KUNINGAN (MASS) – Proses penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja, yang jadi rancangan penyederhanaan berbagai UU (omnibus law) dinilai tidak transparan dan khawatir mengabaikan kepentingan lingkungan dan sosial. Koalisi masyarakat sipil dan pegiat lingkungan menilai penyusunan omnibus law terburu-buru, hanya mengedepankan kepentingan pebisnis. Dari sisi pemerintah berusaha meyakinkan, kalau regulasi ini tetap mengedepankan lingkungan hidup dan sosial masyarakat.
RUU yang digadang-gadang menjadi ‘RUU sapu jagat’ karena menyusutkan atau menyapu beberapa pasal-pasal dalam berbagai UU yang dianggap menghambat laju pertumbuhan ekonomi atau investasi. Kondisi ini berpotensi menghilangkan beberapa hal penting dalam meminimalkan dampak lingkungan, salah satu izin lingkungan.
Beberapa fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa persoalan di lapangan seperti konflik tanah/kawasan hutan dan lambat maupun tingginya biaya pengurusan izin, mempunyai akar persoalan struktural dan politik yang sangat dalam dan selama ini oleh perusahaan-perusahaan hitam, untuk menutupi biaya transaksi yang harus ditanggung, disikapi dengan mengabaikan pembayaran pajak maupun PNBP antara lain dengan cara memperluas usaha berbasis tanah ke dalam lokasi-lokasi ilegal, termasuk—terutama untuk kebun sawit dan tambang, di lokasi-lokasi kawasan konservasi dan hutan lindung, yang pada gilirannya menjadi sumber bencana.
Hal-hal di atas menunjukkan bawah dibalik terjadinya pengurusan izin yang lambat dan mahal terdapat persoalan yang sangat mendasar. Pertama, masalah hak atas tanah dan klaim kawasan hutan tidak kunjung diselesaikan oleh perangkat negara secara adil, sebaliknya, penyelesaiannya oleh pemegang izin yang tidak bebas dari konflik kepentingan. Disini aparat keamanan ikut mengambil peran dan menjadi bagian dari pemegang izin.
Kedua, birokrasi selalu menganggap bekerja secara administrasi adalah menyelesaikan pelayanan dan masalah masyarakat; berkirim surat, rapat, melakukan perjalanan adalah pekerjaan pokok. Kenyataan seperti itu oleh KPK (2018) dalam evaluasi pelaksanaan GNPSDA telah dinyatakan bahwa indikator serapan anggaran menjadi penyebab terhapusnya perbaikan kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Sebab, kenyataan yang disalah-benarkan hanyalah apa yang tertuang di atas kertas semata. Rekomendasi izin oleh Gubernur atau Bupati, misalnya, tidak ada hubungannya dengan besar/kecilnya potensi konflik pemanfaatan hutan/lahan di lokasi izin itu apabila izin itu dijalankan.
Ketiga, penyebab hal pertama dan kedua tersebut di atas yaitu terjadinya korupsi perizinan. Apapun dasar hukum yang digunakan, sepanjang terdapat konflik kepentingan dan ketertutupan informasi terjaga dengan baik—korupsi perizinan dapat membatalkan semua norma dan nilai-nilai dalam birokrasi.
Proses perizinan tersebut harus juga menghormati Undang-Undang Nomor 23 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berupa Izin Lingkungan dan Amdal. Hal ini disebabkan pembangunan ekonomi yang akan merubah bentang alam perlulah dikaji secara bijaksana. Jangan sampai adanya pembangunan ekonomi akan merusak alam dan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah yang akan mengancam kehidupan manusia di bumi ini.
Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan.
Pada 2012 pun menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya risiko bencana di suatu kawasan,
Kerusakan lingkungan hidup yang disebakan karena ulah manusia dapat terjadi secara terus menerus yang berjalan seiring dengan kegiatan pembangunan ekonomi di suatu wilayah.
Jika aktifitas ekonomi tersebut tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya, maka yang terjadi adalah Kerusakan Lingngan Hidup yang sudah pasti akan berpengaruh juga terhadap kehidupan mahluk hidup di bumi ini.
Jadi kita harus seimbang antara investasi dan ekonomi, tapi investasi seperti apa? Investasi yang ramah lingkungan. Jadi, modal seperti apa? Modal yang mau mentaati peraturan perundang-undangan.
Penulis adalah Muhamad Iqbal Muhajirin
Kabid Lingkungan hidup DPD IMM Jawa barat