KUNINGAN (Mass) – Calon kades (kepala desa) yang diharuskan ber-KTP desa setempat, nampaknya jadi polemik berkepanjangan. Antara eksekutif dan legislatif bersilang pendapat cukup runcing. Pernyataan Bupati H Acep Purnama MH saat rapat paripurna DPRD tempo hari, disanggah keras oleh Ketua Fraksi Restorasi PDIP, Nuzul Rachdy SE.
“Bupati salah menginterpretasikan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) dengan mengatakan calon kades harus ber-KTP desa setempat minimal setahun,” sergah Zul (sapaan akrabnya) kepada kuninganmass.com, Rabu (29/3/2017).
Ia menegaskan, MK dalam membuat keputusan berdasar pada semangat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Jokowi yang notabene orang Solo boleh mencalonkan Gubernur DKI Jakarta dulu. Desa pun, menurut dia, sama. Orang Jalaksana boleh mencalonkan kades di Ciwaru, begitu pun sebaliknya.
“Pada draft perubahan Perda 14/2015 tentang pilkades kan tertulis bahwa calon kades harus punya KTP desa setempat. Ini bertentangan dengan putusan MK,” tandasnya.
Padahal seharusnya, sambung Zul, warga mana pun boleh mencalonkan kades. Nanti panitia pilkades bisa menetapkan persyaratan, jika calon tersebut terpilih baru berdomisili di desa itu.
“Jadi nanti kalau sudah terpilih baru berKTP desa setempat. Kalau hanya sekadar daftar saja mah ya enggak apa-apa bukan warga setempat juga. Semangat MK kan seperti itu,” jelas Zul.
Yang membuat Zul mengelus dada, dia mencium indikasi adanya upaya reduksi terhadap putusan MK. Syarat ber-KTP desa setempat yang awalnya minimal setahun, bisa dikurangi lagi jadi sehari atau dua hari.
“Lah kok jadi begitu. Itu kan hanya formalitas yang enggak bener menurut saya. Kalau berKTP sehari atau dua hari, berarti hanya main-main itu mah,” ketusnya.
Politisi asal Manis Kidul Jalaksana ini melanjutkan, muatan lokal atau kearifan lokal jangan dijadikan dalih pembenaran. Menurut dia, muatan lokal dibolehkan sepanjang tidak diatur oleh aturan di atasnya. Masalah kependudukan itu sudah final. Justru dengan direvisinya perda disebabkan karena itu. Aturan pusat sudah jelas terlebih dengan adanya keputusan MK.
“Jangan membuat diskresi yang bertentangan dengan keputusan di atasnya. Apalagi keputusan MK,” pinta Zul. (deden)