KUNINGAN (MASS) – Ada sebuah anekdot yang menurut penulis ada benarnya juga, “Di Indonesia anda mau jual apapun pasti laku, bahkan jualan aliran sesat pun akan laku.” Anekdot itu memang faktual, nyatanya setiap aliran atau komunitas yang menyimpang baik secara hukum agama atau hukum negara, selalu saja ada pengikutnya. Yang terbaru, aliran Keraton Agung Sejagat yang ada di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Kabupaten Purworejo, telah viral dan memiliki 400 lebih orang pengikut.
Awalnya mereka mengelak kalau Keraton Agung Sejagat adalah aliran sesat. Melalui Penasihat Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat menegaskan, Keraton Agung Sejagat bukan aliran sesat seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Dia mengatakan, Keraton Agung Sejagat merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir perjanjian 500 tahun yang lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai dengan 2018.
Namun akhirnya semua informasi atau bukti sejarah itu dinyatakan sebuah kebohongan publik, sehingga Keraton Agung Sejagat diringkus oleh kepolisian, raja dan ratunya pun jadi tersangka dengan Pasal 14 UU No 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong sehingga terjadi keonaran dimasyarakat dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Setelah Keraton Agung Sejagat lenyap kemudian beberapa saat muncul pemberitaan tentang Sunda Empire yang hampir mirip dengan aliran Keraton Agung Sejagat, hanya beda kostum saja. Saya tidak akan panjang lebar membahas tentang kedua aliran tersebut, atau aliran lainnya yang semisal, yang mungkin masih banyak dan tidak diketahui.
Dari mulai Keraton Agung Sejagat hingga Sunda Empire ternyata mengandung pesan yang tersirat untuk kita semua, yaitu pesan untuk pemerintah dan pesan untuk kita masyarakat pada umumnya.
Pesan pertama untuk pemerintah. Jujur penulis sempat kaget ketika beberapa pejabat negara menyatakan bahwa kasus seperti Keraton Agung Sejagat itu jangan terlalu diseriusi, jadikan lelucon saja. Saya sampaikan kepada para pejabat yang terhormat, mungkin kita masyarakat telah lupa cara tertawa, sehingga anggap saja kasus-kasus tersebut sebagai lelucon. Namun, tolong para pejabat anggap ini adalah kasus yang serius, karena kasus tersebut telah banyak memakan korban. Lihatlah dari sisi korban.
Kasus model seperti itu juga adalah bukan hal yang pertama dan mungkin juga tidak akan menjadi kasus yang terakhir. Artinya akan terjadi kasus-kasus yang serupa dikemudian hari selama pemerintah belum bisa merealisasikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Ya, pemerintah belum bisa merealisasikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Menurut saya, kenapa kasus tersebut memakan korban? Jawabannya adalah karena poin kelima dari pancasila belum terealisasi di bumi pertiwi ini. Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, belum ada. Keadilan sosial yang paling utama adalah meratanya kesejahteraan.
Wahai para pejabat, jangan menganggap kasus tersebut memakan korban adalah karena kebodohon korban semata. Namun ini ada kaitannya dengan kesejahteraan yang belum merata. Ketahuliah, ketika kesejahteraan belum merata dan masyarakat tidak memiliki harapan, maka akan terjadi bunuh diri. Namun ketika kesejahteraan belum merata dan masyarakat memiliki harapan, maka masyarakat akan menaruh harapannya kepada yang mereka percaya, meski tidak masuk logika. Jadi kuncinya adalah kesejahteraan yang belum merata. Jika saya analogikan tidak jauh beda dengan para pejabat yang umbar janji dan memberikan harapan kepada masyarakat terkait kesejahteraan mereka saat kampanye. Lalu setelah menjadi pejabat mereka lupa dengan janjinya, masyarakat pun jadi korban harapan palsu.
Maka pesannya yang pertama adalah untuk pejabat dan pemerintahan. Seriuslah dalam upaya merealisasikan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Berupaya keras mewujudkan sila kelima dengan program-program yang ada. Karena jika tidak, maka kasus-kasus seperti Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire akan terus memakan korban yang banyak. Karena harapan rakyat itu senantiasa ada.
Pesan yang kedua adalah untuk masyarakat. Tidak salah kita senantiasa memiliki harapan untuk hidup lebih baik, namun jangan sampai harapan itu disertai dengan buta mata, tidak mau membaca dan menggunakan logika. Hadapi hidup ini dengan realistis dan yakinlah selalu kalau Tuhan itu ada. Tuhan telah mengurusi segalanya, maka bersandarlah kepadaNya.***
Ade Zezen MZM, S.Pd
(Ketua KAMMI Kuningan)