KUNINGAN (MASS) – Akhir-akhir ini sebagian masyarakat sedang memberikan perhatian pada polemik pembangunan Batu Satantung oleh masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. Jika diperhatikan, beberapa orang telah memberikan opini berdasarkan sudut pandang dan keahlian masing-masing, baik berdasarkan kajian sosial, politik, hukum, budaya, dan lainya.
Tidak ada larangan memang, bagi siapapun yang akan memberikan opininya terhadap polemik yang sedang terjadi ini. Sebagai seorang akademisi, saya melihat hal ini sebagai sesuatu yang harus didudukan pada porsinya. Kata kuncinya terletak pada diksi “memahami atau tidak memahami”, bukan pada diksi “mendukung atau tidak mendukung” bagi pembangunan Batu Satangtung oleh masyarakat AKUR atau langkah yang diambil oleh pemerintah daerah.
Alasan utama pemilihan diksi tersebut saya kira merupakan keniscayaan agar tidak terjadi konflik horizontal di masyarakat. Akan tetapi, saya memiliki keyakinan bahwa konflik horizontal di masyarakat tidak akan pernah terjadi jika masing-masing masyarakat saling memahami dan menghormat.
Sebagai peneliti dibidang ethnomathematics (bidang kajian yang memfokuskan riset pada irisan antara: antropologi budaya, matematika instrusksional, dan permodelan matematika), saya merasa terpanggil untuk memberikan analisa yang berfokus pada makna sebuah simbolisasi.
Salah satu dari banyaknya irisan antara budaya dengan matematika adalah unsur simbolik yang melekat pada kedua bidang ini. Budaya tumbuh dengan simbolisasi yang banyak mengandung nilai-nilai filosofis, sementara matematika menggunakan simbolisasi sebagai bentuk penyederhanaan cara melakukan komunikasi matematis.
Komunikasi matematis dalam arti sederhana, sejatinya selalu dilakukan baik pada bidang matematika akademik maupun yang dilakukan oleh masyarakat sehari-hari sebagai suatu bentuk literasi matematis.
Angka, bilangan atau operasi matematika untuk berbagai perhitungan (misalnya : penghitungan dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan lain sebagainya) sejatinya merupakan simbol yang ada dan digunakan dalam matematika.
Simbol yang digunakan dalam matematika merupakan bentuk komunikasi yang lebih sederhana tetapi kaya akan makna. Simbol matematika juga memiliki fungsi efisiensi dalam mengkomunikasikan matematika verbal ke dalam tulisan, baik untuk mengekspresikan peristiwa sehari-hari kedalam simbol matematika maupun sebaliknya.
Sementara itu, dalam kajian budaya simbol biasanya identik dengan pemaknaan akan sesuatu yang bernilai filosofis. Bilangan N = {1, 2, 3, 4, 5, 6, 7…} dapat dimaknai sebagai bilangan asli yang memiliki definisi sebagai bilangan positif yang dimulai dari bilangan satu keatas.
Sementara itu, berdasarkan kajian budaya beberapa lambang bilangan mengandung makna yang memiliki nilai filosofis yang diyakini oleh masyarakat dalam kehidupan mereka. Beberapa hasil penelitian ethnomathematics pada komunitas AKUR terutama tentang nilai filosofis bilangan, saya contohkan di bawah ini
Bilangan 1, dimaknai sebagai “Tunggal manungggal”, kuring hirup lantaran aya kurung, Zat maha cipta nu ngahirupan kuring nu aya dina kurung (Tuhan YME yang memberikan kehidupan kepada saya yang ada dalam raga).
Bilangan 2, dimaknai sebagai gambaran alam makro dan alam mikro, perempuan dan laki-laki (berpasangan).
Bilangan 3, melambangkan kasih karunia Tuhan terhadap manusia, terutama memberikan getaran naluri, rasa dan pikir yang sempurna (sir, rasa, dan pikir atau id, ego, dan super ego).
Bilangan 4, dimaknai sebagai keberadaan unsur-unsur tanah, air, angin, dan api sehingga di bumi terdapat kehidupan.
Bilangan 5, Menggambarkan panca indera: mata, hidung, telinga, kulit, dan lidah. Menggambarkan keberadaan manusia, bermacam-macam kulit yang berwarna merah, hitam, putih, sawo matang dan kuning jika dilihat berdasarkan etnis. Selain itu, bilangan lima menggambarkan juga keagungan maha pencipta terutama dalam spektrum warna.
Bilangan 7, dimaknai sebagai jumlah palawangan (lubang) yang ada di kepala, yaitu: 2 mata, 2 lubang hidung, 2 lubang telinga dan 1 lubang pada mulut.
Berdasarkan deskripsi di atas, kita bisa melihat bahwa budaya memiliki pemaknaan yang luas terhadap lambang bilangan. Berdasarkan perspektif matematika, kita meyakini bahwa dalam peradaban kuno, simbol digunakan dalam kegiatan numerasi yang umumnya dikenal sebagai penghitungan.
Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengetahui banyak benda dan mengetahui ukuran benda. Proses simbolisasi dalam matematika terdiri dari tiga tahap, termasuk: rethoric algebra, syncopated algebra, dan symbolic algebra.
Proses simbolisasi dalam matematika tersebut berawal dari tahapan orang menulis simbol matematika menggunakan kata-kata dalam bahasa sehari-hari, kemudian menggunakan singkatan dalam beberapa huruf, dan akhirnya orang mulai setuju pada penggunaan simbol khusus dalam matematika yang bersifat universal. Sementara, dalam perspektif budaya simbol itu mungkin hanya diyakini oleh sebagian orang.
Kembali pada polemik Batu Satangtung. Satangtung dalam matematika merupakan ukuran simbolik yang berarti setinggi seseorang dari mulai kepala sampai telapak kaki. Menurut kabar yang saya dengar, Batu Satangtung Curug Goong berukuran ± 3 Meter.
Sebelum saya melakukan analisis tentang istilah yang digunakan, Saya ingin menjelaskan sedikit tentang istilah emic, etic, dan glocal/dialogial dalam penelitian kualitatif. Pendekatan emic berfungsi untuk mengskplorasi pemahamanan intuitif dan empatik tentang praktik yang dikembangkan anggota kelompok budaya, pendekatan etic berfungsi untuk melihat kemungkinan representasi global berdasarkan akademik, sementara pendekatan glocal/dialogial berfungsi menjembatani dialog antara etic dan emic.
Singkatnya, emic merupakan persepsi orang dalam budaya tertetu, sementara etic merupakan persepsi orang diluar budaya tersebut.
Melihat fakta yang ada, berdasarkan emic nampaknya penggunaan istilah satangtung oleh masyarakat AKUR mengandung unsur ketidakkonsistenan dalam ukuran. Secara etic, Satangtung merupakan ukuran simbolik yang tidak dapat dipastikan standar penggunaanya karena tidak memiliki standar yang jelas sesuai dengan ukuran internasional.
Secara harpiah peran yang dimainkan oleh emic dan etic memang tidak bisa disatukan, maka peran glocal/dialogial dibutuhkan untuk menjembatani dialog/komunikasi antara emic dan etic tersebut sehingga kita bisa saling menghormati pemahaman masing-masing. Batu Satangtung Curug Goong yang berukuran ± 3 Meter dapat dimaknai sebagai ukuran simbolik yang memang tidak diikat oleh Batasan ukuran.
Selanjutnya, secara filsafat kita memahami bahwa terdapat faham rasionalisme dan empirisme, yang merupakan dua faham yang saling bertentangan. Rasionalisme merupakan paham yang mengatakan bahwa akal adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan, sehingga berpikir logis merupakan alat untuk mengukur suatu temuan.
Sementara empirisme merupakan paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris, sehingga bukti empiris digunakan sebagai pembuktian logis berdasarkan pengalaman maupun perantaraan indera.
Berdasarkan pendekatan emic, etic dan glocal/dialogical yang telah saya jelaskan dan contohkan tadi, maka saya menyarankan agar berbagai pihak untuk berperan dan menggunakan perspektif masing-masing, dengan kata lain tidak melalukan pergantian peran.
Alangkah bijaknya, ketika kita menggunakan pendekatan glocal/dialogical sebagai wujud penghormatan terhadap masing-masing peran yang dimainkan. Untuk itu, saya berharap mediasi antara Bupati dengan keluarga Paseban yang dilakukan beberapa hari lalu dapat menjadi cara terbaik untuk mengakhiri polemik yang terjadi.
Berkenaan dengan dua faham fisafat yang saya deskripsikan di atas, saya menyarankan agar keduanya bisa digunakan sebagai landasan kita dalam berpikir. Rasionalime yang didasari oleh berpikir logis, sejatinya merupakan cara berpikir ideal, dimana logika selalu terkait dengan pengelolaan sistematis dan penalaran inferensial sehingga logika dipandang sebagai antitesis dari bisikan diri, ilham, atau intuisi.
Namun demikian, perlu disadari bahwa berpikir logis cenderung dapat menjadikan manusia berpikir kaku dengan menghilangkan unsur spontanitas berpikir sehingga faham empirisme perlu disandingkan agar pembuktian logis berdasarkan pengalaman maupun perantaraan indera mampu memberikan bukti yang faktual.
Uba Umbara
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Muhammadiyah Kuningan
Bendahara Paguyuban Pasundan Cabang Kuningan