KUNINGAN (MASS) – Setengah dekade terakhir Indonesia mengalami dinamika politik yang makin hari tak dapat dibendung. Hal ini diakibatkan kencangnya polarisasi politik dalam kehidupan sosial masyarakat.
Polarisasi dapat terlihat bagaimana setiap orang mudah melabelisasi ketika orang menyuarakan pendapatnya.
Ketika saya menyuarakan pendapat X yang kontra dengan pemerintah misalnya, langsung saya akan dilabeli sebagai anti pemerintah atau sebutan kampret begitupun sebaliknya jika pernyataan saya pro pemerintah saya akan dicap cebong.
Sebutan kampret dan cebong ramai diperbincangkan pasca pemilu 2019 yang menempatkan 2 calon presiden dan wakil presiden yaitu pasangan Jokowi Maruf dan Prabowo Sandi.
Pendukung Prabowo menyebut cebong pada pendukung Jokowi sebaliknya pendukung Jokowi menyebut kampret pada pendukung Prabowo.
Fenomena awal polarisasi dapat dilihat dari kilas balik pemilu DKI Jakarta 2017 bagaimana salah satu calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal Ahok melontarkan pernyataan yang dinilai menyinggung Agama.
Ahok yang notabennya didukung oleh partai nasionalis berupaya untuk meredam isu-isu tersebut.
Namun panasnya pilkada DKI 2017 tidak dapat membendung karena rakyat telah terfragmentasi pada pilihan tertentu dan semakin menguatkan polarisasi agamis dan nasionalis.
Pasca pilkada tersebut polarisasi ditengah masyarakat bukannya mereda malah semakin hari semakin tak terbendung. Publik akan mudah mengaitkan orang tertentu keberpihakanya pada agama atau nasionalis.
Bentuk-bentuk labelisasi pada dasarnya merusak tatanan cara berpikir yang ilmiah. Argumentasi merupakan salah satu hal penting dalam demokrasi, dan dengan argumetasi pula kemudian orang akan dapat berpikir ilmiah.
Tetapi kemudian marak yang terjadi saat ini adalah orang tidak mendasarkan pada pengujian argumentasi yang dibangun, labelisasi kemudian menjadi jalan pintas .
Hal ini tentu membahayakan bagi berjalannya sistem demokrasi karena orang tidak menilai berdasarkan substansi apa yang disampaikan.
Lebih lanjut saat ini polarisasi juga dibangun melalui para buzzer.
Seperti yang kita ketahui di abad ke 21 ini menghadapi kencangnya arus informasi melalui platform sosial media. Sosial media menjadi elemen penting dalam menggaet opini publik.
Salah satu yang marak kemudian munculnya para buzzer, yaitu penggiringan opini oleh sejumlah orang dengan pesanan kekuasaan tertentu.
Polarisasi bentuk baru pasca reformasi ini semakin memperlihatkan bagaimana demokrasi di Indonesia sedang diuji. Agamis dan nasionalis kemudian menjadi korban dan dibenturkan pada dogma yang salah.
Peran Pemerintah
Dalam menghadapi berbagai dinamika tatanan demokrasi yang terus mengalami turbulensi pada polarisasi politik.
Sudah sepatutnya pemerintah mengambil peran yang strategis. Hal ini harus diperkuat dengan berbagai cara, salah satu yang paling esensial adalah menentukan kebijakan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semua tantangan polarisasi politik yang berkembang harus dapat dijawab melalui keberpihakan kebijakan pemerintah pada semua elemen masyarakat. Kebijakan berkeadilan akan meyakinkan posisi pemerintah pada kepercayaan publik, sehingga dapat meminimalisasi pengkotak-kotakan dalam masyarakat.
Kedua menghadirkan hukum yang berkeadilan. Memaknai konsep Indonesia sebagai Negara hukum ialah menegaskan bahwa hukum ialah instrumen penting untuk memberikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan bagi siapapun, jangan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas juga paling penting dalam polarisasi yang saat ini terbentuk adalah jangan tajam ke kanan tumpul ke kiri ataupun sebaliknya jangan tajam ke kiri tumpul ke kanan.
Ketiga pemerintah perlu memahami konsep demokrasi yang utuh. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam sistem pemerintahan kita mengenal adanya koalisi dan oposisi.
Koalisi adalah sejumlah partai yang cenderung mendukung kebijakan pemerintah dan oposisi adalah partai yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Kualitas demokrasi dibangun melalui cara pandang pada perbedaan.
Perbedaan pendapat pada hal-hal tertentu adalah hal lazim dalam sistem demokrasi.
Kemudian jika kaitkan dengan polarisasi yang berkembang saat ini.
Pemerintah tak perlu takut pada kekuatan-kekuatan tertentu. Alangkah baiknya jika perbedaan pendapat yang terjadi dalam masyarakat tidak dijawab dengan cara yang represif, mudah melakukan kriminalisasi pada pihak yang berbeda pendapat.
Penulis meyakini jika hal-hal kriminalisasi dilakukan malah semakin menimbulkan polarisasi dalam akar rumput yang semakin tajam dan akhirnya menimbulkan disintegrasi bangsa.
Hal yang perlu dilakukan justru adalah melakukan kolaborasi dan dialog bersama untuk menemukan satu benang merah, Salah satunya adalah dengan cara mengumpulkan perwakilan elit dari semua unsur baik pendukung pemerintah ataupun penentang pemerintah dan dibentuk dalam satu wadah organisasi.
Hal yang sebenarmya juga pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi pada periode pertama membentuk adanya dewan kerukunan nasional.
Dalam menghadapi sistem demokrasi ini harus dipahami bahwa berbeda itu baik dan keberagaman adalah kekuatan, termasuk keberagaman dalam politik dan demokrasi kemudian adalah ide yang lahir dari keberagaman.***
Penulis : Alwi Zaenal Ashari