beginilah nasib rakyat kecil alias wong cilik.
“Mungkin sudah suratan takdir, kalau kedaulatan ada ditangan rakyat itu hanya jargon semata,” sindir Asep Kusmara.
Atas ketidakjelasan nasib, mereka melayangkan surat terbuka untuk Presiden RI Joko Widodo. (deden)