KUNINGAN (MASS) – Istilah “Agustus Kelabu” muncul, ketika rakyat Indonesia tengah memperingati 80 kemerdekaan negaranya, namun di akhir Agustus 2025 berubah, Indonesia diguncang demonstrasi besar yang akan tercatat dalam sejarah ketika ribuan mahasiswa dan pekerja turun ke jalan menolak kenaikan tunjangan DPR yang dianggap tidak masuk akal di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Aksi aspiratif itu meluas menjadi kerusuhan, bentrokan, perusakan dan penjarahan di berbagai kota. Diberitakan setidaknya 10 orang meninggal dan puluhan hingga ratusan yang celaka.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD dalam tayangan YouTube Mahfud MD Official, dikutip Selasa (2/9/2025), menilai demonstrasi besar yang terjadi itu merupakan bentuk protes organik dari masyarakat terhadap berbagai persoalan yang belum terselesaikan pemerintah. Namun, sayangnya, demonstrasi tersebut berakhir ditunggangi perusuh dan ada beberapa kasus hukum tak tuntas jadi pemicu kericuhan, seperti soal Silfester hingga pagar laut. (Kompas.com, 3 September 2025, 07:38 WIB)
Sementara menurut Rocky Gerung, apa yang terjadi di jalanan bukanlah kemarahan sesaat. Ini adalah sebuah ledakan yang tak terhindarkan dari akumulasi frustrasi publik yang telah terpendam selama sepuluh tahun terakhir di bawah rezim pemerintahan sebelumnya.
Tragedi yang menimpa Afan Kurniawan menjadi percikan api yang menyulut bom waktu tersebut, melepaskan kemarahan yang selama ini mencari muaranya. Di tengah situasi yang genting, Rocky Gerung menyoroti adanya potensi bahaya lain, yaitu persaingan elit yang mungkin menunggangi kemarahan murni publik untuk kepentingan politik pragmatis.
Menurut prediksi Rocky Gerung, dalam podcast Hersubeno Arief, Jumat, 8 Agustus 2025, pemerintahan Presiden Prabowo akan melakukan perombakan susunan kabinet Merah Putih setelah HUT RI yang jatuh pada 17 Agustus 2025. Melalui skema ‘radical break’, Prabowo diyakini akan melakukan pembenahan susunan kabinet secara kualitas dengan cara memangkas menteri “warisan” pemerintahan sebelumnya, dalam hal ini orang-orang dekat Joko Widodo.
Sejalan dengan Rocky Gerung, Lili Yan Ing, salah seorang inisiator Aliansi Ekonom Indonesia yang mewadahi 383 ekonom dan 283 pemerhati ekonomi, dalam acara Konferensi Pers Desakan Aliansi Ekonom Indonesia secara virtual, Selasa (9/9/2025), mendesak Pemerintah segera mengambil langkah untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia yang dinilai berada dalam kondisi darurat. “Situasi ini datang bukanlah tiba-tiba, yang terjadi merupakan akumulasi hasil dari kebijakan ekonomi, proses pembuatan keputusan, dan praktik bernegara yang jauh dari amanah,” (detikfinance, Rabu, 10 Sep 2025 07:30 WIB)
Dalam kesempatan lain, Presidium Koalisi Aliansi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo saat menjadi pembicara kunci dalam acara Reuni 5 Tahun KAMI di Yogyakarta, Senin, 18 Agustus 2025 malam, mengisyaratkan, ada gerakan terencana dari dalam Istana Negara sedang mencari cara memakzulkan Prabowo yang baru berkuasa sepuluh bulan, dimana ada beberapa kasus memperlihatkan indikasi kuat ke arah pemakzulan.
Kasus² yang disebutkan oleh Gatot Nurmantyo yang terkait kepentingan konsumen adalah : temuan pagar laut di Tangerang yang membatasi ruang lingkup nelayan sehingga persediaan ikan terbatas, Presiden Prabowo menginstruksikan untuk dibongkar. Menteri Keuangan Sri Mulyani memunculkan wacana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 yang dirubah oleh Presiden Prabowo bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
Kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia soal distribusi gas melon yang membuat rakyat mengantre sampai ada yang meninggal, dan kembali Presiden Prabowo turun tangan membatalkan kebijakan Bahlil. Terakhir, kebijakan pemblokiran rekening ‘nganggur’ selama tiga bulan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir 122 rekening, juga dibatalkan oleh Presiden.
Pertanyaannya, apakah ada kaitan antara eskalasi konflik politik saat ini dengan perlindungan konsumen (perubahan arah politik hukum perlindungan konsumen) ?
Kaitan antara perlindungan konsumen dengan politik dapat dilihat dari sejarah dan filosofi penting dibaliknya. Hak-hak dasar umum (hak asasi) konsumen diakui secara internasional ketika pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), melalui pidatonya dihadapan Kongres AS pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan “Declaration of Consumer Right”.
Presiden Prabowo sendiri dalam pidato kenegaraan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (15/8/2025) menyinggung soal perlindungan konsumen. Presiden menyebutkan : “Untuk melindungi konsumen Indonesia, Pemerintah yang saya pimpin akan selalu mewaspadai kecurangan-kecurangan, manipulasi, penipuan, upaya penimbunan dan menahan distribusi bahan pangan. Pemerintah yang saya pimpin tidak akan ragu-ragu: Kami akan selalu tegas pada mereka yang melanggar aturan, mempersulit kehidupan rakyat.”
Sedangkan Soediman Kartohadiprodjo menyebutkan, politik hukum adalah pemikiran yang menjadi dasar campur tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya (eksekutif, legislatif, yudikatif) pada hukum dalam hal pelaksanaan hukum, perkembangan hukum dan penciptaan hukum. (Soediman Kartohadiprodjo, 1984 : 210-211). Politik Hukum dimaksud dalam kajian ini adalah Politik Hukum Perlindungan Konsumen.
Dilihat dari perspektif Politik Hukum Perlindungan Konsumen, kasus² yang dikemukakan Gatot Nurmantyo di atas sebagian besar terkait langsung dengan kebutuhan pokok konsumen. Tentu masih cukup banyak bentuk/praktek² Politik Hukum Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kebutuhan hajat hidup rakyat yang merugikan/menyengsarakan konsumen.
Kasus pertamax oplosan, beras oplosan, minyak goreng dan gas elpiji tidak sesuai takaran, pupuk & oli palsu, tarif listrik, tarif jalan tol, kenaikan uang kuliah tunggal, pungutan Tapera, biaya haji/umroh, masker/obat/vaksin/alkes masa Covid, dan kasus² korupsi di BUMN terutama yang menyangkut komoditas publik (lihat ‘Liga Korupsi Indonesia’ dan ‘penghargaan’ OCCRP kepada mantan presiden RI ke-7), sementara gelombang PHK massal terus terjadi diantaranya akibat kebijakan efisiensi anggaran yang menambah beban sosial cukup pelik.
Perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan manusia/kemanusiaan, oleh karena itu menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia termasuk para pendiri bangsa Indonesia sejak kemerdekaan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat melalui upaya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum bagi konsumen.
Hal ini dapat dilihat dari Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang menyatakan kesejahteraan diwujudkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Tentu kita tau bahwa kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu adalah terpenuhinya segala kebutuhan dasar rakyat, termasuk ketersediaan dan harga kebutuhan pokok yang terjangkau konsumen, terutama konsumen level bawah dan menengah.
Tidak sedikit berbagai komponen masyarakat seperti pakar, tokoh masyarakat, budayawan, purnawirawan TNI, kalangan kampus dll mengkritik/memprotes melalui media sosial maupun pernyataan terbuka lewat konfrensi pers, seminar atau unjuk rasa tentang praktek bernegara yang mengabaikan kesejahteraan/kepentingan rakyat, namun semua itu diabaikan bak ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’, sehingga terakumulasi pada prahara Agustus.
Di sisi lain, tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat itu dihambat oleh kelompok yang sejak sepuluh tahun lalu mempertahankan status quo nya (“serakahnomics”). Bahkan sejak diprosesnya geng solo/termul yang terkait korupsi, hingga diberikannya amnesti kepada Hasto Kristyanto dan abolisi kepada Tom Lembong, terasa adanya reaksi perlawan yang kuat terhadap pemerintah Prabowo yang tengah membenahi nasib konsumen ke arah kesejahteraan rakyat, perlawanan itu terlihat dalam demo Agustus kelabu dan terakhir reaksi terhadap reshuffle kabinet atas 5 menteri menambah reaksi dari kubu sebelah makin tampak berang melalui komentar² para termul dan ini sebagai bukti mempertahankan status quo dan melindungi/menutupi dosa²nya yang telah mereka lakukan. Mereka telah siap menabuh ‘genderang perang’.
Karena kalau mereka diam/tidak melawan maka kejahatan yang telah dilakukannya akan dibersihkan oleh Prabowo. Dalam kondisi ini teringat istilah yang diungkapkan Mantan Menkomarinves, Luhut Binsar Pandjaitan saat memberikan paparan pada Rapat Koordinasi Nasional Investasi di Jakarta pada Rabu, 30 November 2022, yang ditulis Tempo.co, 2 Desember 2022 | 19.51 WIB, sempat menyinggungnya istilah membunuh atau dibunuh atau ‘kill or to be killed’. Ia mengatakan “Karena latar belakang saya tentara, buat saya ada satu titik, ‘to kill or to be killed’ (dibunuh atau terbunuh). Jadi nggak bisa main-main.”
Terkait fenomena ini, agaknya relevan pernyataan SBY (yang juga mantan tentara), pada Perayaan HUT ke-24 Partai Demokrat yang digelar di DPP Partai Demokrat, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/9/2025). SBY melukis sebuah kapal di tengah lautan yang dia beri nama ‘Only The Strong’. “So, mari kita menjadi the strong dan ketika menghadap tantangan jangan takut, jangan gamang, jangan menyerah, dengan keberanian, kebersamaan, dan kepemimpinan, Insyaallah akan berhasil,” ujarnya.(detikNews, Rabu, 10 Sep 2025 07:44 WIB)
Mengikuti pendapat para tokoh khususnya para mantan tentara dan alur logika di atas, demi untuk membela kepentingan rakyat sebagai konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak ada pilihan lain prinsip ‘kill or be killed’ mau tidak mau harus dijalankan oleh Presiden Prabowo (yang pasti paham konsep ‘kill or be killed’), melalui langkah tegas dan presisi.
Untuk membersihkan kejahatan dan dosa-dosa mereka, seluruh rakyat harus mendukung dan berada dibelakang Presiden Prabowo, sehingga pasca demo ‘Agustus Kelabu’ ada ‘radicalbreak’ untuk merubah arah politik hukum perlindungan konsumen yang berbasis pada ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Penulis : Dr. Firman Turmantara End, SH., S.Sos., M.Hum Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023).
