KUNINGAN (MASS) – Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki. Baru kemudian pekerjaan otak. Artinya wartawan itu harus mencari obyek beritanya dengan menggunakan kakinya. Berjalan terlebih dahulu. Kemudian ia menggunakan otaknya dan pikirannya. Secemerlang apapun otak wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya ia tidak akan memperoleh berita yang autentik.
Shindunata
Dari apa yang disampaikan Jurnalis Senior Kompas di atas bisa diambil kesimpulan, Jurnalis harus selalu dekat dengan obyek liputan. Tentu demi mendapatkan berita utuh dan otentik.
Ketika harus dekat dengan obyek liputan tentu segala resiko akan menganga. Mendekat obyek liputan kebakaran, ada resiko terkena percikan api.
Mendekat ke lokasi peperangan besar potensi terkena mortir. Pun demikian saat liputan wabah, jurnalis harus mendekat ke sumber informasi terkait wabah.
Potensi terpapar pun terbuka lebar. Karena kondisi seperti ini tentu jurnalis wajib memiliki protokol khusus saat melakukan tugasnya di saat krisis.
Sayangnya pemenuhan berbagai macam protokol tersebut tak selamanya para jurnalis peroleh. Dalam masa convid 19 ini bisa dihitung perusahaan media yang menyediakan alat perlindungan diri bagi jurnalisnya.
Masker. Pakaian khusus. Sepatu khusus dan insentif lebih seharusnya menjadi kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
Proses mendapatkan berita mungkin bisa diakali dengan memperbanyak konten berita tanpa liputan. Alias hanya menurunkan berita berita press release dan konfirmasi narasumber hanya via telepon.
Hal itu mungkin bisa dilakukan untuk media cetak atau online. Jika hanya berita seremonial dan kontennya isu mungkin bisa dilakukan. Tetapi jika kejadian hanya mengandalkan keterangan via telepon, berita yang disajikan tentu tidak akan utuh.
Pilihan konfirmasi narasumber via telepon dan mengandalkan press release tentu tidak bisa dilakukan untuk media televisi. Karena televisi itu gambar. Tidak elok juga jika hanya menayangkan konten konten lama. Jika beritanya hard news tentu membutuhkan gambar gambar terbaru dan on location.
Nasib jurnalis terasa kian kurang menguntungkan ketika menyentuh perihal kesejahteraan. Di masa pandemi ini sebagian jurnalis bukannya mendapatkan stimulus dari perusahaan medianya justru sebaliknya.
Tayangan televisi yang berisikan konten jurnalis daerah dipastikan terkurangi. Nyaris seluruh televisi di Indonesia memperlakukan jurnalis daerahnya seperti pedagang dan pembeli.
Berita yang dikirimkan jurnalis daerah hanya akan dibayar jika ditayangkan di televisinya. Kondisi ini ternyata bukan hanya terjadi untuk media televisi. Karena media online dan cetak pun banyak yang memberlakukan pola serupa.
Kondisi tidak menguntungkan ini juga terjadi untuk para jurnalis di Jakarta. Beberapa surat kabar nasional dan lokal pun sudah mulai bermanuver agar media mereka tetap bisa terbit.
Ada media yang mengurangi halaman. Mengurangi ukuran kertas. Mengurangi penyebaran koran.
Biasa tujuh hari seminggu kini cetak tetap tetapi distribusi ke para agen hanya dikirim seminggu tiga kali. Tidak sedikit juga yang mulai mengurangi jam kerja.
Dampaknya untuk khalayak pun tidak menggembirakan. Khalayak disuguhi dengan konten konten berita yang minim dengan konfirmasi narasumber.
Bahkan kini media massa kita mulai dijangkiti dengan dua penyakit kronis. Pertama maraknya statement News. Jenis berita ini hanya mengedepankan berita dari narasumber dari pihak penguasa atau yang memiliki otoritas.
Saat zaman pandemi sekarang, tidak sedikit media hanya menyampaikan informasi dari juru bicara gugus tugas. Tanpa data data yang lebih eloboratif.
Contoh tidak sedikit ketika jumlah korban Corona disampaikan oleh juru bicara gugus tugas, maka hanya pernyataan itu yang disampaikan. Jika pun ada data lain, dari Ikatan Dokter Indonesia misalnya, biasanya dibuat dalam berita terpisah.
Kedua maraknya kutipan tanpa izin dari narasumber. Kebanyakan kutipan tanpa izin ini menghiasi media massa online. Podcast dan konten youtube bisa menjadi berita. Tanpa konfirmasi ulang apalagi izin mengutip apa yang disampaikan narasumber.
Memang saat masa pandemi ini, jurnalis bukan kelompok satu satunya yang terdampak. Nyaris seluruh lapisan masyarakat merasakannya.
Demi menjaga dunia pers tidak terus terpuruk, Dewan Pers meminta kepada pemerintah untuk membantu permasalahan media massa ini.
Dalam pandangan Dewan Pers, bayang-bayang pemutusan hubungan kerja untuk karyawan perusahaan media disebut bisa menjadi nyata bila tidak ada tindakan konkret.
Insentif atau subsidi negara sangat mendesak diberikan saat masa pandemi ini. Bukan hanya untuk menyelamatkan industri media dari kebangkrutan, melainkan juga untuk mempertahan arus informasi dan komunikasi yang mendukung upaya penanggulangan krisis akibat pandemi. (Kompas : 14 Mei 2020) .
Opsi uluran tangan pemerintah ini menurut padangan Dewan Pers bisa berupa, pemerintah tetap mengalokasikan dana sosialisasi kebijakan, program, atau kampanye penanggulangan COVID-19 di pusat maupun daerah.
Lalu usulan kedua berkaitan dengan subsidi harga kertas bagi perusahaan pers cetak sebesar 20 persen. Subsidi biaya listrik sebesar 30 persen pun dianggap perlu per bulan pada periode Mei-Desember 2020. (Tirto.id)
Pemerintah juga dianggap bisa memberikan kredit berbunga rendah dan berjangka panjang melalui Bank BUMN untuk industri pers.
Pelaku usaha Media juga meminta penangguhan kewajiban karyawan dan perusahaan pers untuk membayar iuran BPJS ketenagakerjaan selama masa pandemi Covid-19. Tentunya tanpa mengurangi manfaat yang seharusnya diperoleh karyawan.
Opsi terakhir menurut Dewan Pers adalah dengan menaikan pajak perusahaan global seperti Google, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram hingga Microsoft.
Tetapi semua opsi yang ditawarkan oleh Dewan Pers itu percayalah tidak banyak menyentuh kalangan jurnalis. Apalagi jurnalis di daerah yang statusnya bukan menjadi pekerja tetap dari perusahaan media.
Kebijakan perusahaan media biasanya tidak sampai ke para jurnalis di bawah. Contoh konkrit, para jurnalis dari perusahaan besar pun tidak semua mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR).
Jangankan THR yang idealnya diperoleh satu kali gaji, bingkisan lebaran yang berupa sembako pun jarang diperoleh.
Pihak perusahaan media kerap berdalih, para jurnalis yang dipekerjakan di daerah bukan sebagai karyawan tetapi hanya sebagai mitra.
Tak bergaji. Tak ada tunjangan. Padahal dalam dunia jurnalisme perusahaan media dan wartawannya menjadi elemen yang berbeda.
Sebagai perusahaan, lembaga pers tidak pernah lepas dari untung rugi. Sedangkan jurnalis harus selalu diiringi dengan nilai nilai idealisme.
Dalam pandangan pragmatis, untung rugi dan idealisme seakan dua kutub yang sulit untuk bersatu. Keduanya kerap bertolak belakang.
Walaupun secara ideal lembaga pers dan jurnalisnya diikat dalam kode jurnalistik. Ada kewajiban kewajiban jurnalistik yang dibebankan kepada perusahaan media.
Ada juga yang dibebankan khusus kepada jurnalis secara personal. Saat bertugas liputan, jurnalis adalah representasi dari medianya.
Jika terjadi segala macam kesulitan tekhnis dan non tekhnis maka otomatis perusahaan medianya berperan untuk menghilangkan kesulitan tersebut.
Begitu juga jika ada produk media hasil liputan jurnalis, dianggap bermasalah, bukan jurnalisnya yang bertanggungjawab tetapi perusahaannya harus pasang badan paling depan.
Tetapi terlepas dari itu, jurnalis sendiri sebagai manusia dewasa yang memilih secara sadar jurnalis sebagai profesi harus bertanggungjawab atas tindak tanduknya saat menjalankan profesi ini.
Saat masa covid 19 ini momentum bagi para perusahaan media untuk menegaskan perhatian mereka kepada jurnalisnya. Sudah seharusnya perusahaan media bukan hanya memiliki protokol saat menugaskan jurnalisnya liputan, tetapi juga memiliki protokol untuk penyelamatan jurnalisnya sebagai manusia.
Momentum ini juga bisa dipergunakan oleh perusahaan media untuk meneguhkan kembali bahwa jurnalis wajib memiliki keselamatan kerja yang jelas.
Keselamatan bukan hanya dari kecelakaan kerja yang tak disengaja, pun dari keselamatan ancaman narasumber yang merasa dirugikan.***
Penulis : Abdul Jalil Hermawan
Jurnalis. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UGJ Cirebon