KUNINGAN (MASS) – Nama Kyai Hasan Maulani atau lebih dikenal dengan sebutan Eyang Hasan Maulani 1196 – 1291 H / 1782 – 1874 M, sangat meresahkan pemerintah kolonial Belanda. Gerakan perlawanan yang dilakukan Eyang Hasan Maulani lebih berfokus pada sistem penguatan aqidah bagi para santrinya dengan penyebaran tariqat syattariyah.
Belanda memandang bahwa ajaran yang dikembangkan oleh para ulama khususnya di Kuningan dapat menjadi gangguan stabilitas wilayah jajahan. Karenanya Kolonial Belanda melakukan penyebaran issue sekaligus memfitnah bahwa kebiasaan wirid dan dzikir lainnya yang diajarkan Eyang Hasan Maulani bertentangan dengan ajaran islam yang sebenarnya.
Padahal, secara politik Kolonial Belanda menganggap sangatlah berbahaya bagi eksistensi jajahan, bila pribumi dibiarkan mendalami ajaran islam dengan semangat jihad, yang sama sekali tidak menyurutkan perlawanan kepada kolonialis diberbagai daerah.
Jika gerakan itu dibiarkan, tentu hasil pertanian maupun upeti lainnya akan terancam berkurang.
Penulis seringkali mendengar cerita dari para sepuh pejuang pada tahun 70an, dimana jaringan Eyang Hasan Maulani hampir berkembang diseparuh Jawa Barat, Banten Dan Jawa Tengah. Maka dengan segala bujuk rayu kolonial Belanda berusaha untuk menghentikan kegiatan dzikir massal dan berkumpulnya para santri lintas daerah.
Akhirnya Eyang Hasan Maulani ditangkap dan diasingkan ke Cirebon. Namun baru baru beberapa bulan dipengasingan Cirebon, beliau dikunjungi para santri dan ulama dari Kuningan, Majalengka, Tasik, Garut, Indramayu dan dari Cirebon sendiri.
Pemerintah Belanda menjadi pusing, karena tawanan perang tidak pernah sepi dari kunjungan. Maka Pemerintah Belanda memindahkan Eyang Hasan Maulani sebagai tawanan perang ke Batavia, yang sekarang menjadi Jakarta.
Ternyata di Batavia, Eyang Hasan Maulani tidak pernah sepi dari kunjungan para murid dan koleganya seperti dari Sukabumi, Cianjur, Banten, Karawang dan dari Jawa tengah. Maka pemerintah kolonial Belanda mengasingkan ketempat yang lebih jauh, yakni ke daerah Tondano -Sulawesi Utara sampai akhir hayatnya, 30 April 1874 M bertepatan dengan Tanggal 12 Rabi’ul Awal Tahun 1291 H.
Kenapa Eyang Hasan Maulani tidak dibunuh oleh Kolonial Belanda, karena pada masa itu tawanan perang yang tidak melakukan pemberontakan langsung kepada pemerintah yang berkuasa menjadi tanggungjawab pemerintahan yang sah.
Selama dipengasingan, Eyang Hasan Maolani masih terus berkomunikasi dengan komunitas muslim Jawa yang sama sama diasingkan ke Sulawesi. Bahkan puluhan surat dikirimkan kepada para putera puteri Eyang Hasan Maulani, khususnya kepada Kyai Imamuddin yang berada disekitar dayeuhĀ atau pusat keramaian Kuningan, tepatnya di Kampung Tanjung Sari Desa Purwawinangun Kuningan.
Berdasar catatan keluarga, dimana penulis adalah cucu kelima dari Kyai Imamuddin, beliau diberi gelar oleh Eyang Hasan Maulani dengan panggilan Hasan Thuba.
Penulis berpandangan bahwa surat surat yang dikirim kepada keluarga dan sebahagian ulama Kuningan dan Jawa Tengah mengapa berbahasa jawa atau dengan bahasa Arab Jawa, itulah bagian strategi Eyang Hasan Maulani yang tidak menghendaki anak anak dan keturunannya menjadi korban pengasingan Belanda.
Dan Beliau tetap berpesan kepada keluarga untuk meneruskan perjuangan serta amalan ibadahnya. Bahkan sebelum beliau ditangkap, sempat memotong sebahagian rambutnya untuk dikuburkan di makam Desa Lengkong dengan maksud apabila Eyang Hasan Maulani tidak dipulangkan oleh kolonial atau wafat dipengasingan, cukuplah ziarahi saja makam dimana dikuburkannya rambut Eyang Hasan Maulani.
Alhamdulillah Para keluarga dan segenap keturunannya rutin mengadakan haol yang puncak acaranya ditempatkan di area makam rambut Desa Lengkong Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan.
Perlawanan Melalui Peneguhan Aqidah Wal Amaliyah
Perlawanan yang dilakukan Eyang Hasan Maulani hampir bersamaan dengan perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro Jawa Tengah. Bahkan para sepuh dari keluarga sering menceritakan bahwa tidak sedikit utusan pasukan dari Jawa Tengah yang meminta ilmu khusus kepada Eyang Hasan Maulani.
Sementara Eyang Hasan Maulani bukanlah sosok pejuang phisik secara langsung, melainkan sosok ulama yang memiliki pengaruh luar biasa seperti seniornya yakni Syech Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya.
Beliau faham dengan kondisi rakyat pegunungan yang belum siap mengangkat senjata secara terbuka, karenanya beliau lebih memilih melakukan perlawanan melalui cara pendalaman aqidah serta kajian kejuangan dan amal nyata dalam membentengi ummat dari bahaya penindasan dan perbudakan.
Apabila bertani tentu hasil pertanian itu harus dinikmati para petani dan sebagian lainya diberikan kepada mereka yang kurang mampu, ketimbang diberikan kepada penjajah dalam bentuk upeti. Begitupula kepatuhan dalam mengamalkan ajaran agama wajib diatas segala bentuk tekanan kolonialis Belanda.
Ternyata perlawanan melalui peneguhan aqidah wal amaliyah cukup membikin pemerintah Belanda dipusingkan, terlebih ketika para pengikut ajaran Eyang Hasan Maulani yang berfaham tarekat Satariyah semakin berkembang di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Hampir seluruh Pondok pesantren yang ada melakukan perlawanan dengan cara menjadikan pasantren sebagai besik penyusunan strategi pertahanan dan menyebaran dakwah islam yang secara politik menjadi sistem kaderisasi bagi pemenuhan hak dasar berbangsa menuju kemerdekaan hakiki, karena penjajahan diatas bumi secara nyata telah melanggar nilai nilai kemanusiaan dan keadilan.
Eyang Hasan Maulani Sangat Layak Dianugerahi PAHLAWAN Nasional
Para fakar sejarah serta kesaksian dari sabahagian anak cucu keturunan Eyang Hasan Maulani telah berusaha mengusulkan kepada pemerintah pusat agar Eyang Hasan Maulani dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional dengan kriteria yang secara administratif, pendekatan kesejarahan serta bukti bukti perjuangan telah sesuai dengan amanat UU NO.20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Bahwa Eyang Hasan Maulani sebagai Muslim Pribumi telah mengabdikan seluruh aktifitas hidupnya berjuang secara politik melalui peneguhan aqidah wal amaliyah dalam rangka/upaya mengusir penjajah Belanda serta membangun semangat persatuan dengan tidak pernah menyerah sampai akhir hayatnya dipengasingan.
Gerakan peneguhan atau konsistensi pengabdian tersembahkan ikhlas ibadah karena Allah Ta’ala demi untuk kemerdekaan ummat dan bangsa dari cengkraman penjajah dengan jangkauan luas serta berdampak nasional.***
Yusron Kholid
(Penulis adalah mantan kepala Kementrian Agama Kab. Ciamis dan Kab. Kuningan: Cicit ke 6 dari Eyang Hasan Maulani, dengan nasab ; Yusron Kholid Bin Kyai M. Oban Shobari Bin Kyai Jamali Bin Kyai Ijma’li Bin Kyai Imamuddin Bin Kyai Eyang Hasan Maulani. Tinggal di Jl. Pramuka – Kuningan Jawa Barat)