KUNINGAN (MASS) – Dari zaman Sekolah Dasar, ketika umbel keluar tak beriringan dari sarangnya, Indonesia adalah negara tropis. Memiliki 2 musim: musim kemarau yang cenderung terjadi pada bulan April-September dan musim hujan yang terjadi pada bulan Oktober-Maret. Cuaca di Indonesia pun relatif standar, tak terlalu panas, tak terlalu dingin. Suhu sekitar 24-33℃. Akibatnya, Indonesia memiliki beberapa keuntungan. Bidang pariwisata dengan eksotisme alam yang eksis mendunia, serta memiliki tanah subur hingga tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya. Bisa saja Indonesia adalah negara atlantis yang hilang seperti dawuh Kanjeng Plato.
Tapi tidak dengan nasibnya, hujan yang seharusnya berkah justru menjadi musibah, kemarau panjang justru membuat rugi mabuk kepayang. Hampir semua kejadian itu adalah ulah manusia-manusia budiman di dalamnya: pembabatan hutan secara liar tanpa reboisasi dan sungai menjadi alternatif pembuangan sampah. Berbagai edukasi mengenai isu lingkungan mulai gencar hingga masuk pada tataran akar rumput. Tapi manusia tetaplah manusia, salahdan lupa selalu jadi kambing hitam.
Berawal dari keresahan lalu menjadi sebuah kebosanan karena terus dihantam fenomena semacam ini, ‘kreatifitas’ warga negara mulai tampak. Hebatnya, mereka menciptakan musim baru, musim kampanye. Musim ini terjadi setiap 5 tahun sekali dengan varian atmosfer yang panas dingin.Memangbenar jika musim ini tergolong masih muda, lahir pada tahun 1999 era reformasi. Namun akhir-akhir ini, ‘semakin tua semakin panas’. Mungkin bagi mereka menciptakan musim baru ini lebih menguntungkan, daripada bergelut dengan 2 musim yang lain.
Awalnya, saat musim kampanye tiba banyak partai politik yang sebagai wadah ‘kreatifitas’ masyarakat, mengumbar janji-janji. Salah satu yang paling populer adalah janji mengentaskan kemiskinan. Jika menang, angka kemiskinan dipangkas serendah mungkin, lapangan kerja dibuka seluas-luasnya. Namun jauh panggang dari api, wadah ini lebih sibuk dengan urusan Pilkada, bahkan Pemilu. Sibuk dengan lamaran-lamaran calon RI 1 dan RI 2, calon gubernur hingga walikota. Dalam urusan ini, ketiban kursi dan uang adalah keuntungan. Berebut kursi nyaman di pemerintah, daripada kursi reot di rumah. Sedangkan uang adalah sumber biaya operasional. Kantong partai menjadi tebal, tapi rakyat semakin lapar.
Akibatnya janji yang sebenarnya hanya suatu kepentingan belaka, berimplikasi pada maraknya kasus korupsi. Rakyat dibiarkan menjadi penonton hura-hore yang ikut meramaikan drama yang terjadi, merasa dikhianati. Menonton sinetron Tukang Bubur Naik Haji adalah alternatif kekesalan terhadap berita-berita korupsi. Tapi manusia-manusia budiman tidak berpikir untuk berakhir sampai di sini. Mereka membuat formula baru, bukan lagi janji duniawi, tapi surgawi.
Formula baru ini memakai komposisi yang sangat sederhana, cukup tambahi saja bumbu agama. Karena melihat karakter bangsa kita adalah pejuang yang tumbuh dari ajaran agama. Sebagaimana Johannes Leimena, seorang tokoh nasionalis di kalangan umat kristiani lulusan Ambonschool yang ikut andil dalam mendirikan Partai Kristen Indonesia, ikut menghendaki Republik ini merdeka. Beliau adalah satu-satunya menteri yang menjabat selama 21 tahun berturut-turut dalam 18 kabinet yang berbeda. Tak lupa, Fatwa Resolusi Jihad Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 kian membakar semangat jihad umat Islam dalam menjaga tanah airnya.
Namun komposisi formula ini sangat kontradiktif dengan ruh perjuangan kolektif tersebut. Alih-alih berjuang bersama dalam membangun bangsa yang dimotori ajaran agama, justeru agama dipaksa menjadi cacing sebagai umpan mendapatkan banyak suara. Musim ini mulai panas ketika masuk pada kasus penistaan agama. Kasus ini adalah peluang untuk eksperimen komposisi formula baru. Melalui kekuatan ‘bela agama’, mampu menghimpun jutaan manusia di dalamnya. Sekalipun tersangka mendekam di penjara, ketika kasus korupsi dan penipuan uang calon jamaah haji tejadi lagi, kemanakah jutaan manusia tadi? Satu lagi, apakah termasuk penistaan jika penulis mengatakan bahwa agama mulai dijadikan umpan?
Dalam konstelasi politik nasional, fenomena paling hits saat ini adalah statement dikotomi partai politik: Partai Setan dan Partai Allah. Lucu sekali. Terasa sangat hina jika Tuhan kalah oleh setan, karena setan dan Tuhan dipaksa menjadi rival politik praktis. Implikasi dari fenomena awal ini merambat hingga ke tatanan masyarakat, terutama netizen yang Maha Benar. Perang di media sosial tak terhindarkan. Masyarakat dibuat tegang dengan istilahPKI, kafir, dan semacamnya. Kalimat itu tak disangka-sangka menjadi bahan bakar tersulutnya antar sesama.
Kita kerucutkan menuju skala regional. Di masa-masa kampanye paslon pilkada, wajar saja jika banyak kelompok masyarakat mendeklarasikan diri mendukung paslon tertentu. Namun apa yang terjadi di Kabupaten Kuningan sangat berbeda, bukan lagi dengan bumbu agama. Dikutip dari kuninganmass.com (16/4), aliansimahasiswi se-Kuningan yang tergabung dalam kelompok Gerimis (Gerakan Mahasiswi Sentosa) mendeklarasikan diri mendukung salah satu paslon dari 3 paslon yang ada. Tujuannya adalah karena Sentosa (singkatan salah satu paslon) akan mampu membawa Kuningan menjadi agamis, inovatif dan pro rakyat. Padahal secara tak disadari, ada pengkerdilan nilai social of control dalam diri mahasiswi-mahasiswi cantik ini. Mahasiswa memiliki tanggungjawab intelektual dalam setiap tindakannya: pro rakyat yang independen di atas ideologi, bukan karena tendensi. Tidak salah mendukung paslon tertentu, hanya saja menjual nama mahasiswa sama halnya menjual agama.
Mahasiswa dan agama bukan sebagai alat propaganda untuk oposisi dan meraih kekuasaan. Mahasiswa menjadi agen perubahan dengan menuntun masyarakat pada pesta demokrasi yang bersih, seperti sejarah reformasi. Agama terlalu kecil jika hanya demi oposisi kekuasaan. Jujur, adil, gotong royong merupakan esensi agama yang harus dikontaminasi dalam konstelasi politik tanah air. Selamat datang, musim baru!***
Penulis: Ryan Aldi Nugraha (Warga Desa Sampora, Anggota IPMK Yogyakarta)