KUNINGAN (MASS) – Jika pengusaha pertokoan Siliwangi tidak diberi fasilitas untuk bongkar muat, sama saja dengan mematikan usaha itu sendiri. Pemda sebaiknya memberi kekhususan kendaraan yang boleh melewati pertokoan jalan Siliwangi, seperti kendaraan khusus untuk bongkar muat produk yang akan didisplay oleh pengusaha pertokoan, kendaraan untuk tujuan jasa pengantaran ke dan dari area pertokoan Siliwangi.
Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan parkir dan kesemrawutan pedagang kaki lima, Pemda sudah menyiapkan lahan bekas SDN 17 dan lahan bekas Pujasera. Kedua lahan ini disiapkan sebagai Pusat Parkir dan Jajanan Kuliner yang menampung parkir kendaraan dan para pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang pertokoan jalan Siliwangi.
Saya pikir Pemda terlalu menyederhanakan persoalan. Pemindahan lahan parkir dan pedagang kaki lima yang bertahun-tahun sudah punya pasar, tidak bisa dilakukan secara mendadak dan dalam waktu singkat, tanpa sosialisasi yang cukup.
Persoalannya tidak sekedar menyediakan tempat penampungan parkir dan para pedagang kali lima. Tapi yang namanya relokasi itu sudah pasti melibatkan aspek ekonomi dan psikososial masyarakat. Seperti, kebiasaan masyarakat yang melewati, berkunjung dan berbelanja di sepanjang pertokoan Siliwangi tidak bisa hanya dinilai secara ekonomis, tapi juga melibatkan aspek psikososial masyarakat yang sudah puluhan tahun membentuk pola hidupnya.
Baca juga : https://kuninganmass.com/penutupan-jalan-siliwangi-eksekusi-kebijakan-tanpa-kajian-part-1/
Pemindahan sebuah komunitas masyarakat yang sudah mapan dan terbangun bertahun-tahun, harus dilakukan secara bertahap. Selain itu, perlu ada kajian komprehensif yang melihat masalah dari berbagai aspek.
Pemindahan dan upaya menciptakan pasar juga harus melibatkan stakeholder yang ada. Bukan hanya pedagang kali lima dan pengusaha yang menempati Pertokoan Siliwangi saja. Tapi melibatkan pemangku kepentingan lainnya, yaitu masyakarat pengguna.
Di beberapa daerah, pengalaman memindahkan komunitas pedagang kali lima yang sudah berdagang puluhan tahun di satu lokasi, prosesnya cukup alot. Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk diskusi dan rembug bersama dengan stakeholder yang ada.
Kepala Daerah dan jajaran terkaitnya akan melakukan pertemuan-pertemuan dengan para stakeholder yang ada, baik untuk diskusi, urun rembug warga, presentasi program, dan lain-lain yang tentunya akan cukup sering dan memakan waktu yang tidak sebentar.
Banyak stakeholder yang bisa dilibatkan, seperti dengan pedagang kaki lima, pengusaha pertokoan, komunitas ojek online, para tukang parkir, warga sekitar di tempat yang lama, warga sekitar di tempat yang baru, aktivis sosial dan komunitas UMKM, dan lain-lain.
Semua dilakukan untuk mencari solusi yang masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak. Pengalaman Kepala Daerah lain menata suatu kawasan bisa menjadi pembelajaran bagi Pemda Kuningan. Pemda Kuningan harus mau menjalankan prosesnya, jangan hanya melihat hasilnya saja.
Bagaimana penataan dan relokasi pedagang kaki lima di Solo, penataan kawasan Kota Tua di Jakarta atau penataan kawasan Tanah Abang sebagai Pasar Terbesar di Asia Tenggara. Berapa lama waktu yang dibutuhkan, siapa saja stakeholder yang dilibatkan, berapa puluh kali diskusi, urun rembug, presentasi yang dilakukan, seperti apa tahapan-tahapan relokasi dan penataan dilakukan.
Terakhir, hal yang harus dicatat dan ini sangat mendasar, Pemda harus mau menjadi pendengar yang baik, bukan menjadi pejabat yang merasa tahu segala persoalan masyarakat, bahkan lebih parah lagi jika Pemda menempatkan diri sebagai pihak yang merasa paling tahu solusi atas apa yang menjadi masalah di masyarakat. Harus ada urun rembug yang melibatkan masyarakat dalam tahapan sebelum eksekusi atas sebuah kebijakan dijalankan. ***
Ikhsan Marzuki
- Inisator Gerakan KITA
- Pelaku UMKM