KUNINGAN (MASS) – Idiom yang berlaku di masyarakat mengatakan bahwa “belum makan jika belum makan nasi”, walaupun sudah mengkonsumsi makanan berkalori tinggi lainnya. Dari idiom tersebut, beras, yang merupakan bahan dasar pembuatan nasi, merupakan komoditas pertanian yang terpenting bagi masyarakat Indonesia. Terganggunya produksi dan ketersediaan beras akan berdampak besar terhadap sektor lainnya, seperti sektor perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan persediaan beras yang baik harus menjadi prioritas utama pemerintah, mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan beras yang merupakan komoditas primer bagi masyarakat. Ketersediaan stok beras yang cukup dan terjangkau dari sisi harga akan mendorong terciptanya stabilitas ketahanan pangan. Dengan stabilitas ketahanan pangan ini kesejahteraan pangan masyarakat akan terwujud.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar ketiga di dunia. Data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan di tahun 2016, Indonesia mampu memproduksi beras sebesar 77.297.509 ton. Menjadi sebuah ironi memang sebab walaupun jumlah produksinya terbesar ketiga di dunia, namun Indonesia dinyatakan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam negeri.
Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan kebijakan pemerintah yang mengimpor beras dengan dalih kondisi stok beras menipis sehingga memunculkan kekhawatiran terganggunya kestabilan pangan. Apakah kebijakan ini sudah tepat mengingat momentum impor bertepatan dengan masa panen raya di beberapa daerah?.
Menurut data Kementerian Pertanian, kondisi panen September 2017 dan Maret 2018 masih normal, bahkan surplus jika dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri sekitar 2,6 juta ton. Sedangkan data Bulog (Badan Urusan Logistik) berbicara lain, stok Bulog yang seharusnya mencapai 1,5 juta ton hanya tinggal 875.000 ton dan harga beras di pasaran naik sejak Desember 2017 sehingga Kementerian Perdagangan mengambil kebijakan impor beras untuk mengendalikan inflasi.
Polemik muncul dengan data tersebut, Indonesia yang disebut negara swasembada beras tetapi masih membuka lebar pintu masuk impor untuk komoditas tersebut. Di sisi lain, kebijakan dilakukannya impor adalah untuk menjamin tersedianya beras di pasaran dan menekan harga yang melonjak sejak akhir 2017.
Inti masalahnya adalah data. Keakuratan data yang membuat terjadinya kesimpangsiuran issue terkait kebijakan impor beras yang diambil pemerintah. Perbaikan kualitas data beras menjadi sebuah solusi jitu yang diharapkan menjadi titik terang penyelesaian masalah ketersediaan beras. Harus diakui bahwa data produksi beras memang sangat krusial. Keberadaannya diperlukan guna menjamin ketersediaan pangan dan pengendalian harga terutama ketika terjadi kondisi khusus yang bersifat musiman dan atau bencana.
Pergerakan perubahan harga beras sangat sensitif terhadap laju inflasi secara umum. Hal ini terjadi karena andil beras terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah sangat besar. Dampak dari kenaikan harga beras, akan meningkatkan garis kemiskinan menjadi lebih tinggi. Ditengah perekonomian yang cenderung menunjukkan pelemahan dimana pendapatan masyarakat tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan kenaikan harga beras akan menyebabkan potensi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi fenomena yang tidak terelakan.
Kemampuan daya beli masyarakat yang tercermin dari data pola konsumsi makanan dan non makanan penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), struktur pertumbuhan ekonomi masih didominasi oleh komponen konsumsi rumah tangga. Salah satunya dipengaruhi oleh daya beli terhadap beras sebagai bahan konsumsi utama penduduk.
BPS sebagai instansi penyedia data, termasuk dalam hal ini data produksi padi, melakukan perbaikan data statistik pangan menggunakan Survei Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung luas panen yang dilakukan di minggu keempat setiap bulan. Perbaikan metodologi yang dinamakan KSA ini merupakan inovasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan bekerjasama dengan BPS, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan didukung oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).
Tidak sekedar dengan pengamatan lahan produksinya, BPS juga melakukan Survei Konversi Gabah ke Beras (SKGB) tahun ini untuk memantau stok beras yang dilakukan bulan Maret – April 2018 mewakili musim hujan dan Mei – Agustus 2018 mewakili musim kemarau.
Pada tahun 2018, Kementerian ATR-BPN baru saja menetapkan updating luas lahan baku sawah. Jika pada Tahun 2013, luas lahan baku sawah sebesar 7,75 juta hektar, maka pada Tahun 2018 berdasarkan verifikasi dari Kementerian ATR-BPN, LAPAN, dan BIG menjadi 7,1 juta hektar. Artinya selama lima tahun terakhir terjadi penurunan sekitar 635.000 hektar. Dengan menggunakan luas lahan baku sawah terbaru dan dengan menggunakan metode KSA, maka dapat diperkirakan pada tahun 2018, hasil luas panen padi sekitar 10,9 juta hektar lebih rendah dari proyeksi Kementerian Pertanian yang sekitar 15,99 juta hektar. Sehingga dari data hasil luas panen padi di Indonesia dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) diperoleh produksi padi 56,54 juta ton, sementara GKG proyeksi Kementerian Pertanian sebesar 83,03 juta. Jika dikonversi kedalam bentuk beras diperoleh produksi beras sebesar 32,42 juta ton.
Jika dilihat dari data tahun 2017, angka konsumsi nasional sebesar 111,58 kg per kapita per tahun. Sehingga diperoleh total konsumsi beras di Indonesia sebesar 29,50 juta ton. Kesimpulannya adalah masih ada surplus beras sebesar 2,85 juta ton. Jika dilihat dari penyebarannya, surplus ini berada di rumahtangga produsen padi yang berjumlah 14,1 juta rumah tangga atau sekitar 47 persen total produksi beras dan sisanya berada di penggilingan padi, pedagang, dan produsen lainnya.
Terlihat ada deviasi yang lebar antara data hasil perhitungan metode lama dan baru. Data metode lama diperoleh dari Kementerian Pertanian yang mengkompilasi data laporan dari dinas pertanian di seluruh Indonesia. Sedangkan data metode baru diperoleh berdasarkan pada citra satelit yang dikeluarkan oleh LAPAN, yang kemudian data diolah dan diverifikasi berjenjang, dengan melakukan survei ke lapangan yang pada setiap minggu keempat tiap bulannya. Selisih angka hasil koreksi sudah sejalan dengan data beberapa Lembaga. Artinya, data yang disajikan semakin mendekati kenyataan di lapangan.
Mengingat pentingnya keakuratan data yang digunakan dalam penentuan kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak, semoga dengan data akurat di bidang pangan dapat mendekatkan bangsa demi tercapainya swasembada beras. Dengan data baru, cukupkah beras kita?
Penulis: Andriyanto, S.Si (Fungsional Statistisi Ahli Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Kuningan)
Biodata Penulis
Nama : Andriyanto, S.Si
Instansi : Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Kuningan
Jabatan : Fungsional Statistisi Ahli Pertama
No. HP/WA : 085292489577
Email : [email protected]
