KUNINGAN (MASS) – Puasa, dalam tradisi Islam, lebih dari sekadar ibadah fisik. Ia adalah cerminan ketaatan, kesabaran, dan perjuangan spiritual yang mendalam. Dalam Al-Quran, terdapat dua istilah yang digunakan untuk merujuk pada konsep menahan diri, yaitu shiyam dan shaum. Meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama, shiyam lebih menitikberatkan pada pelaksanaan ibadah puasa yang diatur secara hukum fikih, sedangkan shaum memiliki cakupan yang lebih luas, mencakup pengendalian diri dalam seluruh aspek kehidupan.
Perintah puasa yang tertuang dalam Surah Al-Baqarah [2:183] menegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang ditujukan untuk mencapai taqwa. Namun, taqwa ini bukan sekadar kepatuhan lahiriah terhadap aturan, melainkan sebuah transformasi batiniah menuju kesadaran penuh bahwa Allah adalah pusat kehidupan. Dalam konteks ini, shiyam menjadi tahap pertama yang diukur oleh fikih, sedangkan shaum adalah tujuan akhir yang melibatkan dimensi spiritual lebih tinggi. Artinya, puasa bukan hanya soal tidak makan dan minum, tetapi juga soal menahan diri dari segala bentuk keburukan.
Menariknya, dalam Surah Maryam [19:26], Sayyidah Maryam a.s. diperintahkan untuk melakukan shaum, bukan dalam pengertian menahan makan dan minum, melainkan menahan diri dari berbicara. Pengendalian ini bukanlah sekadar sikap diam, tetapi sebuah pernyataan kepasrahan penuh kepada Allah. Shaum menjadi sarana untuk menyucikan hati, sebagaimana puasa pada umumnya menjadi medan perjuangan melawan hawa nafsu, yang oleh para sufi disebut sebagai jihad al-akbar (perjuangan terbesar).
Dalam pandangan tasawuf, puasa adalah salah satu jalan untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Melalui puasa, seorang hamba dilatih untuk melemahkan dominasi nafs al-ammara (hawa nafsu yang mengajak pada keburukan) dan menguatkan nafs al-lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan), sehingga pada akhirnya mencapai nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang dan ridha kepada Allah). Ini sejalan dengan hadits qudsi: “As-shaumu lii wa ana ajzi bihi” (Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya). Hadis ini mempertegas bahwa puasa adalah ibadah yang sangat pribadi, karena tidak ada yang benar-benar mengetahui kualitas puasa seseorang selain Allah.
Namun, di balik keistimewaan ibadah puasa, muncul sebuah pertanyaan : Apakah puasa kita hanya sebatas shiyam yang mematuhi syarat-syarat fikih, atau telah mencapai shaum, yang mencakup pengendalian diri secara menyeluruh? Puasa yang ideal bukanlah sekadar kewajiban syariat yang dipenuhi, tetapi juga bentuk pelatihan jiwa yang menanamkan kesabaran, keikhlasan, dan cinta kepada Allah. Dalam konteks kehidupan modern yang penuh distraksi, puasa mengajarkan kita untuk kembali pada kesederhanaan, menata ulang prioritas, dan memusatkan perhatian pada nilai-nilai spiritual.
Ramadan, bulan di mana puasa diwajibkan, adalah momentum penting untuk memulai perjalanan spiritual ini. Ia menjadi bulan penyucian, tidak hanya untuk tubuh, tetapi juga hati dan pikiran. Dalam pelaksanaannya, umat Islam diajak untuk mentransformasikan Ramadan dari sekadar rutinitas fisik menjadi festival spiritual yang membawa perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari, bahkan setelah Ramadan berlalu.
Puasa adalah undangan untuk melihat kehidupan dengan cara yang baru, menjauhkan diri dari keduniawian, dan mendekatkan diri kepada Allah. Shiyam memberikan kerangka lahiriah, tetapi shaum adalah jiwanya. Sebuah pertanyaan penting untuk direnungkan: Apakah puasa kita telah mengintegrasikan keduanya?
Puasa bukan sekadar kewajiban, melainkan perjalanan jiwa menuju cinta dan pengabdian sejati kepada Sang Pencipta. Saat kita mampu menjadikan shiyam sebagai pondasi dan shaum sebagai esensi, kita akan memahami mengapa puasa disebut-sebut sebagai ibadah yang istimewa, untuk Allah, dan dari Allah. Semoga Ramadan kali ini, kita tidak hanya menjalani puasa, tetapi juga menemukan makna terdalamnya.
Oleh: Ali Khowas Abdul Basith, M.H.
Imam Masjid Al-Ikhlas, Puncak Cigugur
