KUNINGAN (MASS) – Perempan, Sumur, Kasur, Dapur, bukanlah hal baru di negeri ini sudah sejak lama perempuan mendapatkan konstruksi sosial itu, termasuk identitas perempuan pada masak, macak (berhias) manak (memiliki anak). Pun sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua perempuan mendapatkan ruang yang cukup untuk berperan dalam wilayah publik bahkan sebagiannya tersisihkan dan disembunyikan dalam bingkai patriarki, terjebak dalam bias gender dan ketimpangan relasi jenis kelamin.
Adalah Raden Ajeng Kartini yang dikenal sebagai perempuan Indonesia yang berani mendobrak tatanan keningratan bangsawan. Dari perkenalannya dengan Estelle ‘Stelle’ Zeehandelaar yang mengasah nalar kritisnya, RA Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat Kungkungan adat dimana perempuan tidak bebas sekolah, harus dipingit, dinikahkan bahkan dimadu. RA Kartini gigih dalam melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa, terutama Belanda sehingga beberapa tahun setelah beliau wafat surat-suratnya dihimpun dalam sebuah buku dengan judul Door Duisternis tot Licht (Dari Gelap Menuju Cahaya).
Sosok perempuan yang dikenal dalam memperjuangkan pendidikan kaumnya sehingga perjuangannya dianggap sebagai lahirnya kebangkitan perempuan pribumi. RA Kartini diabadikan sebagai sosok puteri sejati, puteri Indonesia dalam sebuah lagi Ibu Kartini karya WR. Supratman. Spirit RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempun berhasil memberikan energi positif bagi gerakan perempuan di Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan sosial sebagai perempuan diantaranya adalah Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri).
Korps PMII Putri (Kopri) yang lahir sejak tahun 1967 di Tubuh PMII lahir sebagai laboratorium belajar kaum muda perempuan PMII dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dilakukan karena kehidupan perempuan selalu berada dalam bingkai dan bayang-bayang patriarki yang melemahkan dan menyempitkan pengembangan potensi perempuan. Stereotype perempuan, subordinasi terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah manisfestasi dari budaya patriarki akibat ketidakadilan gender.
Menurut Oakley (1972) Gender ini berarti perbedaan yang bukan secara biologis dan bukan kodrat Tuhan. Ketidakadilan gender ini hadir akibat bias gender yang menganggap bahwa kodrat perempuan adalah diwilayah domestik, kewajibannya megurus rumah, memasak, mencuci, mengurus anak dll. Padahal sejatinya kodrat perempuan hanyalah menstruasi, hamil, melhirkan dan menyusui selebihnya bisa dilakukan bersama dengan laki-laki.
Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April ini dijadikan refleksi gerakan Kopri dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Mari melakukan gerakan kolektif perempuan dalam lintas komunitas, dalam lintas wilayah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, Kita adalah kartini-kartini masa kini yang harus konsisten memperjuangkan kaumnya, jadilah perempuan sejati, perempuan Indonesia tanpa bayang-bayang patriarki.
Selamat Hari Kartini, 21 April 2020
Penulis : Okky Asy’ari (Ketua Korps PMII Putri Kuningan)