KUNINGAN (MASS) – Ketua DPC Partai Gerindra Kuningan, H Dede Ismail, memberikan penjelasan panjang lebar kaitan dengan Sri Laelasari yang merasa didzolimi. Pernyataannya melebar kepada ketidakkomplitan data pembanding yang dimiliki bawaslu hingga keberatan KPU untuk membuka.
Dia mengawalinya dengan klarifikasi pergantian saksi pada saat rekap suara Kecamatan Kuningan. “Saya kan sudah terdaftar sebagai saksi untuk partai,” kata Dede Ismail kala dikonfirmasi kuninganmass.com.
Deis, sapaan singkat Dede Ismail menegaskan, sebagai ketua partai dirinya tampil sebagai ‘bapak’ bagi struktural partai begitu juga ‘bapak’ dari para caleg Gerindra. Untuk itu ia dituntut bisa bersikap adil dan netral.
“Nah ketika pleno kabupaten, kalau ada kegejlokan data bisa diklirkan antara form DA1 yang di dalamnya ada DAA1, diselaraskan dengan form C1 plano yang discan atau difoto yang dimiliki panwas. Tapi kan tidak semua scan/foto seluruh TPS itu ada. Maka dari itu saya mempertimbangkan tidak mau larut pada kepentingan pribadi caleg,” terangnya.
Dia melanjutkan, form DA1 merupakan hasil keputusan pleno PPK. Jika semua dirubah, maka bakal muncul protes pula dari caleg lain (Eka Satria) seperti yang dilakukan kubu Sri Laelasari sekarang ini. Kalau saja bisa menunjukkan form C1 kecil yang dimiliki saksi/timses caleg, maka itu akan menjadi alat bukti yang sah.
“Nah dalam perjalanan pleno kan saya sudah intrupsi. Saat dibuka di Kecamatan Sindangagung yang mengalami revisi, ternyata kan tidak terjadi seperti apa yang didugakan. Ketika Kecamatan Kuningan pun saya intrupsi kenapa form DA1 nya gak asli stempel basah, cuma fotocopi. Itu saya pertanyakan,” kata Deis.
Alasan kenapa protes setelah ketuk palu, Deis berdalih pada waktu itu tidak paham keadaan. Saksi yang dia gantikan tidak melaporkan adanya permasalahan.
Terhadap masalah Sri ini, ia meminta agar jangan melibatkan struktur partai, terutama DPC. Ada jalur Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat ditempuh. Deis menegaskan, pihaknya harus netral dan mau melayani semuanya. Namun semuanya butuh proses. Jika DPC berat sebelah, imbuhnya, maka akan muncul suudzon dari caleg lain yang merasa dirugikan.
“Satu-satunya jalan ya proses jalur yang ditempuh. Kalau di sana form DA1nya menyatakan bu Sri yang menang, ya pasti akan kita amankan. Semua caleg juga kan punya keinginan jadi anggota dewan. Tapi kan proses dar der dor nya itu mestinya di pleno kecamatan. Jangan saat di kabupaten, itu akan menghantam kami di DPC,” jelas Deis.
Ia menandaskan, dalam setiap kompetisi ada kalah dan menang. Didalamnya terdapat adu strategi dan kepiawaian dalam meraih suara sekaligus mengamankannya. Menurut pandangan dia, ketika sudah pleno kecamatan maka itu harus diamankan.
Sementara, dalam upaya menyelesaikan pertikaian caleg diinternal partainya itu, Deis mengajak kedua belah pihak duduk bersama. Antara caleg nomor 2 dan 3 tersebut (Eka Satria dan Sri Laelasari) silakan membedahnya, jangan sampai jadi konsumsi publik.
“Toh caleg juga kan dengan suara 2000, emang bisa duduk kalau sendirian? Tetep aja pake suara partai. Harusnya bersikap arif lah. Wong sama-sama 2000 suara kan gak mungkin jadi dewan tanpa menggunakan suara partai,” ketus Deis.
Sewaktu Rekapitulasi Kecamatan Garawangi Berubah 7 Suara
Selisih antara Eka Satria dan Sri Laelasari semula 14 suara. Sewaktu PPK Garawangi membacakan angka rekap di Pleno KPU, selisihnya berkurang jadi 7 suara setelah muncul sanggahan dan menyocokkan data. Lantas kenapa Kecamatan Kuningan tidak bisa? Deis mengembalikannya kepada unsur penyelenggara pemilu dalam menjawab pertanyaan tersebut.
“Itu dikembalikan ke unsur penyelenggara pemilu. Kembali ke PPK Kuningan, kenapa hasil DA1 juga kok cuma fotocopi. Terus pada saat pak Jalil (komisioner Bawaslu) menyampaikan untuk dibuka semua, dan saya juga menyampaikan untuk dibuka semua, tapi KPU keberatan,” ungkap dia.
Deis kembali menegaskan, pihaknya dituntut harus netral. Waktu itu kepada timses caleg ia mempersilakan untuk menyiapkan alat bukti C1 kecil yang dimiliki. Sebab kalau C1 besar, belum tentu keasliannya terjamin. Dan yang bisa membuka C1 besar atau kotak suara itu pada saat gugatan di MK.
“Itu yang adil. C1 plano besar kan disimpan di gudang resi. Dan belum tentu sepenuhnya asli C1 plano yang dimiliki panwas. Panwas juga tidak komplit. Kalau sudah di MK, dalam pandangan saya lebih netral. Kalau merusak pleno kabupaten, dengan asumsi saling ingin menang, berarti pleno kecamatan diragukan dong,” ucapnya.
Pertikaian internal seperti ini, tambah Deis, bisa ditempuh 2 jalur. Pertama jalur MK, dan kedua internal partai dengan mengadukannya ke Dewan Kode Etik di DPD Jabar atau DPP Gerindra. Dia sebagai ketua DPC bertugas untuk membesarkan partai. Deis bersyukur sekarang sudah bisa menelurkan 7 kursi di DPRD, masing-masing 1 kursi di DPRD provinsi dan DPR RI. Pilpres pun, Prabowo menang.
Eka Satria Saudara Elit Gerindra
Mengenai kabar satu paket calon yang harus disukseskan oleh DPC Gerindra Kuningan, Deis membantahnya. Meski diakui Eka Satria dan Ardhya Pratiwi (caleg DPR RI) punya ikatan saudara dengan elit DPP Gerindra, namun dirinya mengaku tidak melihat hal itu.
“Kalau ada keberpihakan, pak Eka dikasih nomor urut 1 dong. Kan enggak, cuman nomor urut 2. Dari situ juga orang sudah bisa membaca. Mungkin kalau nomor urut 1 bisa lebih mudah menangnya. Buktinya nomor 2. Itu bukti netralitas DPC,” pungkasnya. (deden)