KUNINGAN (MASS) – Minggu 3 Desember 2018 menjadi hari bersejarah bagi ummat islam dan bangsa Indonesia. Acara yang bertajuk REUNI AKBAR 212 itu sukses digelar dengan dihadiri jutaan massa dari lintas ormas, lintas agama, lintas komunitas dengan latar belakang yang beragam semua membaur menjadi satu dalam ikatan ke-indonesiaan.
Saya merasa bersyukur bisa hadir di tengah-tengah ummat, turut merasakan kegembiraan, saling menyapa, saling berbagi, saling menasehati dalam indahnya Ukhuwah Islamiyah. Setiap individu yang hadir seolah berlomba ingin menampilkan wajah islam rahmatan lil alamin, bahwa islam itu indah, damai, dan mempersatukan, jauh dari tuduhan radikal, intoleran, tidak pancasilais dan anti NKRI. Ummat islam selama ini berada dalam tekanan, difitnah dengan tuduhan yang beragam, disisi lain banyak ulama yang dipersekusi bahkan diduga dikriminalisasi. Oknum aparat yang semestinya menegakan keadilan seperti terlibat dalam keberpihakan. Keadaan inilah yang mendorong jutaan ummat hadir dalam REUNI 212, mereka kecewa dan marah, tapi tetap mengekpresikan kekecewaannya dengan senyuman, dengan tertib dan penuh kedamaian.
Romantisme Perjuangan
Reuni atau pertemuan ulangan biasa dilakukan demi tujuan menumpahkan kerinduan, betapa rindunya hati akan situasi ketika semua dipertemukan dalam satu ikatan cinta yang tidak akan habis dalam kehidupan. Rindu yang tak akan pernah padam walau dalam gelap penerangan,selalu terngiang dalam ingatan, dan selalu membangkitkan romantisme perjuangan yang tak akan habis diceritakan dalam kata dan tulisan.
Dalam sejarahnya dua tahun lalu, spirit 212 adalah tentang mencari keadilan dan kebenaran dalam kasus penistaan agama yang saat itu tidak ditemukan, kemudian jutaan orang turun ke jalan untuk menyampaikan sikapnya dengan tertib dan damai. Spirit inilah yang kemudian membangkitkan kesadaran dan menjadi sebuah gerakan baru new social movement, soal bagaimana menghargai nilai-nilai kebenaran yang tak akan surut walau dicari cara untuk
dihantam, dibungkam, diremukan bahkan dihancurkan.
Ijtihad Politik
Secara pribadi saya tidak bisa menafikan bahwa Reuni 212 ini tidak sekedar ghiroh keagamaan, tetapi juga erat hubungannya dengan ekspresi politik ummat islam, apalagi Reuni 212 hadir dalam tahun politik. Sehingga kita tidak perlu sibuk mengklarifikasi bahwa Reuni 212 adalah bukan gerakan politik, karena 212 ini lahir sebagai respon atas satu peristiwa politik, dikonsolidasikan sebagai sebuah kekukatan politik, dan ditampilkan sebagai satu pernyataan atau ekspresi politik. Dan itu sah, boleh dilakukan dalam alam demokrasi.
Dalam Reuni 212 kemarin, Gubernur Jakarta bapak Anies Rasyid Baswedan menyampaikan tentang perjalanan satu tahun memimpin Jakarta, satu persatu janji politik dapat ditunaikan, mewujudkan DP 0 rupiah, menutup tempat maksiat, menghentikan reklamasi, itu semua bisa dilakukan tanpa kekerasan, cukup dengan selembar kertas dan tanda tangan. Sehingga kedepan kita tidak lagi menganggap enteng suatu proses politik, karena disitulah tanda tangan dapat menentukan arah kebijakan.
Pesan yang disampaikan pak Anies cukup jelas tentang pentingnya membangun kesadaran ummat dalam berpolitik. Reuni 212 adalah sikap politik ummat islam. Mereka ingin mengatakan kepada publik bahwa ‘suara’ dan ‘aspirasi’ mereka tak bisa disepelekan. Bahwa mereka punya ‘power’. Bahwa mereka ‘signifikan’. Dan menghadirkan massa yang memadati Jakarta adalah festival kolosal agar publik juga elit bisa mengkalkulasi secara adil seberapa besar kekuatan dan signifikansi mereka.
Dengan besarnya massa yang hadir di Reuni 212, ada peluang mengulang peristiwa dua tahun lalu. Saat itu korbannya adalah Ahok yang dianggap kebijakannya tidak pro dan merugikan umat Islam. Reuni 212 kali ini tak menutup kemungkinan juga akan makan korban. Siapa korban berikutnya? Tunggu pilpres 2019.***
Penulis: Abdul Mukti
Alumni STKIP Muhammadiyah Kuningan