KUNINGAN (MASS) – Saat ini tahapan pemilu mulai masuk tahapan kampanye. Terhitung mulai 15 Februari hingga 23 Juni 2018. Meski musim hujan berada pada puncak curahnya, suasana Pilkada perlahan mulai menghangat. Para calon dan tim suksesnya mulai manata langkah, mengatur strategi pemenangan. Menyiapkan program, memantapkan visi dan misi, menentukan tema kampanye, lokasi-lokasi kampanye, rute pawai dan lain-lain. Beberapa -(sangat mungkin) ada yang kasak-kusuk melalui jalan belakang, bawah meja, atau diam-diam menawarkan transaksi-transaksi politis antar elit. Tapi tak perlu alergi dengan transaksi politik karena kenyataannya politik adalah juga mengatur tatanan yang transaksional. Kalau menguntungkan, ambil. Kalau merugikan yaa abaikan, skip! Begitulah kita, begitulah hidup sejatinya.
Transaksi politik dengan stigma buruk sudah saatnya diubah. Dimaknai dengan arti baru yang lebih berpihak pada pemilih dan rakyat pada umumnya. Sehingga dikemudian hari kita bisa melahirkan smart voter, pemilih cerdas yang tidak pragmatis, oportunis dan bahkan apathis pada proses demokrasi seperti pemilu ini. Pola pikir pemilih yang sesaat, harus menguntungkan diri sendiri atau bahkan yang tak peduli, sudah saatnya dikikis. Perlahan memang, karena kebaikan biasanya tidak lahir secara instan. Ia terlahir dari akumulasi keping-keping bening kejujuran. Dan kita bisa memulainya sekarang.
Sekedar ilustrasi, coba Kita asumsikan politik seperti sebuah pasar serba ada. Tempat bertemunya penjual dan pembeli. Tempat tawar menawar terjadi. Tempat semua pihak merasa puas dengan harga yang pantas. Tempat dimana kita bebas menentukan pilihan sesuai kebutuhan, memilih dengan rasional tanpa tekanan. Lalu pulang dengan penuh kepuasan dan kebahagiaan.
Begitu pun politik, adalah tempat bertemunya para kandidat dan pemilih untuk saling tawar menawar. Para kandidat ‘menjual’ program kerja, visi dan misi. Sementara pemilih datang untuk ‘membelinya’ dengan hak suara. Tentu seharusnya ada aturan dan etika pasar yang ditaati bersama agar terjadi transaksi yang adil dan membahagiakan bagi keduanya. Baik antar kandidat dengan kandidat sebagai penjual, antar pemilih dengan pemilih sebagai pembeli, maupun antar kandidat dan pemilih sebagai pelaku transaksi.
Aturan tentang standar harga jual misalnya. Untuk mengatur besaran maksimal biaya kampanye agar tak terjadi money politik. Atau etika berjualan agar tak melahirkan kampanye hitam yang menuding-nuding kandidat lain.
Penjual yang baik biasanya paham akan kebutuhan pembeli. Kandidat yang baik pun biasanya paham kebutuhan pemilih. Maka transaksi yang terjadi adalah upaya kandidat menyerap aspirasi pemilih. Mendengarkan apa yang mereka butuhkan, memberi apa yang mereka idamkan atau memilihkan alternatif jika ada yang lebih baik. Kandidat bukanlah penjual yang memaksa menjual bangunan pada pemilih yang sekedar butuh sembako. Yang ada jaka sembung bawa uang; teu nyambung, mang!
Ketidaknyambungan transaksi ini biasanya disebabkan adanya ‘calo pasar’; para pihak ketiga yang menghalalkan segala cara hanya agar jualan kandidatnya laku, terpilih. Biasanya hal ini hanya berkaitan dengan satu nilai, besaran komisi dari penjualan atau kenaikan posisi jabatan. Sesuatu yang pragmatis, sesaat, individualis dan tak bertanggungjawab. Jangan tanya mereka tentang layanan purnajual/garansi, bahkan baik buruknya program kerja kandidat pun mereka tak perduli. Transaksi yang terjadi benar-benar jadi jual putus. Pemilih tak bisa komplain, protes atau meminta kembali hak pilih jika janji program tak jalan. Karena Kandidat tak kenal pemilih dan pemilih tak punya ‘bukti pembelian’… Duh.
Kini saatnya kita berpikir cerdas. Menukar suara dengan program kerja. Sehingga istilah transaksi politik tidak lagi tabu diucapkan.
Semoga..
Penulis: Meli Pemilia, S. S., (PPK Kecamatan Darma dan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Lokal Kuningan)