KUNINGAN (MASS) – Bahwa Dua kisah berikut, masih tentang hubungan antara guru dengan murid, tapi dalam paradigma yang berbeda dengan jenis hubungan guru-murid seperti dikemukakan pada tulisan sebelumnya di KuninganMass.
Dalam sebuah Majlis, Imam Malik menyampaikan: “Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah, niscaya Allah akan meberikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya”.
Imam Syafi’i, sang murid berpendapat lain: “Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki”.
Guru dan murid bersikukuh pada pendapatnya masing masing.
Suatu hari setelah meninggalkan pondok, Imam Syafi’i melihat serombongan orang tengah memanen anggur. Dia pun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafi’i memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.
Imam Syafi’i girang, bukan karena mendapatkan anggur, tetapi karena pemberian itu telah menguatkan pendapatnya. Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapat rezeki? “Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur”.
Bergegas dia menjumpai Imam Malik, sang guru. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia bercerita, sambil sedikit mengeraskan bagian kalimat “Seandainya saya tidak keluar pondok dan membantu memanen, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya”.
Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan:
“Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rezeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rezeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya”.
Guru dan murid itu kemudian tertawa. Dua Imam madzab mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama.
Begitulah ilmu dan akhlaq para Imam Madzab, berbeda pendapat tetapi masing masing menghargai pendapat yg lain. Hikmah yg mulai jarang kita jumpai saat ini.
(Dinukil dari A. Muthi dalam “Khazanah Islam”).
Siapa yang Benar?
Alkisah, hidup seorang guru yang sangat dihormati karena tegas dan jujur.
Suatu hari, dua muridnya menghadap guru. Mereka bertengkar hebat dan nyaris beradu fisik. Keduanya berdebat tentang hasil hitungan 3 x 7.
Murid pandai mengatakan hasilnya 21. Murid bodoh bersikukuh hasilnya 27.
Murid bodoh menantang murid pandai supaya gurunya menilai siapa yang benar di antara mereka.
Murid bodoh mengatakan: “Jika saya yang benar, maka kamu harus mau dicambuk 10 kali oleh Guru. Tetapi kalau kamu yang benar, maka saya bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri”.
Setelah keduanya sampai di tempat gurunya, murid bodoh itu berkata: “Katakan guru, mana yang benar?”
Ternyata guru memvonis cambuk 10 x pada murid yang pandai.
Murid pandai protes, tapi gurunya menjawab:
“Hukuman ini bukan untuk hasil hitunganmu, tapi untuk ketidak-arifanmu karena berdebat dengan orang bodoh, yang tidak tahu kalo 3×7 adalah 21”.
Guru melanjutkan: “Lebih baik melihatmu dicambuk dan kemudian menjadi arif, daripada guru harus melihat satu nyawa terbuang sia-sia”.
Kedua kisah di atas dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi tentang adanya dua jenis kebenaran, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif.
Kisah pertama, tentang perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (cabang, bukan ushul, pokok) antara guru dan murid. Keduanya berbeda dalam menafsirkan iman kepada taqdir. Perbedaan penafsiran yang muncul dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari ketika taqdir itu dikaitkan dengan ikhtiyar. Dua-duanya bisa benar dan bisa terjadi kapan, di mana dan kepada siapa saja. Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ seperti ini sifatnya relatif.
Sungguh indah teladan yang ditampilkan kedua Imam besar itu; dalam masalah furu’ mereka tidak perlu ngotot mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Pesan moralnya,
hindari berdebat dalam masalah furu’ dan/atau berdebat dengan orang yang tidak menguasai permasalahan, sebab bila mental masih lemah, hal itu hanya akan memancing emosi dan permusuhan.
Ada saatnya kita diam untuk menghindari dan mengakhiri perdebatan yang tidak perlu.
Ilustrasi kedua tentang kebenaran mutlak. Guru haruslah tegas bila menyangkut jenis kebenaran ini. Bagaimana seseorang akan menjadi guru yang baik bila tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; bagaimana bisa menjadi da’i yang baik bila tidak bisa membedakan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.
ﻭَﻻَ ﺗَﻠْﺒِﺴُﻮﺍْ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﻭَﺗَﻜْﺘُﻤُﻮﺍْ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu mengetahuinya.” (Qs Al-Baqarah: 42).
Berikut pendapat para mufasir tentang apa yang dimaksud dengan “kebatilan” dalam kalimat “mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan”:
Tafsir Al-Muyassar/ Kementerian Agama Saudi Arabia mengatakan:
“Janganlah kamu mencampur kebenaran yang Aku turunkan kepada rasul-rasul-Ku- dengan kebohongan-kebohongan yang kamu buat-buat sendiri.”
Tafsir Al-Mukhtashar/Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram: “Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dari Allah dengan kebatilan dari kalian.”
Dari kedua mufassir ini ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “kebatilan” adalah kebohongan yang dibuat-buatnya sendiri. Maksudnya adalah Mencampuradukkan kebenaran dengan kebohongan yang dibuatnya sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan “menyembunyikan kebenaran…”, Imam Qotadah berkata : Yang termasuk Menyembunyikan kebenaran bisa jadi karena tujuan duniawi yang diinginkan Atau yang kedua karena Jika ilmu itu disampaikan akan membahayakan kemashuran pangkat – jabatan dan atau kedudukannya/ *Atau yang ketiga, takut kehilangan dunianya*
Kemudian ?
Pertanyaannya apakah ada di ZAMAN KIWARI MANUSIA KAWAS KITU?
Sedangkan Zubdathut Tafsir Min Fathil Qadir/Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah dalam kaitan ini mengatakan: Ada dua jenis manusia yang berhubungan dengan ayat ini:
Pertama, orang yang mengamalkan apa-apa yang diperintahkan oleh ayat, dan mereka adalah ahli ilmu, yaitu mereka dari kalangan ‘Ulama ( Ahli/memahami urusan ilmu agama agama dan Drigama ) – dan da’i-da’i penyebar da’wah ; juga Kedua, adalah orang-orang yang menutupi kebenaran dengan kebathilan, mereka tidak membedakan antara satu perkara dengan perkara lainnya Padahal mereka mengerti tentang itu.
(https://tafsirweb.com/334-surat-al-baqarah-ayat-42.html)
Kerancuan dalam membedakan yang benar dari yang salah Adalah problem serius yang ditimbulkan oleh postmodernisme (yang sejak kelahirannya memang sudah membingungkan tokohnya sendiri seperti sudah digambarkan pada pada artikel ke 63 Medio mart 2020).
Setidaknya ada tiga jenis kerancuan: Pertama, nilai instrumental berubah menjadi fundamental; nilai-nilai duniawi yang harusnya instrumental bagi kehidupan akhirat yang hakiki telah bergeser menjadi tujuan hidup; Kedua, tidak ada kebenaran mutlak dan semua kebenaran adalah relatif, termasuk kebenaran Agama, karena hanya merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan duniawi. Ketiga, sebagai akibatnya, kebenaran mutlak menjadi relatif, dan yang relatif menjadi mutlak; disadari atau tidak, nilai-nilai duniawi yang seharusnya relatif telah menjadi mutlak. Maka hierarki kebenaran menjadi kacau.
Karena itulah kita dianjurkan untuk memperbanyak do’a ini, do’a yang disandarkan kepada Khalifah Umar bin Khattab:
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang haq itu benar-benar haq, dan berilah kami hidayah untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah yang batil itu benar-benar batil, dan berilah kami keinginan untuk menjauhinya. Janganlah Engkau jadikan hal itu samar sehingga kami mengikuti hawa nafsu.”
Do’a ini disebutkan juga oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Ihyaa Ulumuddin melalui kitab Takhrij Hadits cetakan Daarul ‘Ishamah yang mengumpulkan tiga tulisan ulama yang mentakhrij hadits-hadits Ihyaa Ulumuddin, yaitu: al-Hafidz al-‘Iroqiy (w. 806 H), Imam as-Subki (w. 771 H) dan asy-Syaikh az-Zubaidiy (w. 1205 H). Imam Ghazali membawakannya dengan lafadz:
اللهم أرني الحق حقاً فأتبعه وأرني المنكر منكراً وارزقني اجتنابه
“Ya Allah, tampakkanlah kepadaku yang benar itu sebuah kebenaran dan berikan petunjuk kepadaku untuk mengikutinya. Tampakkanlah kepadaku yang munkar itu sebuah kemunkaran dan berikan petunjuk kepadaku agar menjauhinya.”
Diskusi
Ada banyak taksonomi yang menjelaskan hierarki nilai/kebenaran. Diantaranya: butir pemikiran Sidi Gazalba (1978) membagi tingkatan nilai mengikuti klasifikasi dalam hukum Islam (Fiqih), yaitu: paling baik (wajib), baik (sunnah), netral (mubah), buruk (makruh), dan paling buruk (haram).
Muhadjir (1996) membuat klasifikasi nilai menjadi Nilai Ilahiyah dan Nilai Insaniyah. Nilai Ilahiyah terbagi dua, yaitu ubudiyah dan mu’amalah. Nilai Insaniyah terdiri atas nilai-nilai rasional, sosial, individual, biofisik, ekonomi, politik dan estetika. Nilai ubudiyah di urutan pertama, nilai muamalah di urutan kedua, dan Semua nilai insaniyah di urutan ketiga.
Nilai Ilahiyah bersifat absolut, nilai insaniyah bersifat relatif.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai itu menunjuk pada arti atau makna yang dikaitkan dengan kegiatan, pengalaman atau hidup pada umumnya. Oleh karena itu nilai menyajikan pedoman untuk bertindak dan bersikap.
Nilai ditentukan oleh penilaian sehingga mengandung unsur subyektif dan obyektif. Sesuatu berharga bagi seseorang karena dianggap baik atau berguna baginya. Penilaian bisa saja salah, untuk itu nilai semestinya berakar dalam sesuatu yang obyektif.
Sistem nilai dalam hidup kehidupan manusia memiliki hierarki, yang terdiri atas: Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis/praktis.
Nilai-nilai yang dikenal oleh manusia selalu memiliki nilai dasar berupa hakikat, esensi, intisari, atau makna luhur – nilai luhur yang teramat dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu. Misalnya , hakikat Allah, manusia, atau makhluk lainnya.
Nilai Instrumental ialah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai instrumental merupakan formulasi serta parameter atau ukuran akan nilai dasar. Nilai instrumental dalam kehidupan manusia sehari-hari menjadi norma moral. (Manusia Bermoral baik/BERADAB) – atau bermoral buruk/BIADAB.pen.)
Nilai instrumental dalam kaitan dengan suatu organisasi apapun namanya organisasi itu adalah merupakan penjabaran suatu arahan kebijakan atau Strategi yang wajib bersumber pada nilai dasar.
Adapun Nilai Praksis/praktis berfungsi menjabarkan secara lebih lanjut nilai instrumental dalam hidup dan kehidupan yang lebih nyata. Nilai praksis/praktis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai instrumental atau dapat dikatakan bahwa nilai praksis/praktis berfungsi sebagai penjabaran dari nilai dasar dan nilai instrumen. Dengan demikian, nilai praksis/praktis dijiwai oleh nilai-nilai dasar dan nilai instrumental.
(https:/sevensixchanel.wordpress.com/2018/03/01/pancasila-sebagai-nilai-dasar-yang-fundamental-bagi-bangsa/)
Konkritnya , sistem nilai adalah khas dimiliki manusia, karena hanya manusia yang mengenal dan menggunakan nilai untuk mengukur kadar dari segala sesuatu yang berhubungan dengan seluruh dimensi kehidupannya
Maka ketika sistem nilai itu diabaikan, sesungguhnya manusia telah kehilangan jati dirinya.
ITU SEBABNYA ADA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
ITU PULA MENJADI PEMBEDA ANTARA MANUSIA DENGAN BINATANG
Inilah hakikat kenestapaan modernisme dilihat dari perspektif hierarki nilai nilai hidup dan kehidupan!
Situasi dan Kondisi seperti itulah yang melahirkan berbagai paradoks dan anomali dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, inklusif di wilayah kehormatan NKRI. (Dadang Hermawan, pendidikan politik kader bangsa th 1987).
والله اعلم
Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in
Awang Dadang Hermawan
*) Pemerhati intelijen, sosial pollitik dan SARA.
————-‐—————
Ditempat ,15Juli
Duaribu 21