KUNINGAN (MASS) – Narasumber lain berbicara berbagai hal kaitan dengan kerukunan umat beragama. Mulai dari Ketua PC NU Kuningan, Ketua PD Muhammadiyah Kuningan, Kakanwil Kemenag Jabar, sampai Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama.
Seperti yang telah diurai dimuka, Pupuhu Adat Cigugur, Pangeran Gumirat Barna Alam mengutarakan apresiasinya atas pertemuan yang digelar. Disusul Ketua MUI Kuningan Kyai Dodo Syahida serta Ketua FKUB Kuningan KH Achidin Noor. Baru kemudian beberapa ketua ormas Islam dan pejabat kemenag yang berbicara.
KH Aminuddin, Ketua PCNU
Ketua PCNU menceritakan kiprah NU dalam memediasi konflik beragama. Ia juga bertutur tentang pemberian KTP untuk Ahmadiyah.
Ia pernah memimpin pembacaan syahadat 1200 orang Ahmadiyah sebelum pemberian KTP. Membuat terobosan dengan memberikan pembinaan kepada para pengikut Ahmadiyah.
Menurutnya, NU memiliki dan memperjuangkan ukhuwah al-nahdliyyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
KH Wahid, PD Muhammadiyah
KH Wahid menuturkan tentang realitas toleransi di lingkungan rumahnya. Ia bercerita bahwa di kiri dan kanan rumahnya adalah penghayat kepercayaan. Beberapa tetangganya yang lain juga berasal dari kalangan Katoik dan Kristen.
Jadi, kalau ada kematian, pernikahan, khitanan, dari umat beragama mana pun, dirinya hadir. Termasuk dalam urusan sosial kemasyarakatan seperti ronda atau kerja bakti, Kyai Wahid hadir tanpa memedulikan penganut agamanya.
Karena itulah rasa heran muncul, mengapa dirinya yang hidup di tengah-tengah keragaman merasa tenang dan biasa saja, tetapi yang di luar mempermasalahkan.
Baginya, dari Muhammadiyah, tidak akan mempersoalkan niat atau keinginan dari rekan-rekan komunitas adat selama prosedurnya ditempuh, legalitasnya ada, perizinannya ada, dan lain-lain. Sebenarnya yang menggaungkan ke mana-mana itu bukan warga Cigugur, tetapi orang luar.
“Sebagai contoh, pernah suatu saat anaknya Ibu Simon mau nikah. Keluarganya datang menemui saya dan meminta saya untuk mewakili mereka menyerahkan pengantin,” tutur Wahid.
“Padahal Ibu Simon penganut Katolik, tetapi ia meminta saya, bukan meminta kerabatnya yang lain yang seagama. Dan tentu saja saya menghargai permintaannya. Itu merupakan bentuk penghormatan juga bagi saya,” lanjutnya.
Seperti itulah, imbuh Wahid, toleransi yang hidup dan berkembang di Cigugur. Kerukunan di sana sangat bagus.
Dr. H. Adib, Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat
Sebagai orang baru di lingkungan Kemenag Kanwil Jawa Barat, pihaknya merasa bahwa kerukunan umat bergama di Jawa Barat sudah cukup bagus. Tetapi kemudian mendapatkan berita bahwa indeks kerukunan beragama Jawa Barat nomor 3 dari bawah.
Tentu saja Adib terkejut dan bertanya-tanya, mengapa bisa seperti itu. Ia sangat bersyukur karena di Kuningan tidak ada intoleransi. Dirinya sepakat dengan apa yang disampaikan FKUB, ketua MUI, segala sesuatu harus ditempuh secara prosedural.
“Begitu juga dalam hal melibatkan semua komponen di masyarakat sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Terkait Ahmadiyah, Kuningan menjadi rujukan. Beda dengan Tasikmlaya yang sampai saat ini belum mencapai kata sepakat berkaitan dengan KTP dan pencatatan nikah. Adib berharap kehidupan damai dan toleran ini akan melahirkan kesejahteraan dan kedamaian sosial.
“Kita harus melangkah ke depan bahwa kita itu akur-akur saja dan damai. Dalam keseharian banyak tolong menolong. Jangan sampai kondisi ini dirusak oleh berbagai kepentingan sesaat, termasuk kepentingan politik,” serunya.
Dr. H. Nifasri, M.Pd., Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama
Dengan bertemu dan berdialog, serta melihat langsung kondisi yang terjadi, Nifasri mengungkapkan, ternyata masalah ini tidak seperti yang dibayangkan orang begitu besarnya.
“Alangkah baik jika pihak-pihak yang berbeda bisa duduk bersama, tidak perlu formal,” harapnya.
Kemudian, ia mengoreksi pernyataan ketua FKUB Kuningan tentang tugas FKUB. Ia mengatakan bahwa tugas FKUB itu di antaranya mengurusi berbagai hal yang mengganggu kerukunan, bukan hanya mengurusi umat beragama.
“Kebanyakan kasus konflik terjadi karena terputusnya komunikasi. Karena itulah kali ini kami menggelar kegiatan di Kuningan agar terjadi dialog dan pertemuan,” terangnya.
Ia berharap ke depannya tugas-tugas FKUB diubah dan diurai lagi sehingga melibatkan lebih banyak pihak.
Prof. Oman Fathurahman, Staf Ahli Menteri Agama/Juru Bicara Kementerian Agama
Selama ini ada kesulitan tersendiri bagi FKUB ketika mengurus atau mengelola masalah-masalah keagamaan. Sebab, hingga saat ini dari sisi konstitusi dan regulasi, belum ada aturan yang membahas dan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan umat beragama.
“Karena itulah sangat rumit dan tidak mudah menjadi ketua dan pegurus FKUB itu. Sebab, harus mengurusi kerukunan umat beragama,” kata Oman Fathurahman.
Salah satu ujung tombak penguatan moderasi beragama di tingkat kabupaten adalah FKUB. Kalau RPMA tentang penguatan moderasi ini jadi, Kementerian Agama akan membutuhkan banyak kontribusi dari FKUB.
“Dengan demikian, mudah-mudahan anggaran untuk FKUB tidak hanya berasal dari pemerintah daerah, tetapi juga dari Kementerian Agama,” ucapnya.
Salah satu poin penting yang memicu munculnya konflik adalah ketiadaan komunikasi. Karena itulah pihak-pihak yang memiliki kapasitas dan tugas untuk mengelola konflik beragama harus memfasilitasi dialog dan mediasi.
Semua agama, termasuk Islam, sangat menekankan masalah akidah atau keyakinan. Persoalan akidah ini tidak dapat diganggung gugat. Beragama harus diyakini betul, harus dijaga.
Karena itulah muncul kekhawatiran dari umat Islam bahwa apa yang hendak dibuat oleh komunitas adat Cigugur mungkin akan mengusik akidah mereka.
Tetapi, di sisi lain, sebagai salah seorang yang juga pernah membaca manuskrip di Paseban, pihaknya bisa menyampaikan bahwa memang dalam manuskrip-manuskrip tersebut tidak ada ajaran tentang pemujaan kepada barang, benda, atau yang lainnya, termasuk makam.
“Jadi, masalah komunikasi dan dialog ini sangat penting. Dulu saat masih kecil, saya anti-Cigugur atau tidak suka. Ketidak sukaan itu karena ketidaktahuan saya tentang apa sesungguhnya komunitas Cigugur itu dan siapa sesungguhnya Pangeran Madrais itu,” ungkap Oman.
Ia melanjutkan, orang tua dahulu menyampaikan banyak info yang membentuk keyakinan dan sikap anak-anak di masa itu. Setelah mengetahui, mengenal, dan bergaul, pikirannya menjadi lebih terbuka.
Masalah komunikasi ini penting. Selain itu, semua pihak yang berrelasi dalam kehidupan sosial harus selalu mengikuti prosedur dan regulasi.
Setelah pertemuan ini, Oman secara pribadi, akan lebih berani untuk ekspos di media massa, maupun di media sosial, bahwa Kuningan adalah kabupaten yang sangat rukun dan toleran.
“Sungguh saya sangat berharap bahwa akan dilangsungkan lagi dialog-dialog lanjutan, termasuk antara Paseban dan umat Islam di Cisantana. Pihak-pihak yang terlibat juga mesti berkomunikasi dengan pihak Pemkab, karena merekalah yang punya otoritas dan regulasi” ucapnya. (deden/habis)