KUNINGAN (MASS) – Pembentukan kementerian baru oleh Prabowo Subianto memicu perdebatan di kalangan politik dan publik. Meskipun ada argumen yang mendukung, beberapa alasan kuat menentang kebijakan ini layak mendapat perhatian lebih besar.
Argumen Pro
Pendukung pembentukan kementerian baru berpendapat bahwa ini merupakan hak prerogatif presiden terpilih. Setiap presiden memiliki skala keperluan prioritas yang berbeda dan langkah ini diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan program pemerintah yang spesifik.
Misalnya, program makan siang dan susu gratis memerlukan lembaga khusus yang mampu menangani aspek gizi masyarakat secara efektif.
Dalam pandangan tersebut, Indonesia sebagai negara besar dengan populasi yang banyak membutuhkan struktur pemerintahan yang lebih kompleks untuk menangani berbagai isu yang ada.
Argumen Kontra
Namun, argumen yang menentang kebijakan ini memiliki dasar yang kuat dan rasional. ditambah lagi, teknologi semakin canggih layanan publik dapat dilakukan lebih baik tanpa menambahan SDM apalagi kementerian baru. Ada beberapa alasan diantaranya:
Pertama, penambahan kementerian berpotensi menghambat efektivitas pemerintahan. Ini bisa menambah tumpang tindih kewenangan dan birokrasi yang semakin rumit, yang pada akhirnya akan memperlambat proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.
Kedua, beban anggaran menjadi masalah utama. Setiap kementerian baru membutuhkan anggaran besar untuk operasional dan administrasi.
Dalam situasi di mana efisiensi anggaran sangat penting, penambahan kementerian hanya akan meningkatkan beban APBN dan bisa mengalihkan dana yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program yang lebih langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Ketiga, motif politik di balik pembentukan kementerian baru patut dipertanyakan. Rencana Beleid tersebut lebih bertujuan untuk mengakomodasi kekuatan politik pendukung pemerintah daripada mencapai tujuan bernegara yang lebih efektif dan efisien.
Penambahan kementerian bisa dilihat sebagai upaya untuk memberikan posisi dan kekuasaan kepada pihak-pihak tertentu, yang sebenarnya tidak diperlukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah.
Selain itu, semakin besar ukuran organisasi negara tidak sesuai dengan prinsip efisiensi dan prinsip teknologi yang semakin modern dan murah. Apalagi Pemerintah selalu mengizinkan work from home (WFH) ASNnya saat ada even besar kenegaraan atau ada rencana mengurangi kemacetan seperti saat lebaran kemarin.
Dalam era digital, e-government bisa diterapkan untuk meningkatkan efisiensi tanpa perlu memperbesar ukuran birokrasi negara. Teknologi seharusnya dimanfaatkan untuk mempercepat proses administrasi dan pelayanan publik, bukan justru menambah lapisan birokrasi yang bisa menghambat efektivitas pemerintahan.
Penambahan Kementerian Baru, Menambah Proyek IKN, Tidak Peka Terhadap Kesulitan Rakyat
Rencana pembentukan kementerian baru oleh Prabowo Subianto akan juga membawa dampak dalam konteks pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Salah satunya adalah pembangunan rumah dinas menteri tambahan di IKN, yang menelan biaya Rp14 miliar per unit.
Dengan biaya Rp14 miliar per unit untuk rumah dinas menteri, penambahan empat kementerian berarti mengeluarkan tambahan Rp56 miliar.
Mengingat adanya kebutuhan efisiensi anggaran, penggunaan dana sebesar ini untuk rumah dinas menteri bisa dialokasikan untuk program-program yang lebih berdampak langsung kepada masyarakat.
Jika kita mempertimbangkan Rp56 miliar untuk empat rumah dinas menteri, jumlah ini bisa dialokasikan untuk berbagai program yang lebih produktif, seperti:
Pertama, Pendidikan: Membangun atau memperbaiki sejumlah sekolah di daerah terpencil. Dana Rp56 miliar bisa digunakan untuk merenovasi 53 SD daerah terpencil dan SD lainnya yang sangat prioritas bagi penduduk disana. Tahun 2018, Kemendikbud pernah melakukan renovasi SD prioritas namun belum 100 persen karena ketidaktiadaan dana APBN.
Kedua, Kesehatan: Pengadaan alat kesehatan layak atau pembangunan beberapa pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) terutama Puskesmas kelas C/Pustu Desa.
Biaya pembangunan diperkirakan sebesar Rp 8,5 miliar per pustu sehingga dana Rp56 miliar bisa digunakan untuk 6 atau 7 buah puskesmas desa/Pustu yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat desa.
Ketiga, Infrastruktur: Pembangunan atau perbaikan jalan di daerah pedalaman yang dapat meningkatkan konektivitas dan perekonomian lokal.
Beberapa daerah di Indonesia mengalami gangguan serius akibat jembatan yang rusak, yang menghambat aktivitas sekolah dan kegiatan warga sehari-hari. Dana pembangunan rumah 4 menteri baru di IKN sebesar Rp56 miliar tersebut bisa digunakan untuk membangun 4 infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat di Riau, Surabaya, banten dan Trenggalek.
Dana tersebut lebih baik digunakan untuk membangun 4 jembatan diantaranya:
Pertama, di Indragiri Hilir, Riau, Di Desa Pulau Kecil, Kecamatan Reteh, jembatan kayu yang sudah lapuk mengancam keselamatan anak-anak sekolah yang harus meniti jembatan tersebut setiap hari. Kondisi ini semakin berbahaya saat musim hujan karena jembatan sering terendam air sungai yang meningkat.
Kedua di Surabaya, Jawa Timur, Jembatan yang biasa digunakan oleh pelajar SD di kawasan Semolowaru mengalami kerusakan parah dan hampir roboh. Jembatan ini menjadi akses utama menuju sekolah dan sangat membahayakan keselamatan anak-anak dan warga setempat.
Ketiga di Pandeglang, Banten. Jembatan Cegog yang rusak di Pandeglang memaksa siswa dan warga untuk menyeberangi sungai demi bisa bersekolah dan melakukan aktivitas lainnya. Kondisi ini sangat berbahaya terutama saat hujan deras, yang membuat jembatan semakin tidak bisa dilewati.
Keempat di Trenggalek, Jawa Timur dimana jembatan dan jalan rusak akibat banjir dan longsor mengganggu aktivitas warga dan mengisolasi beberapa desa. Jembatan ini penting untuk akses anak-anak ke sekolah dan kegiatan ekonomi warga.
Urgensi Kementerian Baru Lebih Kepada Motivasi Politik Daripada Motivasi Layanan Publik
Pertanyaan mengenai urgensi pembentukan kementerian baru atau apakah ini sekadar bagi-bagi kekuasaan politik sangat penting. Dalam konteks pemerintahan yang ada, penambahan kementerian tidak selalu berarti peningkatan efisiensi atau efektivitas.
Sebaliknya, bisa menambah tumpang tindih kewenangan dan birokrasi yang justru menghambat kinerja pemerintahan. Jika penambahan kementerian hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik, rakyat tidak akan mendapat manfaat langsung.
Malah, ini bisa menyebabkan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan birokrasi yang lebih rumit. Sebagai alternatif, penerapan teknologi dan sistem e-government dapat meningkatkan efisiensi tanpa perlu memperbesar ukuran birokrasi negara.
Kesimpulan
Berdasarkan argumen di atas, kebijakan pembentukan kementerian baru oleh Prabowo Subianto harus ditolak. Penambahan kementerian hanya akan menambah beban anggaran yang signifikan, menciptakan tumpang tindih kewenangan, dan didasari oleh motivasi politik yang tidak sehat. Sebaliknya, pemerintah seharusnya fokus pada penerapan teknologi dan efisiensi birokrasi untuk mencapai tujuan bernegara yang lebih efektif dan efisien.***
Penulis : Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta)