KUNINGAN (MASS) – Kalau bencana longsor, memang Kabupaten Kuningan termasuk daerah rawan longsor. Namun ketika Kuningan kerap dilanda banjir, dinilai agak aneh. Terlebih Kuningan ini menyandang predikat sebagai kabupaten konservasi.
Lain halnya bagi Rahmat Leuweung, seorang pria yang gemar bepergian ke hutan itu tidak menganggap aneh atas terjadinya bencana banjir sekaligus longsor di daerah mana pun.
“Aneh itu kalau gak ada penyebab,” ujar pemerhati lingkungan berambut gondrong berlatarbelakang akademis mumpuni itu saat mondar-mandir di berbagai lokasi bencana dalam beberapa hari ini.
Terkait penyebab bencana itu, menurut Rahmat, akibat terjadi perubahan tata guna lahan. Seharusnya diatas 40 persen lahan menjadi kawasan lindung. Di dalamnya ada tegakan-tegakan, pohon-pohon keras alami.
“Faktanya kan budidaya. Jadi lapisan tanahnya tak kuat. Disusul curah hujan tinggi. Februari dan Maret itu kan lagi tinggi-tingginya curah hujan. Sekarang masuk penghujan tertinggi tengah, jadi masih ada 15 hari ke depan,” ungkapnya.
Antara bencana longsor dan banjir, menurut Rahmat, satu paket. Sebab banjir itu menyuplai volume air kemudian menyuplai sedimentasi. Sehingga terjadi pendangkalan sungai. Badan sungai ada perubahan secar fisik.
“Banyak hal, memang kompleks. Kembali kepada gimana pemerintah melakukan pemberdayaan masyarakat. Jangan selalu karena persoalan ekonomi, lalu masyarakat buka lahan. Selalu itu. Harus jadi prioritas agar jangan sampai ada alasan itu lagi,” ucapnya.
Mengenai asal air, menurut Rahmat berasal dari pegunungan kendeng (istilah orang sunda), yaitu yang mengikat 2 DAS besar. Ke utara ke sungai Cisanggarung, sedangkan ke selatan ke Citanduy melalui Cijolang.
“Kebetulan saya habis dari Cimenga, ternyata 2 belah gunung ini mengalami peristiwa yang sama. Kompak gunung teh,” ungkap dia.
Dalam masalah ini, Rahmat Leuweung meminta agar masyarakat jangan disalahkan. Semuaa itu dikembalikan kepada kebijakan pemerintah. Evaluasi mesti dilakukan, salah satunya pengkayaan hutan kembali. (deden)