KUNINGAN (MASS) – Dalam menghadapi pernyataan dan kritik belasan mahasiswa menyangkut nasib pendidikan, Ketua Komisi IV DPRD, H Ujang Kosasih tampak bersikap tenang. Ia menjelaskan komposisi APBD, hingga mengutarakan kerja kerasnya dalam memperjuangkan anggaran pendidikan.
“Di APBD itu ada belanja langsung (urusan) dan belanja tidak langsung (non urusan). Nah, yang 4 persen itu untuk belanja langsung. Karena yang lebih besarnya untuk belanja tidak langsung,” jelas politisi PKB itu.
Anggaran untuk sector pendidikan tersebut, imbuh dia, tidak hanya dari APBD saja. Bisa bersumber dari APBN, APBD provinsi, CSR dan juga partisipasi masyarakat. Persentase 4 persen itu hanya dari APBD Kuningan saja.
Oleh karena itu, ketika ada informasi sekolah melakukan pungutan di luar aturan maka pihaknya meminta agar segera melaporkan. Komisi IV yang memiliki fungsi pengawasan, sambung Ujang, dipastikan akan menindaklanjutinya.
Sedangkan menjawab hak inisiatif DPRD, dia menjelaskan dewan telah menggulirkan Raperda Budaya. Secara kebetulan H Maman Wijaya yang duduk disamping Ujang, menjadi ketua pansus untuk raperda tersebut.
“Kita ingin yang bermanfaat, makanya hak inisiatif kita pada raperda budaya. Buat apa kita memakai hak inisiatif untuk raperda APBD kalau pada saatnya nanti gak digunakan,” ketus Ujang.
Kendati demikian, perjuangan para wakil rakyat dalam memperhatikan sector pendidikan ini sudah dilakukan. Tahun ini, ungkap Ujang, DPRD berhasil memperjuangkan alokasi dana sebesar Rp3 milyar untuk rehab kelas.
“Ini belum terjadi sebelumnya. Biasanya dana untuk rehab kelas itu dari DAK pusat atau provinsi,” tegasnya diangguki H Badriyanto, politisi dari Golkar.
Kepada para mahasiswa, dirinya menjelaskan APBD Kuningan terbatas. Selain sector pendidikan, masih banyak sector lain yang membutuhkan pengalokasian anggaran. Bahkan pondok pesantren yang notabene lembaga pendidikan pun protes karena belum pernah mendapatkan penganggaran.
Dana Pokir Jadi Solusi
Dalam menguatkan penjelasan Ujang, politisi asal Demokrat Hj Titi H Noorbandah mengatakan, para wakil rakyat telah mewujudkan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. Dicontohkan ketika ada sekolah yang membutuhkan pemagaran maka anggota dewan berjuang lewat pokok-pokok pikiran dewan (pokir).
“Saya sendiri sering mengalaminya. Ketika ada sekolah yang membutuhkan sarana prasarana, kita perjuangkan lewat aspirasi. Dialokasikanlah dari aspirasi yang kita perjuangkan lewat pokir,” ungkapnya.
Lantaran politisi perempuan berkerudung ini sering terjun ke desa-desa, ia membenarkan masih adanya sekolah yang berfasilitas kurang. “Di Gunungmanik, ada sekolah yang ruang kelas 4 menyatu dengan gudang. Tempat belajar itu ada kompornya dan barang lain,” kata Titi.
Hasil terjun ke masyarakat lainnya, Titi juga menjumpai adanya satu sekolah yang hanya punya 2 guru. Itupun guru berstatus honorer semua. Hanya kepseknya saja yang berstatus PNS. Dia tahu betul honor guru tersebut hanya berada dikisaran Rp150 ribu perbulannya. (deden)