KUNINGAN (MASS) –Dialog Lintas Agama digelar Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, Selasa (8/9/2020). Hadir para tokoh dari beberapa agama dan kelompok penghayat kepercayaan di Kabupaten Kuningan di Hotel Horison. Disela itu, terdapat pula ramah tamah di Restoran Grage Lanai siang harinya.
Dalam acara PKUB tersebut, tampil beberapa narasumber, yaitu Prof. Dr. H. Oman Fathurrohman, Staf Ahli Menteri Agama sekaligus Juru BIcara Kementerian Agama RI., Dr. H. Adib, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, Dr. H. Hanif Hanafi, Kepala Kementerian Agama Kab. Kuningan, dan KH. Achidin Noor, MA., ketua FKUB Kab. Kuningan.
Kemudian beberapa tokoh agama, para pimpinan ormas Islam (ketua MUI Kab. Kuningan, Ketua PCNU Kuningan, ketua PD Muhammadiyah, ketua dan pengurus FKUB), pimpinan komunitas adat Cigugur, serta staf ahli Menteri Agama, Kakanwil Jawa Barat, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Kepala Kemenag Kab. Kuningan, dan beberapa pejabat Kemenag Kuningan menggelar dialog dan pertemuan khusus yang dilangsungkan di Restoran Grage Lanai, Sangkanhurip, Cigandamekar.
Menurut keterangan penyelenggara, secara khusus, pertemuan dan dialog itu dimaksudkan untuk mencari titik temu dan solusi jangka panjang atas perbedaan pandangan yang muncul di Kecamatan Cigugur berkaitan dengan pembangunan bakal makam pupuhu adat komunitas AKUR Cigugur.
Diharapkan, dialog tersebut menjadi langkah awal menuju terwujudnya kesalingpahaman antara komunitas adat Cigugur dengan kaum Muslim di wilayah Cigugur umumnya dan secara khusus di wilayah Desa Cisantana.
Meskipun dalam pertemuan tersebut Ketua MUI dan pengurus MUI Desa Cisantana tidak bisa hadir, pertemuan dan dialog itu menjadi langkah awal menuju pertemuan lain yang lebih terbuka di antara kedua komunitas tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, beberapa tokoh menyampaikan gagasan dan pemikirannya tentang upaya-upaya untuk mewujudkan kedamaian dan relasi antarumat beragama yang lebih baik dan lebih harmoni.
Pupuhu Adat Cigugur, Pangeran Gumirat Barna Alam
Dalam dialog tersebut, Pangeran Gumirat Barna Alam (GBA) menyampaikan rasa syukur yang tak terhingga atas terselengagranya pertemuan pada hari itu. Menurutnya, pertemuan itu sangat berharga dan sangat dirindukan.
Kemudian ia bercerita tentang awal mula pembangunan bakal makam Pupuhu Adat Sepuh, yaitu Pangeran Djatikusuma. GBA menuturkan bahwa ketika masih bisa berkomunikasi dan masih sehat, P. Djatikusuma berpesan bahkan menunjukkan lokasinya, kemudian menyampaikan agar dibuatkan makam disertai tetengger berupa Batu Satangtung.
Pembangunan Batu Satangtung itu dimaksudkan sebagai siloka atau simbol agar anak cucunya memilik kepribadian yang tidak lapuk karena hujan dan tidak berubah karena panas. Ia berharap para anak keturunannya memiliki kepribadian yang teguh dan mandiri.
Karenanya, ia sebagai keturunan P. Djatikusuma merasa berkewajiban untuk menunaikan amanat orang tuanya itu. Dan ia menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa makam tersebut tidak akan pernah dijadikan tempat pemujaan atau tempat ritual komunitas adat dan kalangan Penghayat Kepercayaan.
Menurutnya, dalam tuntunan tradisi Sunda, tidak dikenal ajaran untuk munjung ka batu, munjung ka gunung, munjung ka kayu, atau muja ka sagara.
Ia bahkan menyatakan siap membuat dan menandatangani pernyataan di atas segel dan disaksikan para tokoh agama Kuningan bahwa tempat itu tidak akan pernah dijadikan sebagai tempat pemujaan atau pusat aktivitas ritual komunitas adat Cigugur.
Ketua MUI Kuningan, Kyai Dodo Syahida
Kyai Dodo menyampaikan bahwa sebelum acara itu ia pernah bertemu dengan pupuhu adat Cigugur dan menanyakan sebab hingga kasus itu menjadi viral dan besar.
Kyai Dodo menyebutkan bahwa komunitas adat Cigugur memiliki niat yang baik untuk berbakti dan menunaikan amanat orang tua. Namun, niat baik kadang-kadang mendapatkan hasil buruk jika tidak ditunjang dengan teknis dan prosedur yang baik.
Ia juga menyampaikan bahwa masyarakat Kuningan ini kaya dengan perbedaan. Meskipun berbeda, tetap harus nyambung. Namun, nyambung bukan berarti sama.
Dalam pertemuan sebelumnya, GBA mengatakan bahwa ada kesalahan teknis di awal, yaitu tidak memberi tahu atau tidak menyampaikan kepada masyarakat setempat tentang niat mereka.
Akhirnya, masyarakat melihat bahwa bangunan Batu Satangtung itu dinilai mengandung potensi pemujaan dan pemusyrikan.
Salah satu tugas MUI adalah himayatul ummah fil aqidah, yakni memelihara dan melindungi akidah umat. Hingga saat ini MUI belum merasa perlu untuk menentukan sikap dan mengeluarkan fatwa karena permasalahan Batu Satangtung lebih berupa masalah dalam relasi serta interaksi sosial, bukan masalah akidah atau ajaran kaum Mulsim.
Ketua FKUB, KH Achidin Noor
Ketua FKUB beranggapan bahwa penghayat kepercayaan itu tidak termasuk agama sehingga FKUB tidak ikut campur dalam penanganan kasus Batu Stangtung. FKUB memohon maaf tidak ikut campur karena sudah jelas di mana FKUB harus berpijak.
Menurut pengamatannya, dari berbagai sisi, dalam mengambil dalil hanya memotong sebagian. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 J tidak pernah disebutkan atau dibahas. Jadi, sesungguhnya kebebasan seseorang itu dibatasi oleh hak-hak orang lain.
Menurutnya, jika komunitas AKUR dapat diinteraksi oleh pemerintah maka harus jelas kedudukan hukumnya, apakah sebagai kepercayaan atau apa.
Misalnya, tentang pemakaman penganut kepercayaan, sudah ada peraturannya dalam regulasi di Kementerian Dalam Negeri. Jika Undang-undang dan peraturan yang dijadikan pijakan itu kuat maka tidak akan ada masalah dan penentangan. (deden/bersambung)