KUNINGAN (MASS) – Cihirup terletak di sudut paling timur Kecamatan Ciawigebang. Desa tersebut menyimpan kisah menarik dan budaya yang kaya. Tidak hanya dikenal sebagai pusat pertanian, tetapi juga menyimpan sejarah yang unik dan tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan.
Asal-usul nama Cihirup diambil dari sebuah sumur yang tak pernah kering, melambangkan kehidupan yang berkelanjutan. Sejak zaman Buyut Maskar, penggagas nama Desa Cihirup pada tahun 1822, masyarakat setempat telah memanfaatkan air dari sumur ini untuk pertanian, terutama untuk menanam padi dan palawija.
Nama “Cihirup” yang terdiri dari “Ci” yang berarti air dan “Hirup” yang berarti hidup, mencerminkan hubungan erat antara masyarakat dan sumber daya alam di sekitarnya.
Tercatat susunan kepemimpinan atau kuwu Desa Cihirup adalah sebagai berikut :
- Buyut Maskar (alm) (1822-1831) Masa Bhakti 9 tahun
- Buyut Nasimun (alm) (1831-1839) Masa Bhakti 8 tahun
- Buyut Manisem (alm) (1839-1856) Masa Bhakti 9 tahun
- Bapak Surawinata (alm) (1856-1905) Masa Bhakti 49 tahun
- Bapak H. Hasantajali (alm) (1905-1942) Masa Bhakti 37 tahun
- Bapak Wijaya Atmaja (alm) (1942-1958) Masa Bhakti 15 tahun
- Bapak Moh. Dasuki (alm) (1958-1967) Masa Bhakti 9 tahun
- Bapak Subrata (1967-1978) Masa Bhakti 19 tahun
- Bapak H.W. Syahrudin (alm) (1979-1998) Masa Bhakti 19 tahun
- Bapak H. Royana (1999-2013) Masa Bhakti 14 tahun
- Bapak Kenda Rosada (2013 – 2019) Masa Bhakti 6 tahun
- Ibu Lina Herlina (2019 – Sekarang)
Sejarah kepemimpinan desa ini juga mencerminkan transformasi sosial dan budaya. Dari Buyut Maskar hingga Ibu Lina Herlina sebagai kuwu terkini, setiap pemimpin telah menyumbangkan jejak mereka dalam membangun Desa Cihirup. Di bawah kepemimpinan Ibu Lina, harapan baru untuk memajukan desa berparadigma modern muncul, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional.
Satu peristiwa menarik yang tidak boleh dilewatkan adalah Pasar Rebo, yang dikenal juga sebagai Pasar Siluman. Disebut pasar siluman bukan karena hal mistis, melainkan karena beroperasi pada malam hari yakni setiap malam Rabu dan telah berdiri sejak tahun 1822.
Dikenal sebagai pasar pertama di “Kota Kuda”, tradisi dagang ini tidak sekadar menjadi tempat transaksi ekonomi, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal yang sarat dengan kepercayaan masyarakat. Dulu, para pedagang percaya bahwa menghitung hasil dengan benar akan menghasilkan panen yang baik, sebuah legenda yang terus hidup hingga saat ini.
Desa Cihirup juga kaya dengan tradisi dan upacara yang mengikat komunitasnya. Di antara tradisi tersebut, tatarekah atau sabumi, yang dilaksanakan sebelum masa tanam, dan Mapag Sri saat panen, memperlihatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Sebagaimana tradisi tatarekah atau sabumi yang baru saja dilaksanakan pada 22 Oktober 2024. Tak hanya itu, budaya kesenian seperti degung, calung, dan angklung semakin menguatkan jati diri Desa Cihirup, terlihat dalam pagelaran yang baru saja berlangsung saat perayaan kemerdekaan 17 Agustus 2024 kemarin.
Dalam upaya menjaga kesehatan masyarakat, fasilitas seperti Posyandu dan Ambulans Desa telah dibangun. Rencana untuk menghadirkan Posyandu remaja oleh Karang Taruna menunjukkan langkah positif untuk mendukung generasi muda dan meningkatkan kesehatan di wilayah tersebut.
Lina Herlina, kuwu saat ini, berharap agar Desa Cihirup dapat terus berkembang dan generasi penerusnya tetap berpegang pada etika dan moral. Ia juga berharap para remaja di wilayahnya bijak menggunakan teknologi dan terhindar dari pengaruh negatif.
Melalui sejarah dan tradisi yang kaya, Desa Cihirup menunjukkan bahwa meskipun terletak di pinggiran, semangat masyarakatnya untuk melestarikan budaya dan mengoptimalkan potensi alam tetap menjadi tonggak penting bagi masa depan yang lebih baik.
Mari kita jaga dan lestarikan warisan ini, agar Desa Cihirup tetap menjadi surga bagi generasi-generasi mendatang.
Penulis : Winda Sri Romlah – Mahasiswi Prodi KPI Unisa Kuningan