Biaya Mudik yang Kian Memberatkan
Salah satu tradisi Lebaran yang tak tergantikan adalah mudik, namun tahun ini, biaya mudik menjadi beban berat bagi banyak keluarga.
Kenaikan harga BBM sejak akhir 2024 dan tarif transportasi yang melambung membuat anggaran mudik meningkat 20-30% dibandingkan tahun sebelumnya.
Diprediksi tahun 2025, rata-rata keluarga mengalokasikan Rp3-5 juta untuk biaya mudik, padahal di 2024, angka ini hanya sekitar Rp2,5-4 juta. (lihat lampiran pdf)
Bagi pekerja dengan penghasilan pas-pasan, kenaikan ini memaksa mereka memilih untuk tidak mudik atau mengurangi anggaran belanja Lebaran.
Fenomena ini tidak hanya mengurangi kebahagiaan reuni keluarga, tetapi juga berdampak pada perekonomian daerah.
Selama ini, mudik menjadi pendorong utama perputaran uang di daerah tujuan, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera.
Dengan berkurangnya arus mudik, UMKM lokal yang bergantung pada penjualan oleh-oleh dan jasa kuliner selama Lebaran terancam kehilangan pendapatan. Jika tren ini berlanjut, dampaknya bisa meluas ke sektor lain, seperti transportasi dan pariwisata, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi musiman.
PHK dan Ancaman Resesi: Beban Ganda bagi Masyarakat
Selain biaya mudik yang membengkak, ancaman PHK dan resesi ekonomi semakin menambah beban masyarakat. Sepanjang 2024, tercatat 77.965 kasus PHK, dan di awal 2025, tambahan 4.050 pekerja kehilangan pekerjaan.
Sektor manufaktur dan tekstil menjadi yang paling terdampak, dengan banyak perusahaan mengurangi produksi akibat penurunan permintaan global. Bagi keluarga yang terkena PHK, Lebaran 2025 bukan lagi momen bahagia, melainkan sumber stres finansial.
Ancaman resesi ekonomi global juga membayangi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 hanya mencapai 4,5%, jauh di bawah target pemerintah sebesar 5,3%.
Daya beli yang melemah, inflasi yang tidak stabil, dan ketidakpastian pasar global membuat momentum Lebaran tidak mampu menjadi penyelamat ekonomi.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis, seperti stimulus fiskal dan proteksi bagi sektor padat karya, resesi bisa menjadi kenyataan yang menghancurkan harapan pemulihan ekonomi pasca-COVID.
Apa yang Salah?
Tantangan Lebaran 2025 mencerminkan kegagalan sistemik dalam mengelola ekonomi nasional.
Pertama, ketergantungan pada impor bahan baku dan produk jadi membuat Indonesia rentan terhadap gejolak global.
Kedua, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak pro-rakyat kecil, seperti kenaikan PPN 11%, Suku bunga tinggi dibandingkan kawasan ASEAN, semakin memberatkan daya beli.
Ketiga, kurangnya perlindungan bagi tenaga kerja dan UMKM membuat mereka menjadi korban pertama saat krisis melanda.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, Lebaran 2025 bukan hanya akan dikenang sebagai momen yang suram, tetapi juga sebagai awal dari krisis ekonomi yang lebih dalam.
Pemerintah harus segera bertindak, bukan hanya untuk menyelamatkan tradisi mudik dan kebahagiaan Lebaran, tetapi juga untuk memastikan keberlanjutan ekonomi Indonesia di masa depan.
Tradisi Konsumsi yang Tertekan Daya Beli
Ramadhan dan Lebaran selalu menjadi puncak siklus konsumsi di Indonesia.
Masyarakat berbondong-bondong memenuhi kebutuhan pangan, busana baru, dan persiapan mudik, meski daya beli tahun ini terancam oleh tekanan ekonomi.
Data terbaru menunjukkan, meski konsumsi meningkat secara musiman, pertumbuhannya lebih landai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2024, inflasi bulan Maret mencapai 0,52% (month-to-month), mencerminkan dorongan konsumsi yang kuat.
Namun, memasuki 2025, deflasi dua bulan berturut-turut (-0,76% di Januari dan -0,02% di Februari) mengisyaratkan lemahnya permintaan domestik.
Faktor lain yang membayangi adalah lonjakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sepanjang 2024, tercatat 77.965 kasus PHK, dan di Januari 2025, tambahan 3,325 pekerja kehilangan mata pencaharian di Februari 2025 diprediksi tambahan 60,000 dari 50 perusahaan.
Kondisi ini membuat rumah tangga lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang, meski tradisi Ramadhan sulit dihindari.
Proyeksi konsumsi selama Ramadhan 2025 diperkirakan mencapai Rp1.188 triliun, tetapi pertumbuhannya hanya sekitar 5-7%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 9-12% pada 2023 dan 2024.
Belanja Fashion: Terhimpit Impor dan Daya Beli yang Lesu
Sektor fashion selalu menjadi primadona jelang Lebaran, tetapi tahun ini ceritanya berbeda.
Lonjakan permintaan busana muslim dan pakaian baru terhambat oleh dua faktor: banjir produk impor dan daya beli yang tertekan.
Pada 2024, sekitar 37 ribu kontainer pakaian impor—baik legal maupun ilegal—memenuhi pasar domestik, membuat produsen lokal kesulitan bersaing.
Meski pemerintah memberlakukan pembatasan impor pakaian bekas dan regulasi ketat, dampaknya belum signifikan.
Berdasarkan survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penjualan produk tekstil lokal pada Januari-Maret 2025 hanya tumbuh 3%, jauh di bawah pertumbuhan 15% pada periode yang sama di 2024.
Padahal, tradisi “baju lebaran” masih kuat. Masyarakat tetap membeli pakaian baru, tetapi dengan budget lebih ketat.
Rata-rata pengeluaran untuk busana Lebaran 2025 diperkirakan Rp500.000–Rp800.000 per keluarga, turun dari Rp750.000–Rp1,2 juta pada 2024.
Makanan dan Minuman: Bertahan di Tengah Tekanan Harga
Berbeda dengan sektor fashion, UMKM makanan dan minuman tetap menjadi pemenang di Ramadhan 2025.
Tradisi buka puasa bersama, takjil, dan kirim hampers Lebaran menjadi pendorong utama.
Kategori makanan dan minuman (F&B) menyumbang 45% dari total transaksi e-commerce selama Ramadhan 2025, dengan nilai diprediksi mencapai Rp535 triliun.
Namun, pertumbuhannya hanya 8%, lebih rendah dari 12% pada 2024 (BPS 2024).
Kenaikan harga bahan baku seperti gula, tepung, dan minyak goreng di awal 2025 memaksa UMKM menaikkan harga jual.
Harga kue kering Lebaran, misalnya, naik 10-15% dibandingkan 2024.
Meski demikian, permintaan tetap stabil karena tradisi mengirim oleh-oleh dan kebutuhan konsumsi keluarga. Arus mudik yang diprediksi mencapai 193 juta orang juga menjadi pendongkrak penjualan kuliner daerah.
THR: Stimulus yang Dikepung Utang dan Kehati-hatian
Tunjangan Hari Raya (THR) senilai Rp50 triliun untuk ASN oleh Presiden Prabowo dan Diprediksi sekitar Rp120 triliun untuk sektor swasta tetap menjadi penyelamat konsumsi.
Namun, alokasi penggunaannya berubah. Survei Bank Indonesia menunjukkan, hanya 55% masyarakat yang menggunakan THR untuk belanja kebutuhan Lebaran pada 2025, turun dari 67% di 2024.
Sebanyak 30% di antaranya lebih memprioritaskan pelunasan utang, sementara 15% menyimpan dana untuk kebutuhan darurat.
Perilaku ini mencerminkan kehati-hatian akibat ketidakpastian ekonomi.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) BI pada Februari 2025 berada di level 118,5, turun dari 124,2 pada Februari 2024.
Meski THR tetap menggeliatkan pasar ritel—dengan transaksi naik 15-20%—lonjakan ini tidak sebesar tahun sebelumnya.
Sektor elektronik dan furniture, misalnya, hanya mencatat kenaikan penjualan 5%, jauh di bawah pertumbuhan 18% pada 2024.
Pertumbuhan Ekonomi Lebaran: Melambat Pasca-Pemulihan COVID
Jika dibandingkan dengan tiga tahun terakhir pasca-COVID, kontribusi Lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi 2025 diperkirakan lebih rendah.
Pada 2022, momentum Lebaran mendorong pertumbuhan ekonomi kuartal II sebesar 5,4% (yoy), didominasi konsumsi rumah tangga.
Di 2023, angkanya turun menjadi 5,1%, dan pada 2024 hanya 4,8%.
Tahun ini, ekonomi kuartal II 2025 diproyeksikan tumbuh 4,5-4,7%, dengan kontribusi Lebaran sekitar 0,8-1%.
Penurunan ini disebabkan oleh tiga faktor pertama, Daya beli yang belum pulih total pasca-PHK massal dan inflasi 2024, Kedua Kebocoran konsumsi ke impor, terutama di sektor fashion dan elektronik dan ketiga, Efektivitas THR yang menurun karena alokasi dana untuk utang dan tabungan.
Mengapa Konsumsi Tidak Mampu Dongkrak Pertumbuhan?
Meski konsumsi Ramadhan 2025 tetap naik, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi terbatas.
Pertama, struktur ekonomi Indonesia masih bergantung pada belanja pemerintah dan investasi. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB hanya 54%, turun dari 57% pada 2022.
Kedua, kebocoran impor mengurangi multiplier effect belanja masyarakat. Setiap Rp1 juta yang dibelanjakan untuk produk impor hanya menyumbang 0,3% ke PDB, sementara produk lokal menyumbang 0,7%.
Ketiga, kenaikan harga pangan dan energi membuat proporsi belanja pokok rumah tangga meningkat.
Pada 2025, 65% pengeluaran keluarga dialokasikan untuk pangan dan transportasi, menyisakan hanya 35% untuk belanja sekunder seperti fashion dan elektronik. Akibatnya, meski nominal konsumsi naik, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
Lebaran 2025: Momentum untuk Evaluasi Kebijakan
Pemerintah perlu belajar dari tren ini. Pertama, pentingnya memperkuat UMKM lokal melalui proteksi dari gempuran impor dan akses pembiayaan murah. Kedua, kebijakan THR harus diintegrasikan dengan program pelatihan dan pendampingan keuangan agar masyarakat tidak terjebak utang konsumtif. Ketiga, stabilisasi harga pangan dan energi harus menjadi prioritas untuk menjaga daya beli.
Lebaran 2025 ini membuktikan bahwa konsumsi musiman tidak cukup menjadi motor pertumbuhan. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan perlindungan terhadap industri dalam negeri, momentum Lebaran hanya akan menjadi euforia sesaat—bukan solusi jangka panjang bagi ekonomi Indonesia.***
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
