KUNINGAN (MASS) – Salah satu program kampanye politik dalam setiap perhelatan pemilu mulai dari level nasional sampai desa adalah pengentasan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran. Masalah kemiskinan dan pengangguran ini juga seringkali menjadi dasar penjelasan atas semakin tingginya jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang pergi bekerja ke luar negeri, termasuk yang berasal dari Jawa Barat. Namun, di daerah-daerah yang berada di wilayah Jawa Barat yang jumlah pekerja migrannya banyak sekalipun, seperti di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Subang, Majalengka, Karawang dan Cianjur, tidak banyak para politisi yang mau mengambil isu pekerja migran Indonesia ini sebagai tema penting dalam kampanye mereka. Keengganan para politisi di Jawa Barat untuk mengambil posisi berpihak pada PMI yang berasal dari Jawa Barat dalam perhelatan pilkada Jabar 2018 ini dapat dilihat sebagai salah satu indikasi atas minimnya data dan lebih penting lagi, tidak melihat pentingnya PMI sebagai pihak yang berkontribusi dalam pembangunan di Jawa Barat.
Menurut data BNP2TKI, setiap tahun tidak kurang dari 50 ribuan PMI asal Jabar ini pergi ke luar negeri untuk bekerja. Hal ini menempatkan Jabar sebagai propinsi pengekspor PMI tertinggi atau setidaknya masuk dalam tiga besar di Indonesia. Dengan tingginya angka PMI yang berasal dari Jabar, para calon pemimpin Jabar selayaknya mulai fokus untuk memberikan perhatiannya pada PMI karena mereka ini tidak hanya membawa remitansi ekonomi namun juga berupa remitansi social yang juga menjadi penting untuk diperhatikan dampaknya.
Secara ekonomi, remitansi berupa pengiriman uang dari negara tujuan ke desa-desa di Jawa Barat menjadi biasa karena tingginya jumlah PMI. Remitansi ekonomi dikirimkan dari negara-negara tujuan tempat bekerja ke Indonesia bagi keluarganya dan menjadi faktor pendorong yang kuat untuk menurunkan angka kemiskinan sebesar 28 persen secara nasional (World Bank, 2017). Bahkan data dari World Bank tersebut juga mengemukakan bahwa salah satu alasan penting dari calon PMI ini bekerja di luar negeri adalah karena mereka tidak terserap lapangan pekejaan dan menjadi pekerja yang tidak dibayar di Indonesia (56%) sehingga dengan mereka bekerja di luar negeri mereka mendapatkan upah atas pekrejaan yang telah dilakukannya.
Selain itu, World Bank (2017) juga melihat bahwa pendapatan dari hasil bekerja sebagai PMI telah memberikan tingkat penghasilan jauh lebih tinggi sebanyak enam kali lipat dari gaji yang biasa diterima di Indonesia bagi pekerja dengan keahlian rendah (low-skilled workers). Dalam konteks ekonomi ini, para calon pemimpin yang berkompetisi dalam Pilkada Jabar 2018 tampaknya masih gamang mengenai keberadaan PMI, cenderung memarginalkan keberadaan PMI dan kemudian berpendapat ingin menghentikan pemberangkatan calon PMI ke luar negeri yang tentu saja tidak hanya melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dimanapun ia berada, akan tetapi justru bertentangan dengan kampanye mereka sendiri sebagai calon pemimpin Jabar yang ingin mencitrakan diri sebagai pemimpin yang dapat memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagai masyarakat Jabar.
Salah satu sebabnya adalah mereka masih melihat jenis pekerjaan sebagai pekerja informal seperti pembantu rumah tangga ataupun pengasuh adalah jenis pekrejaan yang dianggap memalukan harga diri negara di mata negara lain. Label PRT sangat melekat dengan PMI. PMI yang telah berhaji berkali-kali pun tidak akan disebut haji atau hajjah karena label PRT lebih melekat pada diri mereka yang menyebabkan PMI ini tidak dilihat sebagai subjek atau kelompok masyarakat Jabar yang penting.
Hal ini menjadi ironi tersendiri, karena selain memberikan kontribusi secara nyata melalui uang yang dikirim langsung kepada keluarganya di desa-desa dalam jumlah yang sangat besar terutama mendekati masa-masa lebaran dan anak sekolah, PMI ini juga mentransfer remitansi sosial tidak hanya bagi keluarganya namun juga bagi masyarakatnya di desa tempat keluarganya berada bahkan di level lokal bahkan nasional. Para PMI ini, dengan berbagai risiko yang dilaluinya, telah berpengalaman berinteraksi dengan berbagai pihak termasuk berorganisasi di negara tujuan yang memberikan keuntungan berupa pengetahuan dan jaringan sosial baru. Remitansi sosial ini misalnya seringkali digunakan oleh PMI untuk turut mempengaruhi konstelasi politik di desa-desa yang menjadi rumah mereka. Di salah satu desa di Indramayu misalnya, para purna PMI tidak hanya membuat asosiasi purna PMI atupun organisasi berbasis masyarakat (community based organization) yang secara kreatif membuka lapangan pekerjaan baru, namun mereka juga turut memperbaiki pelayanan publik di desa-desa mereka karena mereka mereplikasi pelayanan publik yang lebih cepat dan mudah yang telah mereka terima dan alami sendiri di negara tujuan. Hal ini mendorong pemerintah desa untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi warga desanya melalui berbagai program dan kebijakan publik yang dibuatnya. Sebagai contoh, ketika Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri banyak dikritik, inisiatif dari akar rumput untuk melakukan perlindugan PMI juga muncul dengan adanya peraturan desa tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia yang berasal dari desanya yang mengatur agar adanya proses migrasi yang aman yang menjamin akses informasi yang baik bagi para calon PMI yang akan berangkat. Munculnya berbagai inisiatif akar rumput berupa peraturan desa tentang perlindungan PMI juga pada akhirnya turut mendorong para pembuat kebijakan tingkat nasional untuk merevisi UU No. 39 tahun 2004 dan setelah lebih dari 10 tahun akhirnya keluarlah UU. No. 18 tahun 2017 sebagai penggantinya yang lebih memberikan keberpihakan terhadap PMI dan keluarganya.
Potensi para PMI dan purna PMI ini sebagai actor yang berkontribusi dalam pembangunan ekonomi, social dan politik tampakanya tidak terelakkan namun pada saat yang sama diabaikan para calon pemimpin Jabar. Tulisan pendek ini bertujuan untuk memberikan peringatan dini bagi para calon pemimpin Jabar terpilih untuk melihat PMI dan purna PMI sebagai actor penting di Jabar yang layak diajak berdiskusi dan berkontribusi lebih jauh.***
Penulis: Khairu R. Sobandi (Warga Kuningan dan mahasiswa S3 di University of Canterbury, Selandia Baru dibawah program BUDI-LN 2016 (Kemenristekdikti dan LPDP))