KUNINGAN (MASS) – Masih dalam suasana kampanye hingga tanggal 23 Juni mendatang, sudah semestinya sebagai warga negara yang peduli, kita kawal setiap tahapan dengan ketat. Tak ingin istilah kampanye disalahgunakan. Dijadikan ajang adu kekuatan, adu kekuasaan, adu kehebatan, bahkan adu pengaruh saja. Harus tak sekedar itu, menjadi ajang adu program, adu visi dan misi, bahkan adu kreatifitas, sehingga hasilnya memuaskan, mendapatkan pemimpin terbaik. Sehingga definisi kampanyae lebih dari sekedar dari apa yang termuat di dalam PKPU No 4 tahun 2017 yaitu sebagai kegiatan menawarkan visi misi calon kandidat peserta pemilihan untuk menarik pemilih.
Dapat kita lihat, perhelatan kontestasi politik yang sedang berlangsung, tidak luput dari pernak dan pernik menggelitik sekaligus memilukan. Menggelitik karena setiap aktifitas dan gerak gerik menjadi sorotan. Postingan, status, sharing bahkan gambar yang dipakai dalam fasilitas media sosial pun tak luput dari pantauan. Lucunya, bahasa keseharian pun dikait-kaitkan dengan jargon politik yang ada. Berbicara angka, berbicara warna, tak sebebas biasanya. Bagi sebagian, hal ini menjadi kerangkeng dan penjara, terutama bagi penyelenggara, TNI/POLRI, ASN dan pihak lain yang wajib netral, karena berpotensi menjadi temuan.
Sementara menjadi memilukan ketika terjadi banyak pelanggaran, baik pelanggaran pidana, administrasi, maupun kode etik, yang datang dari kandidat, penyelenggara, maupun dari pemilih. Sehingga jangankan berbicara kualitas pemilihan, kualitas kampanye sebagai salah satu tahapan pemilihan saja masih perlu dikaji. Maka jelaslah, pendidikan politik sangat menentukan semuanya.
Contoh pelanggaran yang tak bisa dihindari adalah “transaksi politik” dalam bentuk pemberian imbalan tertentu baik berupa uang ataupun barang atas setiap suara yang diperoleh kandidat calon tertentu. Apalagi ketika dilakukan secara terstruktur, dan massif. TERSTRUKTUR karena transaksi ini dilakukan secara sistemik, tidak secara kebetulan, dan tidak berlangsung tanpa perencanaan dan MASSIF karena transaksi ini dilakukan secara luas sehingga bisa mempengaruhi hasil pemilihan.
Diantara yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran akibat transaksi politik adalah akibat dari tanggapan yang dilakukan pemilih sendiri:1) kategori pemilih yang akan menolak tawaran. 2) kategori menerima tawaran tersebut namun belum tentu memilih kandidat yang memberikan imbalan. 3) kategori menolak dan melaporkanya kepada yang berwenang. 4) kategori menerima uangnya dan memilih kandidat yang memberikan imbalan tersebut. Kondisi ke empat ini ibarat dua sisi mata uang yang sebab akibatnya tidak bisa dipisahkan. Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah kiranya, ilustrasi yang menggambarkan situasi pemilih saat kandidat mencoba mengiming-imingi pemilih dengan penawar yang menggiurkan. Belum lagi masyarakat pemilih yang berpikir ‘daripada’ tidak mendapatkan apa pun dikemudian hari, lebih baik mendapatkan sedikit dan langsung terasa saat ini.
Lalu, apakah tidak ada yang peduli dengan keadaan ini? Bagaimana kita mengubahnya? ‘Kontrak Politik’ yang merupakan strategi transaksi politik adalah salah satu cara mengubah gambaran suram masyarakat kita yang kian permisif atau seolah membiarkan situasi transaksional yang pragmatis, tertutup, personal, dan berpotensi melanggar hukum seperti kelaziman. Istilah ini tentunya bukan berarti saling mengikat diantara kedua belah pihak dan mendapat sanksi hukum bagi pelanggarnya. Namun lebih kepada komitmen dan kepedulian kandidat untuk menyelesaikan permasalahan warga, disisi lain, warga akan mggunakan kontrak politik sebagai bahan pertimbangan dalam keputusan memilih dan rekam jejak kandidat setelah pemilu. Meskipun kontrak politik ini tidak mengikat secara hukum dan menjadi lemah karenanya, namun dapat kita jadikan sebagai pegangan untuk menghindari janji-janji palsu para kandidat.
Berikut adalah cara kita untuk membuat kontrak politik dengan kandidat yang penulis dapatkan dari salah satu sumber:
- Isu kontrak dibahas terbuka dan melibatkan kelompok massa
- Sebaiknya tidak mengatasnamakan “kelompok” warga agar tidak ada transaksi jual beli suara
- Isi kontrak dirumuskan dari hasil aspirasi warga
- Tidak menyatakan dukungan pemberian suara kepada kandidat karena berpotensi melanggar hukum
- Isi kontrak didokunentasikan dan dipublikasikan di masyarakat.
Selamat memilih calon pemimpin yang peduli dengan permasalahan masyarakat kita… Mari jadikan kampanye meraih simpati ini sebagai wahana pendidikan politik bagi semuanya, baik bagi penyelenggara, peserta, maupun pemilih. Semakin sedikit pelanggaran yang terjadi, semakin menunjukkan tingkat kesadaran berpolitik yang tinggi. Selanjutnya, semakin menentukan hasil pemilihan yang berkualitas.
Salam demokrasi….
Penulis: Meli Pemilia, S. S., (PPK Kecamatan Darma dan Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Lokal Kuningan)