Sruputt… Kopi yang sudah dingin pun tetap enak diminum.
Pikirannya kembali teringat pada kejadian awal sebelum tertidur. Ia pun bertanya pada dirinya sendiri kemana perginya orang gila itu?….
“Ke arah barat,” kata sebuah suara besar yang datang dari arah kanan.
Serentak bulukuduknya berdiri. Tubuhnya kali ini benar-benar kaku. Keringat dinginnya lagi-lagi mengucur deras. Ia pun tak berani menengok ke arah suara itu. Gemetar kaki dan seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba bayangan hitam seperti di dalam mimpinya menghampiri tepat di depan wajahnya. Berputar-putar di hadapannya. Semakin mendekat perlahan dan bentuk mukanya sangat menyeramkan. Giginya runcing, matanya membara, rambutnya keras, dan kulitnya terlihat kasar.
“Jangan takut,” kata makhluk di hadapannya itu dengan suara yang nyaris tidak terdengar, sangat pelan, “Aku akan menemanimu,”.
Ilham tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya sangat sulit digerakan. Hanya bola mata yang yang bergerak mengikuti gerakan makhluk hitam itu. Dalam hatinya bertanya makhluk apakah ini?
“Tenangkan dirimu. Aku akan menemanimu ha…ha…ha,” kata makhluk itu lagi.
Tiba-tiba makhluk itu semakin mendekat. Berputar mengelilingi tubuh Ilham.
Keringatnya semakin tidak karuan. Napasnya terasa berat sekali. Perputarannya semakin cepat. Berputar di atas kepala. Dalam sekejap makhluk itu kemudian masuk ke dalam tubuh Ilham.
Serrppttt….. Ngiiiiingg..
Telinganya berdenging kuat sekali. Membuatnya meregang sampai menutup mata rapat-rapat. Tak lama kemudian ia terbangun dengan keringat yang sangat banyak. Napasnya tak beraturan saking paniknya. Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Lengang sekali tak ada teman yang menyaksikan.
Ia berdiam diri sejenak. Mengatur napas. Memikirkan kejadian apa yang baru saja dialaminya. Sungguh membuatnya bingung dan takut. Makhluk apa yang menghampirinya. Ia lalu bergegas menuju kamar mandi. Dibasuhlah wajahnya itu.
Dia kemudian melihat ke cermin. Pucat sekali mukanya. Matanya sayup-sayup. Bibirnya memutih seperti orang sakit. Setelah itu ia bergegas menuju tempat tidur. Segera mungkin ia tidur. Dibalut selimut. Memaksakan diri untuk segera tidur.
Pagi hari badannya menggigil. Ibunya pun heran kenapa sudah hampir pukul enam anak sulungnya belum keluar kamar.
“Ilham, nak, bangun nak, sudah kelewat siang,” kata Ibunya.
Tapi tak ada jawaban. Ibunya lalu mengetuk pintu barangkali Ilham masih tertidur.
“Ilham? Bangun nak,” sambil terus mengetuk pintu lebih keras dari yang pertama.
Tapi tetap tak ada jawaban.
“Ilham, bangun nak sudah siang. Apa kamu libur, Nak?,” tanya Ibunya.
Ketika hendak diketuk lagi terdengarlah suara Ilham sedang menggigil kedinginan.
Seketika itu Ibunya panik. Ibu lalu memanggil Ayah untuk membuka pintu. Tetap tak ada jawaban. Jalan satu-satunya yaitu didobrak oleh Ayah. Sayangnya pintu itu sangat kuat. Ayah sampai terpental karena kekuatan pintu itu. Ibu semakin panik dan bingung harus melakukan apa. Sesekali Ayahnya berteriak memanggil Ilham supaya cepat bangun. Semakin panik, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka sendiri.
Mereka berdua lalu bergegas masuk. Anak sulungnya sudah dalam keadaan sekarat menahan dingin yang teramat dingin. Menggigil seluruh badannya. Mukanya sangat pucat sekali. Ibu kemudian memberikan pertolongan pertama dengan membuat kompres kepala menggunakan handuk hangat. Ayahnya sibuk menelepon teman dokternya. Adiknya juga ikut panik, padahal hari sudah semakin siang untuk segera berangkat ke sekolah.
Dan tak lama kemudian Ilham pingsan.
…..
Dalam kegelapan yang hanya ditemani sunyi dan kehampaan Ilham terbangun oleh suara yang pelan dan lembut.
“Bangun, Nak,” kata suara itu sayup-sayup.
Ilham menengok ke arah sumber suara itu. Cahaya sangat putih kemudiain menghampirinya.
“Si.. siapa kau?,” tanya Ilham terbata-bata.
Mata Ilham silau karena sinar dari bayangan itu sangat terang, “Aku tidak bisa melihatmu. Kau sangat terang sekali,” ujarnya sambil menghalangi pancaran sinar dari bayangan itu.
Cahaya itu pun kian meredup. Betapa terkejutnya Ilham tatkala yang dilihatnya adalah sosok yang sangat dirindukan.
“Ka.. Kakek??,”
“Kemarilah, Nak. Bangun,”
Ilham berusaha untuk bangkit. Ia berusaha meraih uluran tangan sosok Kakeknya tapi tak bisa.
“Ahh.. Be… Berat sekali tubuhku, Kek,” keluhnya.
Ilham pun terus mencoba untuk bangun, meski akhirnya tak kunjung bisa. Dan dalam ketakberdayaan itu Ilham hanya memandang wajah Kakeknya. Sendu dan diliputi dengan perasaan yang bercampur. Yang keluar hanya tangis dan air mata.
Ilham mencoba menyimak semua pesan yang disampaikan Kakeknya. Pesan itu disampaikan dengan suara yang sangat lembut. Pelan, tetapi bergema. Air matanya tak bisa dibendung ketika pesan yang disampaikan Kakeknya itu mengingatkanya pada sebuah kenangan. Dia ingin menangis sekencang mungkin tapi sangat amat sulit. Napasnya pun sulit diatur. Emosi yang berkecamuk membuatnya bernapas terengah-engah.
“Jadilah seorang pemberani, Nak,” kata Sosok itu.
Ilham hanya menangis. Wajahnya ditutup dengan tangan. Ia berusaha untuk bangun.
“Aku ingin memeluk Kakek,”
“Bangunlah, Nak,”
Ilham berusaha sekuat mungkin untuk bangun. Meski sulit dilakukan dan mengeluarkan banyak tenaga tapi dia tak patah arang.
“Ayo, Nak. Bangunlah,” kata Kakeknya mengulurkan tangan.
“Arrgghhh….. Heeuu… Ah…. Heuuuu…..,”
“Ayo, Nak. Sedikit lagi,” ujar Kakeknya tersenyum.
Senyuman itu membuat Ilham makin bersemangat. Tenaganya dikerahkan seluruhnya. Tangannya mencoba menggapai apa yang bisa diraih. Sekuat mungkin berusaha untuk bangun.
Tiba-tiba seberkas cahaya yang sangat terang bersinar di hadapannya. Ia pun terbangun di rumah sakit dengan keadaan tubuh penuh dengan alat medis.
“Syukurlah,” kata Ibunya sambil terus menangis.
Ayah dan Adiknya ikut tersenyum meski air matanya masih membekas.
“Dimana ini, Bu?,” tanya Ilham.
“Tenang, Nak. Tenangkan dirimu sayang,” kata Ibunya sambil mengusap kepala.
Ilham melihat ke sekeliling. Kemana cahaya itu? Kemana sosok Kakeknya?
“Aduh,” kepalanya terasa pening.
Semua yang menyaksikan mendekat dan menghampirinya.
“Kenapa aku dibawa ke rumah sakit, Bu?,” tanya Ilham, “Padahal aku tidak apa-apa,”
Ibunya tersenyum dalam tangis, “Tadi kamu pingsan. Sampai lama tak kunjung bangun, Ilham. Ibu sangat khawatir, Nak,”
“Aku tidak apa-apa, Bu,” katanya mencoba menenangkan. Tapi tubuh yang sedang sakit itu tidak bisa diajak kompromi. Kepalanya kembali terasa sakit. Ternyata Ia tidur begitu lama dan lelap dalam mimpi yang sangat aneh.
“Sudah, Nak. Istirahatkan saja dulu,” kata Ayahnya.
“Aku tidak apa-apa. Aku ingin pulang,” kata Ilham.
“Nanti, Sayang. Nanti dokter akan memeriksamu lagi,”
Bingung sekali rasanya. Kejadian apa yang akhir-akhir ini dialaminya.
Dalam keadaan itu ia mencoba menenangkan diri dengan memejamkan mata. Alat medis masih terpasang. Suaranya mendebarkan hati. Kenapa aku sampai begini?
Waktu menunjukan pukul empat sore. Tak terasa kejadian yang dialaminya berlangsung cukup lama. Dokter pun sudah memeriksanya, dan Ilham diputuskan boleh pulang besok pagi. Asalkan, kondisinya semakin membaik. Ia pun semangat. Keesokannya ia dapat kembali ke rumah.
Setelah berangsur pulih aktivitas Ilham kembali berjalan. Setelah ditinggalkan beberapa hari ia sudah semangat untuk kembali bekerja. Teman sekantornya mengaku rindu. Semuanya menyesal karena tidak datang menjenguk. Kata Ilham tidak apa-apa. Sebab, itu hanya sakit biasa.
Ilham dikenal sebagai sosok cekatan dalam bekerja. Ide-ide kreatifnya kadang muncul dalam suasana terdesak. Terkadang tugas-tugas kantor yang sulit dikerjakan pun dapat dikerjakan dengan begitu cepat dan taktis.
Pernah suatu ketika perusahaannya harus mengumpulkan sejumlah data dan sangat mendadak. Kepala Bagian yang memegang tugas itu mengaku tak sanggup mengerjakannya. Padahal, saat itu waktu sudah pukul setengah delapan malam, sedangkan data itu harus dikirim paling telat pukul delapan malam atau 30 menit dari sekarang. Kebetulan Ilham belum pulang karena sedang membereskan berkas. Atasannya meminta Ilham untuk mengerjakan. Dan setelah diberi gambaran tentang data dan cara mengerjakannya Ilham pun membantunya. Dalam waktu mepet-mepet akhirnya data tersebut bisa terkirim juga. Pulangnya dia ditraktir nasi goreng, termasuk martabak untuk orang di rumah.
Kata Ilham, memang jika kita punya keahlian di bidang lain rasanya menyenangkan bila bisa dipakai untuk membantu orang. Baginya ada kepuasan tersendiri saat membantu orang. Tapi Ia kadang bingung dengan teman satunya lagi. Dia sering berkata bahwa dalam kerja itu jangan sampai menunjukan kemampuan kita.
“Nanti kamu akan diperbudak dan akan disuruh-suruh diluar job desk,” kata temannya itu.
Ilham hanya mengiyakan perkataan temannya itu. Padahal, kata Ilham, harusnya tidak begitu dalam bekerja. Apalagi jika seorang karyawan, sudah menjadi kewajiban harus saling membantu. Jika hanya mengerjakan tugas pribadi saja dan tidak membantu pekerjaan orang lain maka tugas-tugas tentunya akan menumpuk. Maka dengan saling membantu itu tujuan perusahaan akan cepat tercapai. Ilham memandang temannya itu sebagai seorang yang egois.
Beneran. Kata dia. Bahkan pernah suatu waktu teman Egoisnya itu sedang dalam keadaan darurat kerja. Sampai-sampai keringatnya kelihatan membasah di dahinya. Kaya bingung dan khawatir banget kelihatannya. Ketika mendekati waktu pulang dan karyawan lain tengah beres-beres, Si Egois ini masih menatap monitor. Kebingungan. Sibuk. Sampai-sampai kepalanya ditimpakan ke meja. Ketika ditawari bantuan malah menolak. Padahal, kantor tidak mengizinkan karyawan lembur saat itu. Akhirnya ia sendirian hingga larut malam. Esok pagi muka Si Egois itu sangat kusut. Lesu sekali auranya. Ditambah lagi kena omel atasan karena data yang dia kirim error dan tidak bisa terbaca oleh perangkat penerima. Marah besar atasannya saat itu. Itu mungkin kalau egois berdampak begitu. Sudah jatuh tertimpa tangga.
Tempat kerjanya cukup jauh dari rumah. Sekitar 20 menit perjalanan menggunakan angkutan umum. Setelah membereskan meja kerja, ia termenung melihat foto yang terbingkai kayu pinus di samping monitor. Membuatnya rindu momen di foto itu. Momen itu terjadi saat semua keluarganya masih komplit. Ilham pun saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Masih kelihatan anak-anak.
Difoto itu ia berdiri di samping Ayah. Ibunya duduk di depan. Yang paling membuatnya rindu yaitu potret Kakeknya sedang tertawa riang bersama Nenek. Pasangan terbahagia itu sedang duduk di tengah diapit oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Rindu sekali rasanya. Angannya terbang bernostalgia.
“Ham,” kata seseorang yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
Ilham terkejut dan menoleh, “Aduh maaf, Pak,”
“Pagi-pagi sudah melamun. Apa kamu belum pulih?,” tanya Bosnya.
“Hehe sudah Pak. Sudah sangat baik sekarang,”
“Yasudah. Tolong ini siapkan berkas ini. Nanti saya mau rapat. Pukul 10 berangkat,”
“Oh iya, Pak. Baik,”
Huh, mengganggu saja imajinasi. Kata Ilham.
Sebelum waktunya tiba data yang diminta oleh atasan sudah selesai. Ada kabar gembira hari ini. Ini artinya kantor akan Vacum of Power karena atasan akan pergi pukul 10. Semua karyawan selalu bahagia bila bosnya keluar kantor. Bahkan, teman sebelahnya sudah berbisik main catur.
“Sekarang sepertinya bakal sampai sore. Berkas tadi berisi bahan-bahan tentang rapat merger. Pasti lama,” kata Ilham berbisik ke teman sebelahnya.
Cuaca di luar juga cerah. Suasana itu membawa dampak baik ke suasana kantor. Ilham dan kawan-kawan bisa menikmati berbatang-batang rokok di ruangan atas. Memanfaatkan kekosongan kekuasaaan.
“Ayo kita lanjutkan pertandingan yang dulu,” kata temannya lagi.
“Nanti saja. Aku pengen ngerokok dulu. Ini kopi masih agak banyak,”
“Yasudah aku ikut juga. Males banget di ruangan ini,”
Teman Ilham yang satu ini padahal tidak merokok, tapi mau ikut ke ruangan atas yang jelas-jelas dikerubungi asap rokok. Mungkin benar bosan karena semua cowo di ruangan itu sudah pindah ke atas sejak tadi.
Mereka pun beranjak ke atas. Selama menaiki tangga teman sebelahnya menceritakan kejadian selama Ilham tidak masuk kantor. Katanya Bos sering marah ke teman yang egois itu.
“Dia itu keras kepala. Dibantu tidak mau. Tapi pekerjaan sendirinya ngga selesai-selesai,” kata Ilham.
“Yah. Namanya juga orang egois,”
Tiba-tiba orang yang sedang digunjing oleh mereka itu berjalan turun. Beruntung gunjingan yang dibahas sudah usai.
“Weh kemana ni,” kata Si Egois.
“Berjemur. Pengen ngerokok, Mas,” kata teman Ilham. Ilham hanya senyum menanggapi orang itu.
“Yok saya di bawah ya,”
“Mari, Mas,”
Di ruangan atas temannya kembali bercerita. Katanya, akhir-akhir ini sering terjadi kasus yang menurut pandangannya aneh.
“Terakhir kali saja aku membaca berita tentang seseorang yang gemar menimbun barang bekas. Bahkan sampai tidur dengan barang bekas. Aku melihatnya sangat jijik. Membayangkannya pun pengap dan mual. Tapi itu benar-benar terjadi,” kata temannya sambil membuang ludah.
“Menurut ilmu psikologis penyakit itu Hoarding Disorder. Kemarin juga kan ramai di media. Ada tukang ojeg online yang mengalami kelainan itu. Ketahuannya setelah pemilik kos dan tetangga sekitar mendobrak pintu kamarnya karena curiga dengan bau busuk. Yah itu memang menjijikan juga menurutku,” kata teman satu lagi.
“Tapi menurutku ada yang lebih menjijikan,” jawab Ilham singkat.
“Apa itu?,”
“Koruptor,”
Teman-temannya terlihat bingung.
“Koruptor bisa lebih menjijikan dari itu. Demi uang mereka bisa mengejar yang lebih jorok dari Hoarding Disorder. Mereka berdasi, tapi makannya dari uang rakyat kecil,”
Semua diam. Hanya burung walet yang terbang dengan riangnya.
Suara deru kendaraan memecah kesunyian. Obrolan orang-orang di ruangan itu riuh terdengarnya. Ilham dan teman-temannya pun terdiam. Mereka hanya menikmati rokok dan kopi yang mereka bawa.
Koruptor. Kata itu membuat semuanya diam. Tempat kerjanya saat ini sedang diisukan terlibat dalam mega korupsi. Teman-temannya bingung menghadapi kondisi ini. Sebab, mereka tak mau jika terjadi sesuatu dengan pekerjaannya. Kondisi di luaran sedang benar-benar sulit. Banyak karyawan kantor yang di PHK.
Bersambung ~
Penulis : Genta.