KUNINGAN (MASS) – Jelang pertengahan tahun 2023, rencana pembangunan Jalan Lingkar Timur Selatan (JLTS) belum memasuki babak berikutnya. Sampai Mei tahun ini, untuk pembebasan lahannya pun belum tuntas.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kuningan, Ir I Putu Bagiasna MT mengungkapkan, dari sekian banyak bidang tanah di Windujanten, Cibinuang dan Citangtu, masih terdapat kendala pembebasan lahan yang perlu diselesaikan.
“Masih ada printilan yang kecil-kecil baik di Windujanten (Kadugede, red), Cibinuang dan Citangtu (Kuningan, red). Kita sudah deteksi,” ungkapnya kala dikonfirmasi kuninganmass.com, Jumat (19/5/2023).
Munculnya kendala tersebut disebabkan beberapa hal. Mulai dari akibat perbedaan harga satuan tanah, kekurangan bayar akibat salah ukuran, hingga perbedaan persepsi. Contoh, pohon buah-buahan, pagar dan taman yang perlu pergantian. Begitu juga lahan yang sudah dibangun pondasi meski belum ada bangunan.
“Kalau di Windujanten ada 2 NIS(Nomor Identifikasi Bidang Sementara) dengan luas tanah lebih dari 200 bata. Waktu itu belum ada titik temu harganya antara pemilik tanah dan pemerintah. Hingga ada kesepakatan Rp10,5 juta perbatanya. Itu saja menghabiskan Rp1,5 miliar,” kata Putu.
Sedangkan di Cibinuang dan Citangtu, masih terdapat printilan untuk 24 NIS yang sebagiannya sudah terselesaikan. Sisanya tinggal 10 NIS lagi yang belum terbayar. Di sana bukan karena masalah harga, melainkan perbedaan kesepahaman atas lahan yang terdapat pohon, pagar, taman dan juga pondasi bangunan.
“Printilan tersebut cukup mengganggu. Oleh karenanya, tahun ini harus dibereskan. Kalau nanti masuk pembebasan lahan di Winduhaji, maka sekaligus dengan penyelesaian printilan tersebut. Khusus untuk printilan, perkiraannya membutuhkan antara Rp8 miliar sampai Rp10 miliar,” tandasnya.
Mengulas anggaran yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan JLTS, Putu mengatakan, awalnya direncanakan total Rp60 miliar yang dibagi 2 tahun. Pada APBD 2022 sebesar Rp30 miliar dan pada APBD 2023 dengan nominal yang sama yakni Rp30 miliar.
“Untuk tahun 2022, ada Rp29 miliar tapi kita nerima Rp24 miliar. Gagal bayar Rp5 miliar. Untuk tahun 2023 tidak ditambahi Rp5 miliar (gagal bayar, red), sehingga hanya Rp30 miliar sesuai dengan perencanaan awal,” paparnya.
Pada 2023 ini, pembebasan lahan di Citangtu sudah menghabiskan Rp9,3 miliar. Asumsinya terdapat sisa sekitar Rp20 miliar untuk pembebasan lahan di Winduhaji dan seterusnya.
Meski Winduhaji hanya membutuhkan anggaran Rp8 miliar, namun Putu telah lapor ke bupati bersama Dinas PUTR untuk tidak meneruskannya ke Karangtawang, Sindangsari, Ancaran, Kaduagung dan Kertawangunan. Sebab masih terdapat printilan di lokasi sebelumnya dengan kebutuhan antara Rp8 miliar hingga Rp10 miliar.
“Jadi kalaupun nanti ada anggaran sisa sebesar Rp20 miliar maka pembebasan lahannya berhenti sampai Winduhaji dulu, dan menyelesaikan printilan seperti tadi sudah diterangkan,” ucap Putu.
Terlebih, sambungnya, rencana anggaran yang akan dikucurkan pusat (Inpres dari Rebana) nanti itu hanya Rp160 miliar dari total kebutuhan Rp450 miliar. Putu mengajak untuk tidak melihat dulu total 450 miliar, namun prioritas utamanya dengan melihat sekarang yang terjadi.
“Jadi SPH (Surat Pelepasan Hak)nya nanti sampai belokan Winduhaji saja. Kontruksi bertahap, mengingat uang dari Rebana direncanakan 160 miliar dulu. Syarat dana 160 M turun, ya SPHnya itu. Tanahnya harus betul-betul klir tanpa ada tuntutan,” jelasnya.
Seandainya diteruskan ke Karangtawang, Sindangsari, Ancaran, Kadugede dan Kertawangunan, Putu memperkirakan, anggaran untuk pembebasan lahan masih dibutuhkan sekitar Rp20 miliar lagi. (deden)