KUNINGAN (MASS) – Pagi subuh tadi, Jumat (5/7/2019), jamaah Masjid Al-Ashri, Komplek Alam Asri, Kuningan kehadiran ulama besar yang masyhur, Dr. KH. Tengku Zulkarnaen. Dalam kesempatan itu, ulama yang juga Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat itu menyampaikan taushiah tentang pentingnya iman sebagai harta yang paling berharga bagi seorang Muslim.
Dengan iman, kata Tengku, seluruh aktifitas dikhidmatkan untuk kemaslahatan agama, umat dan bangsa. Ekspresi keimanan seseorang diwujudkan secara nyata dalam bentuk darma bakti seorang anak kepada kedua orang tua, keluarga dan masyarakat luas.
“Kekayaan yang berlimpah tidak akan punya makna apa pun bila iman terlepas dari jiwa kita. Karunia iman adalah anugerah Allah yang paling besar yang dimiliki oleh seorang muslim. Bila iman sudah beres, sholat berjamaah istiqomah di masjid, urusan dengan Allah dituntaskan, maka berbaktilah kepada kedua orang tua, perbaiki hubungan dengan istri dan anak-anak, dan perbaiki hubungan dengan sesama,” tutur ulama yang kerap bersuara lantang kepada berbagai praktik-praktik kemungkaran di negeri ini.
Tidak sedikit jamaah yang meneteskan air mata ketika ia mengurai perkara penderitaan seorang ibu saat mengandung bayinya selama 9 bulan. Ia menegaskan, berbakti kepada orang tua adalah syarat mutlak masuknya seseorang ke dalam surga-Nya. Sebaliknya, bila durhaka, Allah akan melemparkannya ke dalam neraka.
“Mau merasakan penderitaan seorang ibu saat hamil? Datanglah ke pasar, beli dua kelapa muda taruh di perut dan diikat selama sembilan bulan dan dibawa terus kemana-mana. Pinggang kita akan pegel gak karuan. Terbayang kan penderitaan seorang ibu? Karena itu berbaktilah kepada kedua orang tua, teristimewa ibu. Dan, perbaiki segera hubungan seorang suami kepada istrinya,” tandas Tengku.
Nafsul Mutaminnah
Tengku Zulkarnain juga mengingatkan jamaah agar setia dan konsisten pada syariat yang telah Allah wahyukan dalam Al-Qur’an. Dengan setia dan konsisten, seseorang akan memiliki nafsul mutmainnah.
“Kita harus berserah diri atas semua ketentuan dan ketetapan Allah. Jangan menentang sedikit pun. Karena bila menentang, itu adalah sebuah tanda-tanda kekafiran. Setidaknya kita menyadari belum bisa melaksanakan syariat Allah secara sempurna. Tetapi terus berupaya untuk taat dan konsisten melaksanakannya sehingga jiwa kita memiliki nafsul mutmainnah,” tuturnya.
Nafsul Mutmainnah, jelas Tengku Zulkarnain, adalah jiwa yang tenang dan mengantarkan seseorang kepada jannah-Nya. Jiwa yang siap menerima cahaya kebenaran ilahi, cenderung menerima hal-hal yang makruf dan menolak hal-hal yang mungkar.
“Ya ayyuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah. wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya. Nafsul Mutmainnah adalah jiwa yang telah mendapat ketenangan. Jiwa yang telah siap menerima cahaya kebenaran Ilahi. Kondisi jiwa seperti demikian, membuat pemiliknya merasa berpuas diri dalam pengabdiannya kepada Allah ta’ala,” jelasnya.
Dalam konteks pengabdian kepada Allah ini, Tengku Zulkarnain mengingatkan bahwa konstitusi negara (UUD 1945) menjamin semua pemeluk agama dan kepercayaan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.
“Yang beragama Hindu, Kristen dan lain-lain silahkan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Lakum diinukum waliyadiin. Bagi kita umat Islam dijamin 100 persen oleh Pancasila dan UUD 1945 untuk menjalankan syariat Islam secara utuh. Sebagaimana perintah Allah, masuklah ke dalam Islam secara kaaffah, secara keseluruhan,” tuturnya.
Tengku Zulkarnain mengingatkan kepada segenap komponen bangsa agar tidak mudah memberi cap radikal kepada kaum Muslimin yang menjalankan ajaran Islam secara kaaffah atau komprehensif.
“Islam adalah agama yang lengkap dan mengatur seluruh aktifitas kehidupan manusia. Dari mulai masuk WC hingga mengelola negara. Nah, jangan mudah menstigma radikal kepada umat Islam yang menjalankan ajaran agamanya secara totalitas. Justru itu adalah perintah Allah swt dan dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Bagi yang melarang justru mereka bertentangan dengan ajaran Allah swt dan melarang norma-norma Pancasila dan ketentuan UUD 1945,” tukasnya. (deden)