KUNINGAN (MASS) – Kekerasan seksual yang terungkap ke permukaan banyak terjadi di Kuningan akhir-akhir ini. Terakhir adalah kasus (pemerkosaan anak di bawah umur) yang dua pelakunya merupakan kakak beradik. Menurut informasi yang reporter dapatkan dari warga sekitar lokasi kejadian, pelaku adalah anak dari seorang pemuka agama yang dihormati di lingkungannya.
Baca : https://kuninganmass.com/gilir-anak-dibawah-umur-dua-kakak-beradik-mendekam-di-balik-jeruji/
Berdasarkan informasi dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kuningan, pada tahun 2022 terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sudah ditangani, 18 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Konselor UPTD PPA Kuningan Indah Wulansari menegaskan bahwa latar belakang pelaku kekerasan seksual tidak ada kaitannya dengan tindak kekerasan yang dilakukannya. Pada kasus terakhir misalnya, pelaku merupakan anak seorang pemuka agama dan tempat terjadinya kekerasan berada di tempat belajar agama. Menurut Indah, hal tersebut tidak ada kaitannya.
“Hal seperti itu (kekerasan seksual) kembali lagi ke personalnya ya, pribadi. Terus adanya kesempatan,” kata Indah saat diwawancarai di kantornya pada Kamis (18/8/2022).
Kekerasan seksual menurutnya bisa dilakukan oleh siapa saja dari latar belakang apa saja, semuanya tergantung kepada moral pribadi masing-masing.
“Itu masalah pribadi, tidak membawa tempat ngajinya. Kalo memang akhlaknya kuat ya mungkin tidak terjadi kan ya. Yang anak guru ngaji, yang didikan pesantren segala macem, kalo memang ada dorongan ya mau tidak mau. Keimanan (masing-masing) kembalinya,” kata Indah.
Pandangan seperti ini juga dikonfirmasi oleh Kepala UPTD PPA Kuningan dr. Yanuar Firdaus. Sepakat dengan Indah, menurutnya kasus kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapapun dan di manapun selagi ada kesempatan.
“Dari zaman dulu sampe sekarang ada baik buruk, hitam putih. Jadi untuk kasus-kasus seperti kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, kemungkinan terjadi selalu ada, selagi ada peluang dan niat,” kata dr. Yanuar saat diwawancarai secara bersamaan di kantornya, Kamis (18/8/2022).
Akar dari Kekerasan Seksual adalah Ketimpangan Relasi Kuasa
Dea Safira, penulis isu-isu feminisme, mengatakan kekerasan seksual bukan semata-mata moral pribadi. Jadi, ada kaitannya dengan latar belakang pelaku. Misalnya, pelaku yang merupakan anak seorang pemuka agama, memanfaatkan status atau kekuasaannya untuk melakukan kekerasan seksual. Kekerasan seksual selalu terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa.
“Kekerasan seksual bukan semata-mata urusan moral pribadi. Ada budaya-budaya yang melanggengkan itu terjadi. Awalnya memang dari relasi kuasa yang timpang,” jelas Dea saat dihubungi pada Senin (22/8/2022).
“Dengan menunjukkan kekuasaannya, ia (pelaku) memaksakan seseorang, ia melakukan kekerasan seksual,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh penulis isu-isu feminisme lain, Kalis Mardiasih, ketika mengomentari kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren-pesantren. Menurut Kalis, kasus kekerasan seksual di pesantren adalah bukti yang sangat jelas bahwa akar dari kekerasan seksual adalah ketimpangan relasi kuasa.
“Ini bukti relasi kuasa dari pemimpin pesantren yang dianggap suci dan relasi ekonomi yang menghidupkan masyarakat sekitar. Ini yang mengakibatkan korban posisinya semakin rentan dan tidak dipercaya,” katanya, dilansir dari (Tirto).
Kekerasan seksual bukanlah perkara nafsu seksual. Seks hanyalah alat untuk melakukan kekerasan seksual, pelaku memaksakan kuasa yang dimilikinya untuk membuat korban tidak berdaya. Seperti yang ditulis oleh Jill Filipovic dalam artikelnya di (The Guardian).
Jill Filipovic menunjukkan di dalam masyarakat dengan posisi perempuan sebagai warga negara kelas dua, ketika tubuh perempuan dipolitisasi (baca: diatur harus bagaimana), dan mengasumsikan bahwa kuasa laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan, kekerasan seksual marak terjadi. Dari relasa kuasa yang tidak setara inilah, muncul kekerasan seksual. (asep/mgg)