KUNINGAN (MASS) – Ikatan Mahasiswa Kuningan (IMK) Wil Cirebon menggelar kajian yang bertajuk “Quo Vadis Gerakan Mahasiswa?” yang dilaksanakan di Kampus Untag 45, Cirebon pada Kamis (21/11/2019).
Dalam kajian tersebut, disoroti beberapa poin soal arah gerakan mahasiswa yang semakin redup gaungnya.
Agenda “total reform”, merupakan jargon yang paling santer diperjuangan kalangan mahasiswa pada waktu itu, dewasa ini seolah semakin lemah. Gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi pintu terdepan dalam menyikapi berbagai ketimpangan yang ada.
Menanggapi hal itu, Ikatan Mahasiswa Kuningan (IMK) Wil. Cirebon menggagas program yang dikemas dalam kata “LINKAR” (Lintas Kampus Berkelakar).
Terbaru, diangkat tema reformasi agraria. Diangkatnya tema tersebut, menurut Kepala Bidang Pengembangan Keilmuan, Minat, dan Bakat (PKMB) Robi Zaenal untuk merefleksikan tagar reformasi dikorupsi yang sempat digaungkan namun akhir-akhir ini malah redup tidak terdengar lagi.
“Tujuannya yaa, sebagai bentuk refleksi gerakan reformasi dikorupsi yang cukup tinggi euforia dan gaungnya, tapi sekarang jadi redup dan bahkan tidak terdengar lagi, ” tutur Robi.
Dengan dihadiri oleh mahasiswa IAIN, UGJ, UNTAG, STIKOM, dan UMC. Nurhidayah (Anggota PAO IMK) dan Inggil Abdul Kafi (Sekretaris Bidang PKMB) hadir di tengah-tengah LINKAR sebagai pemantik kajian tersebut.
Dalam materinya, Nurhidayah memberikan gambaran realitas mahasiswa dulu sebelum reformasi dan sekarang pasca reformasi.
“Dulu itu mahasiswa benar-benar berjuang dengan nalar kritis dan rasionalis dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi sekarang, tidak sedikit mahasiswa hanya ikut-ikutan turun ke jalan tanpa mengetahui tuntutan atau aspirasi yang disampaikan,”ungkapnya.
Dari paparan Nurhidahah, peran media yang hanya menyoroti kericuhan yang dilakukan oleh demonstran sekarang, juga berakibat melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa. Sehingga, antara mahasiswa dan masyarakat kurang adanya kesamaan perspektif ketidakadilan. Padahal, kesamaan perspektif ketidakadilan inilah yang menjadi modal awal mahasiswa bergerak.
Pemateri lainnya, Inggil Abdul Kahfi juga menyoroti soal intelektual seorang mahasiswa yang seharusnya menjadi modal dalam melakukan suatu perubahan. Mahasiswa yang merupakan kaum cendikiawan, sangat disayangkan jika hanya diisi oleh referensi tidak pasti ala google.
“Alat untuk menunjang sebuah aksi adalah intelektual, nalar kritis, juga rasional, supaya kita dapat menempuh apa yang menjadi tugas seorang mahasiswa,” ucapnya.
Kecanggihan media sosial juga, imbuh dia, telah berhasil memerangkap manusia hingga menjadikannya terkotak-kotak dalam rezim informasi dan pengetahuan yang monolitik. Puncaknya adalah saat setiap orang atau kelompok memiliki “kebenaran- kebenaran”-nya sendiri yang dipercaya mati-matian meskipun itu sesungguhnya salah.
“Inilah yang kemudian disebut sebagai gejala post-truth. Dan budaya post-truth inilah yang mesti dihindari oleh mahasiswa,” jelas Inggil.
Menurutnya, aksi mahasiswa tidak melulu soal turun ke jalan. Kampanye dan mimbar terbuka juga menjadi rangkaian dalam menyampaikan aspirasi yang bisa dilakukan oleh mahasiswa. (eki)