KUNINGAN (MASS) – Pengenaan pajak untuk kegiatan membangun rumah sendiri, yang dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS), telah menjadi perbincangan hangat.
Rencana kenaikan tarif PPN KMS dari 2,2% menjadi 2,4% pada tahun 2025, sejalan dengan peningkatan tarif PPN umum dari 11% menjadi 12%, menimbulkan kritik dari berbagai kalangan.
Kebijakan ini dianggap tidak sejalan dengan prinsip keadilan, terutama ketika membahas bagaimana pajak tersebut akan berdampak pada masyarakat kelas menengah dan bawah. Dalam perspektif kebijakan publik, kebijakan ini haruslah dievaluasi secara mendalam untuk memastikan penerapannya benar-benar adil dan efektif.
Menyasar Masyarakat Kaya Secara Efektif
Salah satu alasan pemerintah memberlakukan PPN KMS adalah untuk menciptakan keadilan antara masyarakat yang membangun rumah dengan bantuan kontraktor dan mereka yang membangun rumah sendiri. Namun, kebijakan ini justru berpotensi membebani kelompok masyarakat yang bukan menjadi target utamanya. Kriteria yang digunakan untuk mengenakan pajak, seperti luas bangunan minimal 200 meter persegi, mungkin dianggap sebagai indikator kemewahan. Namun, dalam praktiknya, tidak semua rumah dengan luas tersebut dibangun oleh orang kaya.
Di berbagai daerah, terutama di pedesaan atau pinggiran kota, membangun rumah dengan luas di atas 200 meter persegi bisa jadi merupakan kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Banyak masyarakat menengah dengan keluarga besar atau kebutuhan spesifik yang memerlukan rumah dengan luas tertentu. Ketika mereka membangun rumah sendiri karena keterbatasan anggaran untuk menyewa kontraktor, pengenaan pajak ini justru akan memperberat beban finansial mereka.
Jika tujuan pemerintah adalah untuk menargetkan masyarakat kaya, kebijakan ini perlu disesuaikan. Fokus seharusnya pada rumah-rumah mewah dengan nilai tertentu, bukan sekadar luas bangunan. Misalnya, menetapkan pajak berdasarkan nilai rumah atau properti, sehingga lebih tepat sasaran dan tidak membebani masyarakat yang membangun rumah sederhana. Selain itu, rumah dengan nilai di atas standar kemewahan tertentu yang dimiliki oleh orang kaya bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi, sementara masyarakat dengan rumah di bawah nilai tersebut dapat dikecualikan.
Fokus pada Pembenahan Sektor Properti
Alih-alih meningkatkan pajak pada masyarakat yang membangun rumah sendiri, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pembenahan sektor properti secara keseluruhan. Harga properti yang terus melambung tinggi selama beberapa tahun terakhir menjadi salah satu penyebab sulitnya masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk memiliki rumah. Pemerintah seharusnya mengendalikan harga properti dengan menciptakan kebijakan yang mendorong pembangunan perumahan rakyat dan memperbanyak stok rumah bersubsidi.
Sektor properti masih didominasi oleh pengembang besar yang sering kali menetapkan harga tinggi demi keuntungan maksimal. Dalam konteks ini, pemerintah memiliki peran penting untuk mengintervensi pasar properti guna memastikan harga rumah tetap terjangkau bagi masyarakat luas.
Program perumahan rakyat seperti pembangunan rumah susun murah atau subsidi untuk rumah tapak perlu diperluas, bukan hanya terbatas pada segmen tertentu. Dengan langkah ini, pemerintah dapat lebih efektif membantu masyarakat dalam memiliki rumah tanpa harus memberlakukan pajak tambahan yang justru bisa menghambat mereka.
Manfaatkan Pajak Properti Lain
Kenaikan tarif PPN KMS juga dinilai kurang tepat karena ada potensi lain dalam penerimaan pajak properti yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemerintah. Pajak properti lain seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) bisa menjadi instrumen yang lebih efektif untuk menyasar masyarakat kaya tanpa membebani masyarakat yang sedang berjuang untuk membangun rumah pertama mereka.
Pajak atas properti komersial, misalnya, bisa ditingkatkan dengan menerapkan tarif progresif yang lebih tinggi bagi bangunan dengan nilai pasar tertentu. Dengan cara ini, penerimaan negara dapat dioptimalkan dari sektor yang memiliki daya bayar lebih tinggi tanpa harus mempersulit masyarakat umum. Selain itu, pemerintah bisa meningkatkan pengawasan terhadap penghindaran pajak di sektor properti dan menertibkan spekulasi lahan yang sering kali menyebabkan harga properti melonjak.
Kenaikan PPN KMS menjadi 2,4% pada tahun 2025, bila dilihat dalam perspektif kebijakan publik, belum tentu merupakan langkah yang adil dan tepat sasaran. Kebijakan ini memiliki risiko memberatkan kelompok masyarakat menengah dan bawah yang sedang berusaha membangun rumah dengan biaya sendiri.
Untuk menciptakan keadilan, pemerintah perlu menyasar masyarakat kaya secara efektif melalui instrumen pajak yang lebih tepat, seperti PBB dan PPnBM, serta berfokus pada pembenahan sektor properti dengan menstabilkan harga rumah.
Dengan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berfokus pada kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih besar, keadilan dalam pengenaan pajak bisa tercapai. Selain itu, pemerintah juga perlu memperluas program perumahan rakyat dan subsidi pembiayaan untuk masyarakat berpenghasilan rendah agar mereka dapat memiliki akses yang lebih mudah ke hunian yang layak.***
Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)