KUNINGAN (MASS) – Keputusan Bawaslu Kuningan tentang pelanggaran administratif berdasarkan hasil Sanding Data (Sri Laelasari vs Eka Satria), nampaknya tidak langsung diterima oleh KPU Kuningan. Justru lembaga penyelenggara pemilu yang diketuai Asep Z Fauzi itu mengajukan koreksi putusan tersebut ke Bawaslu RI.
“Di pasal 62 Perbawaslu 8/2018, ada kesempatan untuk itu. Kita sebagai Pihak Terlapor memanfaatkan kesempatan untuk mengajukan koreksi putusan Bawaslu Kuningan ke Bawaslu RI,” kata Asep Z Fauzi kepada wartawan, baru-baru ini (17/5/2019).
Ia menjelaskan, yang diperkarakan kemarin itu dugaan pelanggaran administrasi. Oleh karenanya, proses persidangannya pun dilakukan berdasarkan Perbawaslu 8/2018 yaitu penyelesaian dugaan pelanggaran administrasi secara cepat.
“Nah pasal 62 itu menjelaskan, dalam hal hasil kajian hukumnya diduga ada kesalahan penerapan hukum, boleh-boleh saja mengajukan itu. Ketika menurut bawaslu itu bagian dari pelanggaran administrasi, menurut hemat KPU itu bagian dari perselisihan hasil perolehan suara,” jelasnya.
Kalau perselisihan hasil perolehan suara, menurut Asfa (sapaan pendeknya), sandarannya Perbawaslu 4/2019. Pada pasal 4A disebutkan, perselisihan hasil perolehan suara itu adalah objek yang tidak bisa dijadikan sengketa. Sehingga dalam konteks tersebut, ia sandarkan pada ketentuan pasal 474 UU 7/2017 dimana wewenang berada ditangan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau melihat pasal 4A Perbawaslu 4/2019 itu kan bagian dari item yang tak bisa dijadikan objek sengketa oleh bawaslu. Sebab itu domain MK. Pada akhirnya, ketika kami menyampaikan permohonan koreksi putusan, ya itu konstitusional, diatur oleh pasal 62 Perbawaslu 8/2018,” beber Asfa.
Tentu keputusan akhirnya, sambung dia, tergantung dari Bawaslu RI. Sebab permohonan tersebut disampaikan ke Bawaslu RI, bukan ke Bawaslu Kuningan ataupun Bawaslu Jabar.
Apakah permohonan koreksi KPU atas dasar ajuan koreksi Ketua Gerindra Kuningan? Asfa menjawab bukan dan tidak ada kaitan. Ia menegaskan, itu berdasarkan kajian hukum sendiri (KPU), hasil konsultasi dengan Jabar.
“Tapi itu juga tergantung nanti, apakah dikabulkan atau tidak, diproses atau tidak secara administratif. Belum tentu juga Bawaslu RI memproses usulan KPU. Yang jelas kami memanfaatkan apa yang sudah diatur dalam Perbawaslu,” tandasnya.
Asfa mengaku juknis (petunjuk teknis) dari KPU Jabar seperti yang pernah ia lontarkan tempo hari belum turun. “Ya kan kita juga baca aturan. Juknis belum turun. Kaitan dengan itu, kemarin saya ke Jakarta, ketemu dengan KPU Jabar. Ketemu juga dengan Divisi Hukum KPU RI, pak Hasyim Asyari, konsultasi,” ungkapnya.
KPU RI pun, menurut Asfa, memerintahkan KPU Jabar untuk menyampaikan surat konsultasi ke KPU RI. “Jadi semuanya serba resmi. Tak boleh lisan. Tak boleh via WhatsApp. Karena ini terkait dengan kepastian hukum. Jadi KPU Kuningan konsul ke KPU Jabar, KPU Jabar konsul ke KPU RI. Sekarang oleh KPU RI sedang dibahas,” jelas dia.
Menurut Asfa, persoalan ini bukan hanya local Kuningan saja melainkan terjadi di kabupaten/kota lain dan provinsi lain. Dengan begitu harus ada kepastian hukum dan semua disandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Tidak boleh berbeda antara kabupaten satu dengan lainnya terkait tata cara penanganannya.
Mengenai alasan KPU Kuningan tidak mau langsung merevisi Form DB pasca Sanding Data, ia menegaskan kembali bahwa SK KPU pertanggal 30 April 2019 itu produk Rapat Pleno. Kalau mau dihapus atau dirubah, maka harus melalui proses yang setara dengan Rapat Pleno. Sanding Data, sambung dia, tidak bisa mengalahkan Rapat Pleno.
“Jadi, fakta formil berdasarkan hasil Pleno sudah di SK kan KPU pada 30 April. Lalu, fakta Sanding Data juga ada. Nah bagaimana tindaklanjutnya, seperti yang pernah saya sampaikan pada saat jumpa pers,” tandasnya.
Asfa mengelak jika “temuan” dari hasil Sanding Data itu merupakan bukti adanya kecurangan. “Dimana kecurangannya?,” sergah Asfa dengan nada tanya.
Sementara itu, kalau mengacu pada aturan, tenggat waktu Bawaslu RI mengeluarkan putusan atas permohonan koreksi KPU Kuningan itu 14 hari. Namun Asfa belum mengetahui apakah ajuannya itu sudah diterima atau tidak. Karena pengirimannya via pos mengingat harus dileges. (deden)