Tanah Pendopo Kuningan Bukan Milik Keraton Kasepuhan Cirebon

Bismillah

Tidak benar Gedung Pendopo Kabupaten Kuningan dibangun di atas tanah milik Keraton Kasepuhan Cirebon

Berikut penjelasannya:

1. Status Pendopo Kuningan sebagai cagar budaya

Menurut Detik.com, Gedung Pendopo Kabupaten Kuningan secara resmi telah ditetapkan sebagai salah satu dari 13 objek cagar budaya di Kabupaten Kuningan melalui SK Bupati pada Agustus 2024.

Tidak ada indikasi bahwa lokasi ini telah diklaim atau digugat oleh Keraton Kasepuhan terkait ulayat (tanah adat).

2. Letak dan asal usul Pendopo Kuningan

Pendopo Kabupaten Kuningan adalah gedung pemerintahan daerah yang umumnya dibangun di atas lahan milik kabupaten, bukan pada wilayah yang termasuk dalam tanggungan Keraton Kasepuhan (yang berada di Kelurahan Kesepuhan, Cirebon)—mereka memiliki wilayah sendiri yang diakui sebagai tanah wewengkon atau swapraja.

3. Keraton Kasepuhan dan wilayahnya

Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan kompleks istana bersejarah di Cirebon, berdiri sejak lama (abad XV), lengkap dengan pendopo, museum, balairung, dan lain-lain.

Tanahnya masih menjadi objek sengketa internal antara Keraton dan pemerintah kota Cirebon, tetapi tidak menyangkut wilayah Kuningan.

4. Isu “tanah ulayat” dalam berita itu

Tulisan itu adalah klaim dari pihak tertentu—misalnya Pangeran Kuda Putih atau kubu keraton—yang menyatakan hendak melakukan kegiatan adat di “Pendopo Arya Kemuning” di Kuningan.

Namun, itu hanya rencana penobatan yang kontekstual di Kabupaten Kuningan, bukan klaim penguasaan wilayah oleh Keraton Cirebon atas tanah pemerintahan pendopo setempat.

Kesimpulannya:
Pendopo Kabupaten Kuningan tidak berada di atas tanah milik Keraton Kasepuhan Cirebon.

Gedung tersebut adalah milik Pemkab Kuningan, telah diakui sebagai cagar budaya lokal, dan tidak diikat oleh klaim ulayat dari pihak Keraton Cirebon.

Klaim “berdiri di atas tanah ulayat Keraton” tampaknya lebih merupakan pernyataan simbolis atau politis, bukan fakta hukum atau geografis.

Kronik Historis Wilayah Kuningan dari Perspektif Keraton Kasepuhan Cirebon

Tulisan ini menyajikan kronik historis wilayah Kuningan dari sudut pandang Keraton Kasepuhan Cirebon, dengan menelusuri jejak hubungan politik, budaya, dan keagamaan antara kedua entitas sejak abad ke-16 hingga era modern.

Melalui pendekatan historis dan antropologis, tulisan ini berupaya merekonstruksi argumen historis atas klaim tanah ulayat yang diajukan oleh Keraton terhadap wilayah administratif modern, termasuk Gedung Pendopo Kabupaten Kuningan.

1. Pendahuluan

Hubungan antara wilayah pedalaman seperti Kuningan dengan pusat kekuasaan pesisir Cirebon merupakan bagian penting dari sejarah Islamisasi dan pembentukan struktur kekuasaan tradisional di Jawa Barat.

Keraton Kasepuhan sebagai salah satu institusi penerus Kesultanan Cirebon memandang wilayah-wilayah seperti Kuningan sebagai bagian dari mandala pengaruh politik dan keagamaan sejak era Sunan Gunung Jati.

2. Integrasi Wilayah Kuningan ke dalam Hegemoni Cirebon

Setelah Kesultanan Cirebon berdiri pada awal abad ke-16, pengaruh politik dan dakwahnya meluas ke pedalaman termasuk ke wilayah Kuningan. Berdasarkan tradisi lisan dan dokumen keraton, Kuningan termasuk wilayah yang diserahkan kepada Pangeran Arya Kamuning, seorang tokoh bangsawan dari Cirebon yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam dan membangun pemerintahan lokal.¹

Pemberian wilayah ini disebut sebagai “tanah lungguh”, sebuah sistem feodal di mana wilayah diberikan kepada pejabat tinggi atau keluarga kerajaan sebagai bentuk pengabdian.

3. Silsilah Pangeran Arya Kamuning dan Pembentukan Trah Lokal

Pangeran Arya Kamuning merupakan keturunan langsung dari garis bangsawan Kesultanan Cirebon. Berdasarkan silsilah yang dijaga oleh Keraton Kasepuhan, ia adalah cicit dari Pangeran Cakrabuana, pendiri Keraton Pakungwati dan ayah angkat Sunan Gunung Jati.²

Pangeran Cakrabuana (Raden Walangsungsang) merupakan putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang memeluk Islam dan menjadi pelopor berdirinya kekuasaan Islam di Cirebon.

Dengan demikian, Arya Kamuning termasuk dalam trah wangsa Sunda-Islam yang menjadi jembatan antara kekuasaan Hindu-Buddha lokal dengan Islamisasi di Jawa Barat.

Dalam tradisi keraton, Arya Kamuning dianggap sebagai salah satu tokoh kunci yang dipercaya membawa ajaran Islam serta tatanan pemerintahan ala Kesultanan Cirebon ke daerah pedalaman seperti Kuningan. Nama Kamuning sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti harum atau wangi, yang dalam simbolisme Jawa dihubungkan dengan peran pemimpin yang membawa kesejukan dan keteladanan moral.

Anak keturunannya kemudian menetap di berbagai wilayah Kuningan seperti Cigugur, Luragung, dan Kadugede, dan secara tidak langsung membentuk lapisan aristokrasi lokal yang menjalin hubungan vertikal dengan Keraton Kasepuhan.

Mereka dikenal sebagai kaum menak, sering kali menjadi pejabat lokal seperti demang, patih, dan penghulu, dengan silsilah yang masih dilacak hingga generasi ke-12 di era modern.³

Trah Arya Kamuning inilah yang kemudian menjadi simpul kebudayaan dan struktur kekuasaan tradisional di wilayah Kuningan, yang dalam perkembangan sejarahnya tetap mempertahankan relasi spiritual dan simbolik dengan Cirebon.

Dalam banyak upacara adat, ziarah leluhur, dan bentuk penghormatan budaya, peran Arya Kamuning terus dikenang sebagai pendiri kultural wilayah tersebut.

4. Tafsir Adat terhadap Tanah Lungguh

Dalam tradisi hukum adat Cirebon, tanah lungguh bukanlah sekadar pemberian administratif, tetapi merupakan amanah sakral yang dilekatkan pada fungsi pengabdian dan pemeliharaan harmoni sosial.

Tanah lungguh diberikan kepada seorang bangsawan atau tokoh kepercayaan bukan untuk dimiliki secara pribadi, melainkan untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat dan sebagai basis otoritas simbolik atas suatu wilayah.⁴

Penerima tanah lungguh—dalam hal ini Pangeran Arya Kamuning—berkewajiban menjaga tatanan moral, hukum, dan kebudayaan masyarakat, serta menjalankan peran kepemimpinan spiritual dan administratif.

Hak atas tanah tersebut bersifat turun-temurun, tetapi tidak boleh diperjualbelikan. Jika keturunan pemegang lungguh tidak mampu melanjutkan amanah, tanah tersebut secara adat dikembalikan ke keraton untuk diserahkan kepada penerus yang layak.

Oleh sebab itu, dari perspektif Keraton Kasepuhan, tanah-tanah yang dahulu merupakan lungguh tidak serta-merta menjadi tanah negara setelah kemerdekaan, melainkan tetap dipandang sebagai bagian dari struktur otoritas adat yang belum pernah secara sah dialihkan secara adat maupun moral.

Dalam tafsir ini, keberadaan bangunan seperti Gedung Pendopo Kuningan di atas tanah lungguh tanpa pengakuan adat merupakan bentuk pelanggaran historis dan simbolik terhadap warisan leluhur.

5. Tafsir Hukum Agraria Nasional

Dalam perspektif hukum agraria nasional, semua tanah di wilayah Indonesia tunduk pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. UUPA menetapkan bahwa hak-hak atas tanah harus berdasarkan asas nasionalitas, kesatuan, dan fungsi sosial.⁵

Tanah adat (termasuk tanah ulayat dan bentuk tradisional lainnya seperti lungguh) diakui keberadaannya, namun hanya sejauh kenyataannya masih ada dan pengaturannya tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”

Namun dalam praktiknya, banyak tanah adat termasuk bekas tanah lungguh tidak memiliki bukti administratif yang memenuhi syarat formal dalam sistem Badan Pertanahan Nasional (BPN), karena tidak terdokumentasi dalam bentuk sertifikat hak milik, hak guna usaha, atau hak pakai.

Ini menyebabkan klaim Keraton Kasepuhan atas tanah lungguh di Kuningan sulit diterima dalam sistem hukum positif, meskipun memiliki legitimasi adat dan sejarah.

Perbedaan tafsir antara hukum adat dan hukum nasional menciptakan celah legal yang kerap menjadi sumber sengketa.

Dalam konteks ini, rekonsiliasi antara otoritas adat dan negara menjadi krusial, misalnya melalui mekanisme pengakuan hukum adat dalam Peraturan Daerah atau pendaftaran tanah adat melalui skema inventarisasi partisipatif berbasis komunitas (community land mapping).

6. Kolonialisme dan Transformasi Agraria

Pada masa kolonial Belanda, sistem tanah lungguh secara perlahan digantikan dengan administrasi pertanahan modern.

Arsip Belanda mencatat wilayah Kuningan sebagai bagian dari Afdeling Cheribon (Residensi Cirebon), namun dalam praktiknya kekuasaan tradisional tetap diakui secara informal.⁶

Tanah-tanah keraton banyak yang dinasionalisasi atau diambil alih tanpa mekanisme kompensasi yang jelas.

7. Era Kemerdekaan dan Redefinisi Kepemilikan

Pasca kemerdekaan, sistem pertanahan Indonesia mengalami reformasi melalui UUPA 1960 yang menghapus struktur feodal dan menyeragamkan kepemilikan berdasarkan sertifikat.

Namun, banyak tanah yang sebelumnya milik keraton tidak tercatat dalam sistem BPN karena warisan sejarah non-dokumen. Inilah yang menjadi dasar klaim Keraton Kasepuhan bahwa beberapa wilayah, termasuk lokasi Gedung Pendopo Kuningan, merupakan tanah ulayat historis mereka.

8. Sengketa Kontemporer dan Relevansi Historis

Klaim Sultan Sepuh atas tanah di Kuningan bukan hanya soal kepemilikan fisik, melainkan bagian dari upaya rekognisi terhadap warisan sejarah yang diabaikan negara.

Dalam hal ini, sejarah menjadi alat legitimasi kultural atas ruang. Sengketa ini mencerminkan ketegangan antara legalitas formal dan legitimasi tradisional, yang belum terselesaikan dalam kerangka hukum agraria nasional.

9. Kesimpulan

Kronik historis ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Keraton Kasepuhan, wilayah Kuningan memiliki relasi historis yang kuat baik secara politik maupun spiritual.

Rekognisi atas sejarah ini penting dalam merumuskan keadilan historis dan menciptakan dialog antara institusi adat dan negara modern.

Catatan Kaki:

¹ Lihat Babad Cirebon dan Wawacan Pangeran Kamuning, naskah koleksi Keraton Kasepuhan.

² Naskah silsilah Keraton Kasepuhan Cirebon, disalin kembali dalam “Silsilah Pangeran Keraton Kasepuhan”, Arsip Budaya Keraton, 2003.

³ Wawancara budaya dengan Keluarga Besar Trah Kamuning Cigugur, Kuningan, Oktober 2023.

⁴ Tradisi Lisan dan Naskah Hukum Adat Cirebon, disunting oleh Ki Gede Arya Sulaeman, 1989.

⁵ Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Pasal 3 dan Penjelasannya.

⁶ Arsip Landsarchief Batavia, “De Afdeling Cheribon” (1857).

Daftar Pustaka:

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900. Jakarta: Gramedia, 1987.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2008.

Nawawi, Dedi. “Peran Bangsawan Cirebon dalam Islamisasi Wilayah Priangan Timur.” Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol. 10, No. 2, 2018.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Data dan Kebijakan Tanah Ulayat di Indonesia. Jakarta: ATR/BPN, 2020.

Sumodiningrat, Gunawan. Struktur Sosial dan Kepemilikan Tanah di Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.

Keraton Kasepuhan Cirebon. Silsilah Pangeran Kamuning dan Trah Kuningan. Koleksi Pribadi Sultan Sepuh, 2019.

Sulaeman, Ki Gede Arya (ed.). Naskah-Naskah Adat Cirebon: Tafsir Kepemilikan dan Amanah Lungguh. Cirebon: Pustaka Keraton, 1989.

Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 beserta Penjelasannya. Jakarta: Sekretariat Negara, 1999.
———–
Lampiran: Contoh Draft Peraturan Daerah

Draf Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor: … Tahun … Tentang: Pengakuan dan Perlindungan Tanah Adat Berbasis Sejarah Tanah Lungguh

Menimbang: Bahwa dalam rangka mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat serta pelestarian warisan budaya dan sejarah lokal, perlu ditetapkan suatu regulasi mengenai pengakuan tanah adat termasuk tanah lungguh yang diwariskan dari struktur pemerintahan tradisional seperti Keraton Kasepuhan Cirebon.

Mengingat:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

4. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penataan Tanah Ulayat;

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TANAH ADAT BERBASIS SEJARAH TANAH LUNGGUH

Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Tanah Lungguh adalah wilayah atau lahan yang diberikan oleh kekuasaan tradisional kepada tokoh bangsawan atau pejabat adat sebagai bentuk amanah, bukan milik pribadi, melainkan milik komunal berbasis fungsi pengabdian.

2. Keraton adalah lembaga adat historis yang memiliki otoritas simbolik dan genealogis atas wilayah budaya tertentu.

3. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun menetap di wilayah tertentu dan memiliki sistem nilai, hukum, dan kelembagaan adat yang masih hidup.

Pasal 2 (1) Pemerintah Daerah mengakui keberadaan dan hak tanah lungguh yang secara historis didasarkan pada penetapan adat dan dokumen keraton. (2) Pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme penetapan oleh Bupati berdasarkan rekomendasi Tim Verifikasi Tanah Lungguh.

Pasal 3 Tim Verifikasi Tanah Lungguh dibentuk oleh Bupati dan beranggotakan unsur: a. Dinas Pertanahan b. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata c. Lembaga Adat/Keraton d. Akademisi sejarah dan antropologi

Pasal 4 Tanah yang ditetapkan sebagai tanah lungguh: a. Tidak dapat diperjualbelikan, b. Dapat digunakan untuk kegiatan sosial, budaya, atau keagamaan, c. Dapat didaftarkan sebagai Tanah Ulayat dalam sistem BPN dengan status perlindungan adat.

Pasal 5 Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenai sanksi administratif berupa: a. Pembatalan izin penggunaan tanah, b. Denda administratif, c. Rekomendasi pencabutan hak penggunaan.

Pasal 6 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Demikian draf ini disusun sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan rekognisi terhadap sejarah dan hak adat di wilayah Kabupaten Kuningan.

Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in

Awang Dadang Hermawan

*) Pemerhati Intelijen, Sosial Politik dan Agama
##########
25 Juni 2025