KUNINGAN (MASS) – Menyangkut pokok-pokok pikiran (pokir) anggota dewan, salah seorang mantan wakil rakyat, Bambang Suela, berkomentar. Menurut pria yang kini berstatus sebagai pengusaha ini, pokir tersebut berpotensi korupsi.
“Sesungguhnya kebijakan pokir itu untuk apa? Karena setiap ada pokir, yang nyari pemborongnya itu anggota dewannya. Padahal serahkan saja ke asosiasi seperti Gapensi dan lain-lain, jangan seolah-olah anggota dewan yang jadi pemborongnya,” ketus Bambang.
Sebagai mantan anggota dewan dua periode sejak 1999-2004 dan 2004-2009, Bambang mengatakan, dulu tidak ada pokir. Yang ada, hanyalah sebatas semen 50 sak dan 3 drum aspal untuk diberikan kepada konstituen.
Kalau memang mau memperjuangkan aspirasi rakyat, ia berpendapat agar mekanisme yang berlaku ditempuh. Keberadaan ULP dan asosiasi pengusaha mestinya jangan dilangkahi.
“Jangan sampai seperti sekarang, ketika para pemborong ke dinas, jawabnya begini, ieu mah nu anggota dewan, aspirasi sadaya, ka dewan bae,” tutur Bambang saat berada di Lobi Gedung Dewan, Senin (15/10/2018).
Memperjuangkan aspirasi, imbuhnya, sudah jelas ada dalam tupoksi. Saat reses pun APBD membiayai. Jika sesuai mekanisme, aspirasi yang masuk dapat disampaikan ke eksekutif.
“Ini dimaksudkan untuk menekan kebocoran anggaran. Hitung saja berapa besar dana pokir mulai dari APBD murni dan APBD perubahan. Dari angka total, ada kebocoran tidak?,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Rana Suparman SSos pernah menjelaskan, pokir sebagai bentuk implementasi fungsi budgeting sekaligus merealisasikan sumpah jabatan.
“Bukan minta jatah pokir, DPRD ada fungsi budgeting. Kita rekomendasikan kegiatan yang merupakan permintaan masyarakat,” jelasnya.
Pokir tersebut hasil dari anggota dewan menjalankan resesnya. Ketika terjun ke masyarakat di dapilnya masing-masing, konstituen menyampaikan kebutuhan mereka kepada wakil mereka.
“Saya reses, datang ke dapil saya, ada masyarakat yang menyampaikan kebutuhan, apa saya harus marahin mereka supaya jangan meminta begitu? Kita kan harus mampu menceritakan cerita masyarakat,” jelasnya.
Rana berharap, siapapun mengartikan pokir itu sebagai perwujudan dari fungsi budgeting. Jangan sampai diartikan secara pragmatis, seolah-olah itu merupakan ruang pragmatis anggota dewan.
Ia menegaskan, anggota dewan telah disumpah untuk memperjuangkan dan mewujudkan aspirasi konstituen di dapilnya. Ketika kacamata itu yang digunakan maka itulah ketentuan normatifnya. Namun dirinya menilai salah apabila kacamata pragmatis yang digunakan.
“Pokir ini penting, ya untuk menguatkan eksistensi lembaga. Kalau ternyata tidak ada manfaatnya, institusi lembaga negara ini ngapain diadain? Buang-buang anggaran saja dong,” kata Rana.
Ia menegaskan, ujung-ujungnya kegiatan dari pokir tersebut diserahkan ke eksekutif. DPRD hanya melakukan pembahasan sampai penetapan. Sedangkan pengerjaannya utuh oleh eksekutif selaku eksekutor program-program yang sudah disetujui dewan. (deden)