KUNINGAN (MASS) – “Rakyat semakin cerdas”, sekarang digaungkan oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan dalam pelaksanaan pemilu, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa pemilih yang cerdas itu seperti apa?
Dapat dijelaskan dalam sebuah contoh yang berhubungan antara pemilu dan isu pembangunan : “Jika suatu jalan desa atau lainnya, yang tadinya berlubang, lalu diaspal menjadi bagus lagi jalan desa itu.”
Isu di atas, sejatinya dalam politik itu artinya, penguasa sedang mencari simpati dan dukungan rakyat desa. Rakyat akan senang dengan pemerintahan yang melakukan pengaspalan.
Namun, dalam hal kepemerintahan adalah suatu kewajiban pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana dapat dipenuhi menjadi lebih baik untuk rakyat, agar distribusi hasil sumber daya alam (SDA) dan produksi tidak terhambat sehingga dapat meningkatnya pendapatan ekonomi masyarakat dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah serta peningkatan devisa negara.
Tetapi dalam tahun sekarang ini sebagai tahun politik, hal di atas dijalankan oleh penguasa tunggal. Kegiatan itu dapat melahirkan kesimpulan oleh publik yang awam, bahwa pemerintahannya adalah yang paling berjasa dalam mewujudkan itu. Sehingga dapat diartikan tidak ada yang mampu untuk melakukan peng-aspal-an selain dirinya dan pemerintah.
Hal di atas, jika dihadapkan adanya dua kekuasaan, maka akan menjadi consern pertarungan mendapatkan perhatian masyarakat oleh kedua penguasa untuk menunjukkan kemampuan dan kepedulian dalam peningkatan pembangunan, pendapatan dan ekonomi masyarakat.
Akan berbeda hasilnya jika ada dua kubu yang mempunyai kesempatan yang sama, dan masyarakat bisa lebih obyektif untuk memilih pemimpin yang capable dan di harapkan. Namun peraturan tidak memperbolehkan adanya dua kepemimpinan. Yang ada hanya posisi/pemerintah dan oposisi.
Kenyataannya, bahwa pemerintahan dijalankan oleh pemenang dalam pemilihan pemimpin, akan melahirkan suatu penilaian tentang kepuasan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan. Kepuasan melahirkan kemenangan kembali petahana, dan ketidakpuasan akan melahirkan kekecewaan. Kekecewaan masyarakat akan melahirkan pula suatu harapan besar dalam pemilihan pemimpin yang baru.
Di sini, menjadi ujian bagi masyarakat bahwa masyarakat dituntut untuk menjadi cerdas dalam pemilihan pemimpin yang akan membawa dampak yang baik kepada kesejahteraan masyarakat. Hal ini harus didukung oleh keaktifan masyarakat dalam menyaring dan mengolah informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pemilih yang cerdas akan melihat suatu calon pemimpin dari segala aspek. Aspek-aspek tersebut yaitu ideologi kepemerintahan, pengalaman individu, hasil kerja/kinerja, aspek ekonomi yang dirasakan langsung masyarakat, visi-misi keadilan yang berkeadilan sosial, visioner ke masa depan, program kerja yang menyentuh langsung ke masyarakat, program kesamaan dalam hukum (equality before the law), kemampuan memberikan jaminan sosial, keamanan, pendidikan dan kesehatan, serta mampu meningkatkan hubungan luar negeri yang secara bebas aktif yang bertujuan menjadi negara maju (presiden).
Maka, pemilih yang cerdas itu tidak terpaku kepada tipe pemilih (rasional, kritis, skeptis dan tradisional). Kemajuan teknologi dan informasi menjadi sarana mempermudah pemilih mendapatkan informasi yang jelas dan akurat terhadap pilihan calon. Ketelitian dibutuhkan untuk secara detail menyaring suatu informasi yang beredar di masyarakat, termasuk dari media massa lokal, nasional dan media sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan, bijaksana  dan kesabaran dalam proses pembuatan keputusan pilihan. Sehingga pada waktunya, pemilih dapat memilih yang tepat sesuai dengan hati nurani, logika dan harapan masyarakat.***
Penulis: Cecep Nana Nasuha (Dosen Unisa Kuningan dan Pemerhati Politik)
