Oleh : El Huda
Malam ini harus tuntas. Tuntas semua urusanku. Urusanku tentangmu. Semua hubungan ini harus berakhir dengan jelas dan tegas. Semua ikatan yang kita bangun harus puas sampai disini. Aku, kamu, ayahmu yang tegas, ibumu yang lembut, orang tuaku, kakak kakakmu yang tak pernah setuju, adik adiku yang terlanjur suka pada padamu, sahabat sahabat, dan semua yang mengenal kita tak boleh bertengkar. Tidak boleh ada tangisan dan sesal. Semua ini harus selesai. Malam ini juga.
Tidak boleh lagi ada yang terluka karena hubunganku dan denganmu yang diambang pintu perpisahan. Tidak bisa ter-elakan. Aku akan menemuimu di tempat pertama kali kita bertemu. Perpustakaan kota.
——–
Aku bergegas mengendarai motor lamaku. Motor yang sudah kukendarai bertahun-tahun lamanya. Motor yang sempat terparkir begitu saja, sejak kupaksakan membeli kendaraan baru. Yang lebih besar, yang lebih nyaman. Tentu saja agar kau lebih nyaman di belakangku. Mendekapku perlahan. Membelah jalanan. Menembus kesunyian malam. Berbagi kehangatan tubuh bersamaku, melawan tajamnya angin yang berhembus. Kendaraan baru itu, malam ini tak kupakai. Kupakai motor lamaku. Motor yang jadi sejarah kita bertemu. Menemani kita di awal awal perkenalan. Motor yang akan kuhapus sejarahnya malam ini juga. Tidak boleh tersisa.
——-
Sampai juga aku di gerbang Perpustakaan kota. Dengan langkah mantap, kuparkirkan motor dan masuk gedung. Kakiku perlahan, selangkah demi selangkah menaiki tangga. Menuju room baca di lantai dua. Lantai dimana kami pernah bertemu. Lantai dimana kita kali ini berjanji untuk bertemu, yang terakhir kalinya.
——–
Room baca dilantai dua memang cukup banyak menjadi pavorit pengunjung. Suasana yang nyaman dan tenang membuat tempat ini istimewa. Untuk sekedar membaca atau tatap muka. Lihatlah, di pojokan sana dua orang sejoli sedang asyk membaca. Keduanya terhalang oleh buku masing masing. Tapi saling mencuri pandang sekali kali. Senyum malu malu. Seperti kita dulu. Cih !
——-
Kupandangkan pandangan keluar jendela. Melihat jalanan kota yang cukup ramai. Melihat barisan toko-toko yang berbaris rapih. Melihat lampu lampu neon yang terang. Melihat Aspal yang hitam pekat. Membawa pikiranku melayang-layang. Terbang menelusuri perjalanan panjang. Kembali pada masa-masa dimana kau dan aku masih se-iya sekata. Menembus dimensi waktu.
———-
Aku ingat betul. Usiaku saat itu 17 tahun. Kau 18 tahun. Baru saja aku selesai MOS . Di salah satu MAN sekitar kota. Kau adalah kakak kelas paling cerewet. Galak. Tentu juga sinis di sekolah. Dan aku, adalah junior paling membangkang. Begitu bukan, kenapa kita saling ingat satu sama lain ? Berjumpa tak sengaja di perpustakaan kota. Lalu berbincang hangat. Sifatmu yang sebenarnya keluar. Kau lembut. Sifat pembangkanku lunak. Dan itulah yang membuat kita akrab dan memutuskan menjadi sahabat baik. Senior – junior hilang. Hanya ada pertemanan yang indah.
Pertemanan ini terjalin begitu saja. Pertemuan demi pertemuan membuat kita semakin mengenal satu sama lain. Obrolan ringan, saling tegur sapa, dan tak lupa senyum manis yang membuat kita jadi lebih mengerti. Dan tak bisa dihindari, akhirnya saling jatuh cinta.
Tidak bisa tidak. Awal awal, tentu saja kau tak pernah mau kubonceng ke sekolah, atau sepulangnya. Kau malu, masa berondong ?
Awalnya, aku mengalah. Membiarkan kami menjalin hubungan tanpa diketahui siapa pun. Setahun lamanya.
——–
Pandangku kembali kuarahkan keluar. Tatapku tak lagi menatap hamparan kosong. Kini kulihat benar, di depan perpustakaan memang benar-benar asyik. Beberapa pedagang asongan mulai memenuhi jalanan. Menjajakan makanan terbaiknya. Berlomba mencuri perhatian orang-orang yang berlalu lalang. Mencuri perhatian, cih. Ingatanku tentangmu tiba-tiba menjelma kembali. Menjelma dalam potongan kisah selanjutnya.
—–
Tahun ajaran baru sudah beranjak. Usiaku 18 tahun. Kau 19 tahun. Pertama kali aku merasa sakit yang hebat saat kau dekat dengan teman-temanmu sendiri. Kau dekat dengan siswa baru. Aku merasa tak terima. Hatiku terasa tersayat. Sakit yang tak tahu bentuk lukanya. Kau dikerubungi lelaki dan perempuan. Bercanda dan tertawa lepas. Tentu saja, kan penerimaan siswa baru memang selalu dibikin kelompok-kelompok. Kau jadi salah satu mentor siswa, bersama dua lelaki serta satu peremuan. Itu yang membuatku tak rela. Tak rela kau bercanda dan terlihat lebih bahagia dengan siapapun daripada aku. Ospek pertamaku sebagai penyelenggara, benar-benar aneh. Aku uring-uringan tak karuan. Kadang kulampiaskan amarahku pada siswa siswa baru tak berdosa. Aku marah-marah. Cemberut. Tak lagi ceria. Cemburu.
——–
Kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Mengingat semua kejadian hidup antara aku denganmu. Tentu kau juga pernah sepertiku. Cemburu. Kau pencemburu yang luar biasa. Pendendam. Ingat bukan, kau pernah melabrak adik kelas yang membuat surat untuk ku ? Untuk seorang aku yang baru saja naik jadi ketua OSIS.
Kulihat satu dua air menempel pada kaca dihadapanku. Sedikit-sedikit semakin banyak. Ternyata memang gerimis sudah mulai bersahut-sahutan. Percikan air seperti berlomba-lomba menuju tanah. Sebentar lagi Hujan. Akh hujan, selalu saja romantis. Sial. Rinduku malah kambuh.
——-
Tentu saja, banyak ceritaku denganmu. Tentang hujan yang paling kusuka. Kuingat kau malu malu saat kukudungkan jaket biru padamu. Melindungi kepalamu dari hujan yang tak tahu malu. Masa kekasihku harus basah begitu. Biar aku saja. Waktu itu, kita pulang jalan-jalan. Terjebak hujan. Terkadung mesra. Itu pula pertama kali aku mencium pipimu yang merah. Di depan rumahmu. Disaksikan rintik-rintik hujan. Tidak ada tetangga, mereka bersembunyi dari dinginnya malam. Hanya ada aku yang tak tau malu. Mencuri pipimu yang merekah. Aku memang tak tahu adab. Tapi siapa juga yang bisa tahan, pipimu sedari tadi menantangku dengan manja.
Kau sempat marah. Menamparku keras. Tapi sebelum lari ke rumah, kau juga mencuri cium pada pipiku. Manis. Asam. Membara. Kita memang sudah dewasa. Aku dan kamu sudah dewasa. Tiga tahun lalu. Kita sudah sama sama kuliah. Kau di keperawatan. Aku di teknik sipil.
——
Tak terasa air mataku mengucur deras. Kenangan kenangan itu mendadak terasa menyakitkan. Sesak. Tak kuasa kumenahan isak tangis. Sesegukan ini terus menggangguku. Orang orang yang berlalu lalang di room mulai melirik padaku. Sesekali berbisik-bisik. Lelaki jangkung. Kulit hitam. Kumis tipis. Menangis di depan jendela.
Tapi itu wajar bukan ? Lebih dari 3000 hari kita bersama. Sekitar 420 minggu. Delapan tahun lebih, sayang. Delapan tahun kau bersamaku ! Ukh.
——–
Setengah jam berlalu. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Kau akhirnya datang. Menghampiri ku dari belakang. Menepuk punggungku. Memberiku senyuman manis. Cih. Kebiasaanmu mengganggu. Kau datang memberiku kabar buruk dengan cara yang aneh. Senyumu, membawa luka.
“Sudah lama ?” Tegurmu.
“Lumayan, tak kena hujan ?”
“Tentu hujan, basah juga. Tapi ini lebih penting.” Ucapmu padaku. Matamu mulai menatapku tajam. Kau sudah membulatkan tekad untuk dijodohkan orang tua, kau akan menikah. Dasar kau memang anak baik dan penurut.
Sekarang kau memberiku sebuah undangan berwarna biru. Kau berikan dengan lugas dan tegas pada orang yang selamanya menyangimu. Pada orang yang akan kesakitan. Kepayahan. Kehilangan.
Kuterima undangan itu dengan tangan gemetar. Kau meyakinkanku.
“Aku minta maaf. Tapi semua keluargaku sudah sepakat. Aku tidak bisa menolak” ucapmu.
Aku diam membisu.
“Berkatalah sesuatu,” ucapmu.
Aku masih diam.
“Setidaknya, beri aku kata terakhir. Atau hadiah terakhir. Seperti yang kau janjikan kemarin di sms,” ucapmu.
Kuraba saku celana yang dalam. Sebuah benda yang sejak tadi kusimpan. Memang kusimpan untuk kenangan.
“Aku tahu kau suka menggambar. Kau suka kuas, sejak lama bukan ?” ucapku tak berbalas.
Kubuka sebuah kotak berisi kuas runcing di pangkalnya. Kupegang dan kupelihatkan padamu.
“Tapi kau tahu, aku cinta padamu selamanya. Selamanya,” ucapku tersedak.
Kutatapi kuas yang kupegangi. Kubiarkan kau juga melihatnya. Kuangkat kuas itu setinggi dadaku.
“Selamanya itu……..sampai mati, sayang,”
Dengan cepat, kutancapkam ujung kuas yang runcing itu pada dadaku, dadaku sebelah kiri. Dulu, dada ini selalu kutunjuk sebagai setengah hidupku yang kau rebut. Tancapan itu keras. Menembus daging. Kurasakan sakit yang mengejutkan. Darah mengaliri dadaku yang tertutup baju. Terasa hangat. Aku terjatuh di lantai. Bajuku yang putih berubah merah. Lantai berubah juga warnanya. Bercak darah kental membuncah di teras.
Aku tergeletak. Rupanya kakiku tak kuat menahan tubuh. Kudengar orang-orang berteriak. Histeris. Beberapa orang kulihat mengerubungiku. Memberi pertolongan pertama. Menekan lukaku. Menutup pendarahan. Terus berteeriak agar aku tetap tersadar. Tapi kepalaku limbung. Setengah kesadaranku hilang. Setengah duniaku menjadi buyar. Suara-suara sudah mulai jadi sunyi. Cahaya cahaya lampu juga mulai meredup. Beginikah rasanya sekarat ?
—-
Sebuah suara sayup-sayup tiba-tiba terdengar. Itu suaramu. Aku kenal betul. Kau membentak dan memaki.
“Pengecut, Kau lelaki. Kau harus kuat, sayang,”
Nb :
**Cerpen ini kupersembahkan untuk seorang kawan.**
**”Kau lelaki, Harus Kuat,”**