SUBANG (MASS) – Terletak di selatan Kuningan, di perbatasan antara kabupaten Kuningan dengan Kabupaten Ciamis dan perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, itulah Desa Pamulihan Kecamatan Subang. Desa yang secara geografis terdiri atas tanah yang berbukit-bukit dan curam serta dilalui dua sungai yaitu Sungai Cisubang dan Cicapar tersebut, memiliki sejarah dan mitos yang unik.
Kepala Desa Pamulihan, Dadi Setiawandi menyebut asal mula nama Pamulihan memang sesuai arti namanya, pulang, balik, kembali, mengacu pada sejarahnya.
“Karena tempat kembalinya pemerintahan setingkat desa ke wilayah Kedaleman Ketug pertama, dan sebagai pusat pemerintahannya,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Rabu (11/12/2019) siang.
Menurutnya, pemindahan kembali pusat pemerintahan ternyata erat juga dengan mitos yang berkembang di masyarakat.
“Mitos ya, kalo pejabat lewat sungai Cisubang itu gak bakal lama menjabat, pasti turun jabatan atau lengser. Makanya beberapa pejabat, dulu gak mau lewat situ kalo mau ke Jatisari (sekarang Jatisari sudah jadi desa tersendiri), tapi ya itu mitos,” terangnya.
Lebih lanjut, pak kuwu yang dikenal masyarakat dengan kumisnya yang nyentrik itu menyarankan untuk melakukan pembacaan secara langsung pada buku sejarah Desa Pamulihan yang disusun beberapa tahun belakangan. Menurutnya, penyusunan buku tersebut merupakan hasil dari penelitian dan pengguaran sejarah yang panjang.
“Sayangnya, buku yang dimaksud tidak kami dapatkan, pembacaan kami terpaksa dilakukan pada teks sejarah singkat desa yang biasanya dibacakan pada hari besar,” ungkap Dadi.
Berbicara tentang sejarah Desa Pamulihan, tentu tidak lepas dari cikal bakal dan awal kehidupan masyarakat Desa Pamulihan yang berasal dari Kedaleman Ketug. Begitulah yang tertulis dalam teks sejarah.
Kedaleman Ketug sendiri merupakan pemerintahan setingkat desa pertama dan tertua diperbukitan Subang. Dahulu pusat pemerintahannya berada di Babakan Ketug, lokasinya berada di sebelah utara kampung Ciketug Desa Pamulihan.
“Buyut Ahim merupakan orang pertama yang mengawali pembukaan hutan tropis di Bukit Ketug yang dijadikan ladang dan pemukiman,” begitu yang tertulis.
Sedangkan selanjutnya, tokoh yang disebut berpengaruh adalah Jabasraga, Dalem Ketug, yang merupakan pemimpin pemerintahan setingkat desa pertama dan tertua di wilayah perbukitan Subang. Selanjutnya, tokoh tersebut menikah dengan keturunan Buyut Ahim, sehingga mempunyai putra yang bernama Wangsapraya, Wangsareka dan Rincik Manik.
“Beliau mempunyai peranan dan jasa yang besar dalam penyebaran agama islam,” tulisnya.
Desa yang kini memiliki motto “Giri Winangun Praja Raharja” tersebut memang ditulis memiliki beberapa kali pemekaran, tentu dengan pusat pemerintahannya.
Sebagai Desa pemekaran Subang (1870), Pamulihan baru memiliki kuwu definitif dimulai dari Bapak Wiradinata atau yang dikenal Kuwu sadjong (1870-1895), hingga kini kuwu Dadi Setiawandi yang sudah di pemerintahan sejak 2010 lalu. (eki)
Beberapa peninggalan sejarahnya masih bisa ditelusuri:
– Makam Wangsapraya,putra sulung Dalem Ketug Jabasraga yang disebut Pasarean Dalem yang berada di Kampung Babakan Ciketug Desa pamulihan.
– Makam Wangsareka putra kedua Dalem Ketug yang disebut Makam Buyut di Kampung Cirahayu desa Subang.
– Makam Wirananggapati dan Rincik Manik di Cibabangsalan Subang.
– Leuweung Gedogan,bekas kandang kuda dan saung ladang jabasraga yang berada di bukit Nagog Kampung Sukamulih dan Sukamulya Pamulihan.
– Leuweung Angker,yang merupakan bekas pintu gerbang masuk ke Kedaleman Ketug dan berada di pinggir jalan menuju Sarangkole dan awal memasuki Bukit Nagog.
– Embak Aryani,merupakan tempat pemandian dilereng Bukit Nagog yang airnya tidak pernah kering walaupun musim kemarau.
– Kampung Babakan Ketug yang merupakan tempat tinggal Jabasraga serta pemukiman sebagian penduduk Kedaleman Ketug.